Sembilan

12.8K 787 74
                                    

Banyak sider ya... Rada gondok juga sih. Tapi gpp, mungkin tombol bintangnya kelelep atau menghilang pas baca poligami.

Sampai part 10 ya. Habis itu istirahat dulu, nanti besok atau lusa di up lagi.

Okay, happy reading lope~lope

***

"Saya akan ngasih uang bulanan, sama seperti pada Annisa. Jangan berlebihan, saya menikahi kamu hanya untuk bertanggung jawab. Ingat, jangan melakukan apapun yang bisa membuat Annisa tahu apa yang terjadi di antar kita."

Tari menatap sedih Afanan. "Apa Mbak Annisa segitu sempurnanya, Mas?"

"Dia sangat sempurna, bahkan dengan kejadian ini membuat saya merasa kecil di hadapan istri saya."
Tersenyum kecut, Utari duduk di sofa.

"Mbak Annisa nggak bisa memberikan kamu anak, sedangkan saya bisa langsung mengandung," Utari membanggakan dirinya.

Afnan berdecih pelan. "Bukan kamu yang memberikan anak, melainkan Allah yang menitipkan darah daging saya dalam rahim kamu."

"Itu artinya saya lebih dipercayai Allah untuk sebuah anugerah besar ini."

Sebelah alis Afnan naik. "Kamu yakin bahwa yang terjadi dengan kita itu sebuah anugerah? Bukan siksaan?"

Utari diam.

"Bagi saya, Annisa segalanya."

"Kalau begitu, kenapa Mas nggak membiarkan saya menggugurkan anak ini?"

"Karena apa yang saya lakukan sudah dosa, saya nggak mau menambah dosa dengan membiarkan kamu menggugurkan janin yang tidak bersalah."

Utari menatap sinis Afnan. "Bukannya Mas yang mengajak saya melakukan itu?"

Afnan bungkam. Semua karena air minum sialan itu yang membuatnya menjadi gelap mata, hati, dan pikiran.
"Itu sebuah ketidaksengajaan."

"Dengan pernikahan ini juga?"

Afnan menatap Utari geram. "Bukannya saya sudah bilang jangan berlebihan Tari? Bahkan saya baru mengenal kamu kurun waktu kurang dua bulan," Afnan meninggikan suaranya. "Jangan merasa paling sempurna. Bagi saya Annisa tetap di atas segalanya."

Air mata Utari lolos. "Tapi saya sudah jatuh hati sama Mas."

Afnan terpekur, menggeleng pelan. "Kamu sengaja?"

Utari mendongak, menatap takut Afnan.

"Kamu sengaja menjebak saya?" tekan Afnan membuat Tari semakin terdesak. "Jawab, Tari!"

Utari menggeleng, menahan napas mendengar bentakan dari Afnan.

"Demi Allah, kalau memang kamu sengaja menjebak saya dengan cara rendahan seperti itu. Saya nggak akan pernah memaafkan kamu." Afnan mengambil jasnya kasar, berjalan cepat meninggalkan rumahnya dengan amarah yang menggelegak sampai ke ubun-ubunnya.

Tangis Utari pecah, menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Menangis tersedu.

***

Kening Annisa mengerut melihat kedatangan rekan kerja suaminya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 6 sore. Annisa berdeham setelah di belakang Pria itu, saat pandangan mereka bertemu, Annisa tersenyum ramah. "Mas Pram? Tumben banget." Annisa duduk di sofa yang ada di ujung. "Ada keperluan apa, Mas? Mas Afnan kan belum pulang."

Kening Pram mengerut. "Belum pulang? Afnan nggak masuk kerja hari ini, Nis."

Kening Annisa semakin berkerut. "Nggak masuk kerja?" bagaimana bisa? Jelas-jelas tadi dirinya yang mengantar suaminya sampai meninggalkan pekarangan rumah. "Mas nggak bertemu kali," Annisa berusaha menyangkal.

Pram menatap Annisa lekat. "Sumpah, Afnan nggak masuk kerja, Nis."

Annisa diam.

"Ada yang mau aku bicarakan sama kamu."

Annisa mengangkat tangannya, meminta jeda. "Euis," panggil Annisa pelan. Tidak lama kemudian Euis datang, menunduk sopan. "Tolong temani saya, biar nggak jadi fitnah." Annisa melirik Pram sekilas. "Mas nggak keberatan, kan?" tanya Annisa yang digelengi oleh Pram.

Annisa lumayan mengenal rekan kerja suaminya, yang lumayan dekat dengan suaminya ya hanya Pram dan direktur utama. "Waktu acara itu, aku lihat Afnan cek in dengan pegawai baru kantor kami."

"Apa?"

Pram mengangguk mantap. "Aku serius, Nis. Pegawai yang baru diangkat dari awalnya SPG."

Annisa terkekeh sumbang, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Pram. "Mas Pram nggak ada maksud terselubung, kan?"

Pram menggeleng. "Demi Allah, Nis. Aku berani sumpah."

Annisa menatap Euis yang ternyata tengah menatapnya juga. "Mas, nggak baik membawa kabar yang belum ada buktinya," tukas Annisa.

"Iya benar, Pak. Nggak baik itu, bisa jadi fitnah rumah tangga," Euis menimpali merasa kurang percaya dengan kabar yang dibawa.

"Lagipula, acara itu sudah hampir 2 bulan lalu. Mengapa Mas Pram baru datang membawa kabar?"

Pram mendesah gusar. "Aku pikir, aku salah melihat. Tapi melihat gelagat Afnan akhir-akhir ini membuat aku yakin kalau itu Afnan. Afnan sering bertemu dengan Tari, kadang mereka selalu datang dan pulang bersamaan. Tari resign, dan Afnan nggak masuk kerja. Aku datang ke sini untuk memastikan kalau Afnan memang ada di rumah."

Kedua tangan Annisa saling bertaut, akal dan hatinya menolak kabar yang dibawa oleh Pram. Sebentar, Annisa ingat sepulang dari acara, rambut suaminya basah dan juga terlihat lesu. Apa... Ah tidak. Tidak mungkin suaminya melakukan hal seperti itu.
"Saya tetap nggak percaya."

Prama mengangguk, tersenyum tipis. "Aku nggak memaksa kamu buat percaya, Nis. Tapi ada baiknya kamu tanya sama Afnan apa yang terjadi. Dan coba kamu buntuti Afnan saat dirinya mengatakan akan mengambil lembur."

Annisa menatap Pram gamang. "Mengapa harus begitu?"

"Karena kebanyakan Pria di kantor akan mengambing hitamkan lembur untuk menengok istri atau selingkuhan mereka selain istri sahnya."

Annisa bergeming, panas dalam hatinya bergejolak.

Prama berdiri. "Aku minta maaf kalau memang kabar yang aku bawa membuat citra Afnan buruk di mata kamu. Saranku, jangan terlalu percaya pada pasangan. Karena setan lebih senang mengganggu orang yang beribadahnya tekun dan giat dibanding orang yang bolong-bolong dalam ibadah." Pram melirik Euis.

"Saya pulang dulu ya, Euis." Tersenyum tipis, Pram mengucap salam sebelum keluar dari rumah Annisa.

"Bu..." Euis berdiri merangkul bahu majikannya.

Annisa memijat pelipisnya, dirinya membantah keras kabar yang dibawa. Tetapi hatinya mengakui selama dua bulan ke belakang suaminya tampak gelisah seperti ada yang disembunyikan. Apa benar? Apa semua hanya godaan rumah tangganya saja?

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang