Enam

11.3K 645 92
                                    

Haii... Haiii.. Keputusan finalnya, emak bakal tamatin ini di wp dan nanti awal februari Emak tarik lagi ya... Huhuhu... Emak paling nggak tega, ngerasa jahat banget gitu.

Yok ramaikan makanyaaa, wkwkwk

Okay, happy reading lope~lope

Seperti biasa, Annisa akan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Membersihkan kamar, lalu membersihkan diri. Annisa tersenyum manis memasangkan dasi pada kerah kemeja suaminya. "Kamu kelihatannya kurang baik satu minggu ini." Annisa membuka pembicaraan, mengingat Afnan banyak melamun dan kadang kurang fokus dengan pembicaraan atau diskusi yang sering mereka lakukan sebelum tidur.

Afnan tersenyum, menyembunyikan laranya. "Aku baik-baik aja, serius."

Annisa menatap Afnan penuh selidik, kemudian menghela napas saat Afnan memalingkan wajahnya kelain arah. "Kalau memang ada yang perlu diceritakan, kamu ceritalah. Jangan dipendam sendiri."

Afnan seketika menatap Annisa lekat. "Nggak akan jadi masalah?"

Annisa bergeming tampak berpikir.
"Masalah apa dulu?"

Afnan tersenyum miris, menggelengkan kepalanya pelan. Tidak mungkin tidak jadi masalah saat Annisa mendengar ceritanya. Annisa akan marah besar dan kemungkinan akan meninggalkannya. Tidak. Afnan tidak akan bisa kehilangan Annisa.

"Nggak ada."

"Kita berumah tangga kurang lebih hampir enam tahun. Aku sangat mengenal kamu."

Afnan mendesah, tersenyum lebar menutupi kegusarannya. "Kamu sangat mengenal aku, berarti kamu tahu kalau memang nggak ada masalah."

Annis mengembuskan napas, tersenyum paksa. "Apapun yang kamu sembunyikan, entah baik ataupun buruk. Tetap saja itu kebohongan. Lebih baik jujur dan pahit di awal, daripada berbohong meninggalkan bekas sakit yang lumayan dalam."

Terlihat jelas binar keraguan dari sorot netra hitam itu, tetapi berubah seketika dengan sorot lembut seolah dirinya baik-baik saja. "Iya. Aku ngerti, Sayang."

Annisa harus membungkus rasa penasarannya dan memasrahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Kalau memang benar suaminya sedang menyembunyikan sesuatu, Annisa berharap Allah akan membuka jalan untuk dirinya agar mengetahui apa yang suaminya sembunyikan.

Karena Annisa yakin, Allah tidak pernah tidur dan Maha melihat apa saja yang suaminya dan dirinya kerjakan.

***

Lebih baik jujur daripada berbohong.
Kalimat itu terngiang jelas di pendengaran Afnan, memejamkan mata berharap rasa bersalah berkurang dan juga kebohongannya akan tertimbun seiring berjalannya waktu. Satu bulan ini, Afnan merasa kehilangan semangatnya. Sorot mata yang biasanya selalu menunjukkan keteduhan kini berubah menjadi kosong dan penuh kehampaan.
Masalah apapun bisa Afnan atasi, tapi masalah ini? Afnan yakin seribu persen kalau dirinya tidak akan bisa menemukan jalan terbaik. Afnan rasanya ingin mengatakan semuanya pada Annisa, lalu Annisa mencambuknya atau menghukumnya dengan hukuman yang pantas ia terima. Seandainya begitu, Afnan ikhlas.

Ketukan pintu terdengar, Afnan mengangkat pandangannya menatap siapa yang masuk ke ruangannya.
"Maaf, Pak."

Seketika Afnan mengalihkan pandangannya, enggan menatap wanita yang berdiri di hadapannya kini.

"Ada perlu apa?"

Jemari Tari saling meremas, merasakan aura tidak nyaman yang melingkupi ruangan. "Maaf sebelumnya, Pak. Saya..."

Afnan menoleh, menunggu Tari mengatakan apa yang mau dikatakan. "Apa yang mau kamu katakan."

Air mata menggenangi pelupuk mata Tari, napasnya tercekat menatap takut Afnan. "Saya hamil."

Tubuh Afnan bak disiram air keras, seketika berubah menjadi kaku. Lain dengan hatinya yang mendadak deras merintih pedih. Ya Rabb.. Siksaan apalagi ini?

Tari menyadari perubahan gestur tubuh Afnan, menunduk tak berani menatap Afnan.

Suasana ruangan yang awalnya hening, semakin hening. Bahkan deru napas pun bisa terdengar. "Saya nggak minta Bapak bertanggung jawab, saya mengatakan itu hanya teringat perkataan Bapak terakhir kali yang mengatakan kalau terjadi kesalahan jangan mengambil keputusan sendiri."

Afnan bergeming.

"Bapak bukan Pria pertama saya, saya bisa mendatangi dokter kandungan minta untuk diaborsi. Dan saya-"

Netra hitam pekat Afnan mendelik tajam membuat Tari membungkam mulutnya. "Saya akan menikahi kamu," putus Afnan tanpa berpikir panjang. Emosi Afnan tersulut mendengar kata aborsi. Annisa sudah sangat lama memimpikan kehadiran buah hati, sementara wanita di hadapannya begitu ringan mengatakan akan mengaborsi darah yang sedang berkembang dalam rahimnya.

"Tapi bagaimana dengan istri Bapak?"

Afanan menatap tajam Tari. "Saya menikahi kamu untuk bertanggung jawab, bukan untuk menambah istri lagi. Kalaupun setelah kamu melahirkan dan masa nifas kamu sudah selesai, saya akan menceraikan kamu."

Tari meringis, tersenyum miris. "Bagaimana kalau selama sembilan bulan itu, tumbuh rasa di antara kita?"

Netra hitam Afnan menggelap. "Tumbuh rasa? Kamu pikir saya akan 24 jam bersama kamu dan mengabaikan istri saya?" sebelah alis Afnan naik. "Kalau pikiran kamu mengarah ke sana, kamu salah besar. Saya hanya akan ada saat kamu membutuhkan saya. Dan saya bersumpah demi Allah selama pernikahan tidak akan ada sentuhan yang kamu bayangkan. Allah yang menjadi saksinya."

"Bapak nggak bisa mengucapkan itu, kita nggak tahu hati manusia dapat berubah," Tari menepis janji Afnan.

Afnan tersenyum tipis. "Sebelumnya saya nggak pernah menyakiti hati wanita manapun. Ini untuk pertama kalinya, sekali menyakiti dua wanita yang saya sakiti. Terutama istri saya."

Tatapan mata Afnan meredup, menyiratkan penyesalan yang mendalam.

"Banyak Pria yang memilih istri mudanya daripada istri tuanya."

"Saya nggak mau melepaskan intan berlian hanya demi sekepal kerikil."

Mata Tari memanas, air mata menggenang di pelupuk matanya. Ucapan Afnan sangat menohok hatinya. Benar, dirinya tidak lebih buruk dari kerikil.

Afnan melirik perut Tari yang masih rata. "Bayi itu nanti akan saya ambil, dan akan menjadi anak kami."

Tari mengangguk berat, biarkan saja. Mungkin nanti Afnan akan berubah, berbalik mencintainya seperti yang banyak terjadi diluaran sana.

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang