Tujuh

10.9K 605 22
                                    

Entah muntahan ke berapa kali, Annisa terduduk lemas di kursi. Wajahnya pucat pasi kurang tenaga. Sudah satu bulan penuh dirinya mual dan muntah seperti ini. Makanan banyak yang keluar lagi, untuk minum saja sulit sekali.

"Ibu mau saya buatkan teh hangat?"

Annisa menggeleng lesu, tersenyum tipis menanggapi asisten rumah tangganya. "Saya susah banget mau minum aja nanti keluar lagi."

"Mau saya teleponkan Bapak, Bu?"

"Nggak usah. Bapak lagi kerja." Annisa melirik jam dinding yang sudah menujukkan pukul 4 sore. "Telepon Bapak untuk beli makan malam di luar saja. Saya nggak kuat masak."

Euis menatap cemas majikannya. "Kalau saya yang masak gimana, Bu?"

"Memang kamu bisa?"

Euis menggeleng, kemudian mendesah frustrasi. "Nggak bisa sih, Bu."

Annisa tersenyum, menggeleng tak habis pikir. "Makanya saya minta kamu buat telepon Bapak."

"Kalau begitu baiklah, Bu." Euis berlalu dari ruang tengah.

Bel berbunyi, seruan Euis terdengar menggema.

Tidak lama kemudian sebuah seruan terdengar. "Ya ampun, Nis! Kamu kenapa?" Dinda menatap khawatir Annisa, menyentuh kening Annisa untuk memastikan panas atau tidaknya. "Kening kamu nggak panas. Kamu sakit?"

Annisa mencoba duduk tegak, dibantu Euis dan juga Dinda. "Nggak tahu nih, udah ampir sebulan aku kayak gini. Makan ini-itu nggak masuk. Terus juga minum doang banyak yang keluar lagi."

"Ke dokter dong, Nis." Dinda berdecak, duduk di sisi Annisa. "Mau ya dibawa ke dokter?"

Annisa menggeleng. "Kayaknya cuma masuk angin deh, Din." Annisa melirik ke belakang Dinda. "Siapa itu?" Annisa baru menyadari ada wanita muda yang berdiri di belakang Dinda menatap bingung ke arahnya.
Dinda menoleh ke belakang. "Ini Tari yang sempat aku ceritakan sama kamu itu loh, Nis. Dia mau ngambil kelas jodoh yang sempat kita obrolin."

Ah iya. Annisa ingat. Kelas jodoh itu seminar bagaimana cara memperbaiki akhlak dan juga bagaimana cara agar jodoh lebih dekat lagi dengan kita. Cara menjadi istri yang baik dan wanita yang berakhlak baik.

"Halo, Mbak." Tari menyapa dengan suara lembutnya, sedaritadi matanya tak lepas menatap foto yang terpajang besar di ruangan dirinya berdiri. Betapa terkejut dirinya saat melihat Pria itu adalah Afnan. Ada rasa sesak saat melihat senyum Afnan dan juga Annisa saat mata mereka beradu pandang. Mereka terlihat sangat bahagia.

Annisa tersenyum lembut. "Hai, Tari."  Annisa menatap Tari menyesal. "Aduh maaf ya, aku lagi nggak fit begini. Mungkin bulan depan kita mulai belajar sama-sama nggak apa-apa, kan?"

Tari tersenyum, ikut duduk di kursi dekat Dinda. "Nggak masalah, Mbak. Lagian juga ke sini buat jalin tali persaudaraan saja. Mbak sakit apa?"

"Nggak tahu, dari kemarin kayak gini terus. Mual-muntah."

Pantas saja Afnan begitu mencintai istrinya, karena istrinya begitu lembut dan sangat beradab. Berbeda dengan dirinya yang bar-bar dan membuka aurat tidur dengan berbagai Pria untuk melepaskan hasrat liarnya. Anggap saja malam kemarin adalah malam kesalahan Afnan.

"Kalau gitu, kita ke dokter yuk, Nis?"

Annisa menggeleng. "Nggak usah, biar nanti nunggu Afnan aja. Nggak terlalu repot kok."

"Assalamu'alaikum."

Senyum Annisa merekah melihat Afnan, berbeda dengan Afnan yang awalnya tersenyum mendadak senyumannya lenyap melihat siapa yang duduk di sisi Dinda. "Kamu beli makanan sendiri?"

Afnan menoleh pada istrinya, tersenyum lembut menggeleng pelan. "Aku tadi lagi di jalan, nggak tahu ada yang telepon." Afnan melangkah mendekati Annisa kemudian mengecup kening Annisa dan puncak kepala Annisa lamat. "Wajah kamu pucat banget?"

"Katanya Annisa mual-muntah, parahnya muntah seharian ini," Dinda menimpali.

Afnan menoleh pada Dinda. "Kamu udah lama datang?"

Dinda menggelen, tersenyum tipis. "Nggak, barengan sama kamu. Apa kabar, Nan?"

Kening Tari mengerut samar. Nan? Bukannya Bastian?

"Baik."

Dinda tersenyum. "Oh iya, kenalin ini Tari. Kalau nggak salah Tari juga kerja di kantor kamu."

Tari mengulurkan tangannya yang sayangnya tidak Afnan balas. "Afnan."

Tersenyum kecut, Tari kembali menarik tangannya. "Memang begitu kalau yang bukan mahrom bersalaman," jelas Annisa seolah mengerti raut wajah Tari yang mendadak masam.

"Maklum, Tari terlalu lama berkeliaran bebas." Dinda juga menyadari aura yang kurang mengenakan di ruang keluarga.

"Kamu mau ke dokter?" Afnan mengusap puncak kepala Annisa lembut. "Kita ke IGD?" tawar Afnan yang digelengi Annisa.

"Euis, ambilkan minum buat tamu," titah Annisa pada Euis yang masih setia berdiri menunggu intruksi.

"Aduh, jadi nggak enak ini." Annisa melirik Afnan memberi kode untuk menggantikan posisinya sebagai tuan rumah menyambut tamu.

"Nggak apa-apa, Nis. Kita bukan tamu kok, santai aja. Nanti deh kapan-kapan kita ke sini lagi." Dinda berdiri diikuti Tari yang ikut berdiri. "Kami pamit dulu ya?"

Dinda menyalami Annisa, begitupun Tari. Afnan bergeser ke belakang Annisa, sama sekali tidak melirik Tari. "Cepat sembuh ya, Mbak."

"Makasih."

Mereka pergi tanpa ada yang mengantar sampai depan pintu. Afnan terlihat enggan berbicara panjang lebar dengan tamu Annisa itu. Sementara Tari tercenung dalam mobil meresapi sikap Afnan yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa Afnan mengenalnya. Tari rasanya ingin membenturkan kepalanya supaya bisa melupakan perasaannya. Bukannya lenyap perasaanya, perasaan Tari malah semakin jadi. Tari mengusap perutnya, tersenyum tipis. 7 bulan bukan waktu yang sebentar, Tari bisa menggoyahkan dan mengaburkan rasa Afnan untuk Annisa.

***

"Kita ke dokter ya?" bujuk Afnan mengusap punggung Annisa lembut.

Sejak tadi sore, Annisa merengek ingin memeluknya. Menempelinya seperti lintah, melilit tubuh Afnan dengan kaki dan tangannya.

"Ini nyaman banget, dari tadi pagi muntah-muntah terus. Biasanya cuma mual doang."

Kening Afnan mengerut. "Biasanya? Sejak kapan? Kok kamu nggak bilang?"

Annisa semakin membenamkan wajahnya pada dada bidang Afnan. "Ada satu bulan lebih, cuma mual doang. Tapi hari tadi muntah parah, minum pun muntah lagi."

Tangan Afnan begerak menyampirkan rambut hitam lebat panjang Annisa. "Asam lambung kamu naik?"

Annisa menggeleng. "Nggak tahu."

Afnan tersenyum, mendekap Annisa erat. "Kamu manja banget."

"Aku juga nggak ngerti."

"Ya udah tidur ayo. Istirahat. Kasihan istriku capek."

Annisa hanya berdeham, mulai memejamkan matanya saat rasa nyaman mulai menjadi pengantar tidurnya. Afnan menghela napas panjang, keputusan yang dirinya ambil memang terbilang spontan. Mendengar kata aborsi berhasil menyentil egonya. 7 bulan bukan waktu yang lama, Afnan akan sabar menunggu, memenuhi resiko Tari sampai melahirkan.

Nanti, bayi itu akan menjadi anaknya dan juga Annisa dengan alasan dirinya mengadopsi anak. Ya. Semua keputusan terbaik. Dirinya bertanggung jawab, sekaligus memberikan darah dagingnya, meski bukan Annisa yang melahirkannya.

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang