Delapan

12K 673 39
                                    

"Kamu mau pisah rumah? Tapi kenapa? Ada ucapan Mbak yang nggak ngenakin perasaan kamu?"

Tari menggeleng, tersenyum meyakinkan. "Nggak sama sekali, Mbak. Aku cuma mau belajar mandiri," ucap Tari menahan ringisan. Afnan dan dirinya sudah mencapai kesepakatan. Minggu depan, Afnan akan menikahinya di rumah milik Afnan sebelum menikah. Tari juga akan tinggal di sana sampai melahirkan, dan Tari juga akan mengundurkan diri karena tidak mungkin dirinya bekerja dalam keadaan perut buncit.

Tari akan memenangkan hati Afnan. Tari yakin Afnan akan berpaling padanya. Setidaknya, seluruh perhatian Afnan akan jatuh padanya. Tari bisa menaklukan Pria manapun, bukan perkara yang sulit menaklukan Afnan. Afnan juga laki-laki, dia bisa menggoda Afnan dengan cara apapun.

"Kemana kamu pindah?" Dinda menatap Tari tidak yakin. "Kamu udah nggak punya siapa-siapa lagi, Mbak yang bertanggung jawab atas diri kamu. Nggak baik banget kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu nantinya."

Tari merangkum jemari Dinda menatap penuh keyakinan. "Mbak mau kan percaya sama aku? Aku bisa jaga diri." Dinda akan sangat syok sampai tahu dirinya hamil dan siapa yang menghamilinya. Semuanya bisa berantakan.

Satu bulan lalu, Tari sadar ada yang tidak beres dengan dirinya karena sudah terlambat menstruasi satu minggu. Padahal, biasanya Tari tidak pernah terlambat. Memberanikan diri membeli testpack ternyata dua garis merah, kaget, bahagia bercampur jadi satu. Tari tahu perasaannya salah dan amat terlarang, tetapi bila memang benih yang sedang tumbuh dalam dirinya bisa menarik Afnan, sungguh Tari tidak keberatan.

Dinda tersenyum paksa. "Ya udah, kamu jaga diri baik-baik. Nanti biar Mbak tengokin kamu kalau ada waktu luang."

Tari mengangguk, kemudian memeluk Dinda. Tari berharap akan tumbuh benih cinta dalam hati Afnan untuknya dan anak mereka kelak. Senyum Tari mengembang membayangkan harapannya menjadi kenyataan.

***

Annisa menatap ragu benda kecil yang tengah ia genggam. Mengembuskan napas berat, Annisa mulai mencelupkan benda tersebut pada air urinenya, Annisa memejamkan mata takut yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa detik menunggu, Annisa mengangkat benda kecil itu lurus dengan pandangannya. Bibirnya melengkung, tersenyum lebar melihat garis yang muncul. Dua garis!

Betapa bahagianya Annisa, hatinya berbunga. Air mata lolos begitu saja mewakili kebahagiaan yang memuncak dalam hatinya. Allah sudah menitipkan anugerah yang selama ini dirinya dan suaminya tunggu-tunggu. Annisa membekap mulutnya, menahan isak harunya.
Annisa menyimpan testpack tersebut, kemudian keluar dari kamar mandi. Berjalan cepat mengambil gawainya yang ia simpan di atas nakas. Dengan tidak sabaran Annisa menekan nomor suaminya, tidak lama kemudian wajah suaminya terlihat.

"Kamu nangis?"  kening Afnan mengerut melihat mata istrinya yang memerah dan juga berair.

Annisa mengangguk, membekap bibirnya. "Aku punya kejutan buat kamu."

"Apa?"

"Kamu pulang jam berapa? Aku bakal kasih tahu sama kamu setelah kamu pulang kerja."

Afnan tersenyum lembut. "Aku kayaknya harus lembur, nggak bisa pulang masih siang," ucap Afnan penuh sesal.

Annisa tersenyum sendu. "Nggak masalah, aku nunggu kamu pulang. Hati-hati di jalan, kalau ngantuk jangan paksakan pulang."

Afnan mengangguk mengiyakan. "Aku masih banyak kerjaan, bisa kita lanjut nanti saat makan siang?"

"Tentu," Annisa melambaikan tangannya. "Aku tutup."

"Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu." Afnan mengecup sekilas lewat gawai, sebelum akhirnya gawai menampilkan gambar Annisa dan Afnan yang begitu romantis.

Annisa tersenyum, mengusap lembut perutnya yang masih rata. "Terima kasih sudah mau hadir dalam rahim Umi, Sayang." Penantian dan kesabarannya tidak berujung sia-sia. Annisa semakin yakin bahwa Allah akan memberikan hadiah atas kesabaran setiap hamba-Nya.

Sementara di lain tempat, Afnan menatap nanar fotonya dengan Annisa yang terpajang di depan ruang utama rumah sebelum dirinya menikah. Afnan berbohong, dia tidak masuk kerja. Melainkan akan memulai sebuah pernikahan di atas kebohongan, di atas kesakitan istrinya. Afnan meringis, semua hanya karena tragedi satu malam yang berdampak menyakitkan untuk semuanya.

"Em, Pak- eh Mas."

Afnan menoleh, menatap datar Tari yang sudah siap menggunakan gamis berwarna putih serta kerudung yang memang tidak dipasang secara rapi.
"Semuanya sudah siap," lanjut Tari ragu.

Tanpa mengatakan apapun, Afnan melengos berlalu begitu saja melewati Tari membuat Tari meringis, tersenyum miris. Sebegitu hinanya kah dirinya? Tari mengusap matanya kasar, sebelum akhirnya menyusul Afnan.

Afnan menarik napas dalam-dalam, kemudian berjabat tangan dengan wali hakim yang menggantikan wali Tari. Afnan melantukan ijab dengan suara bergetar, menahan amarah dan gejolak penyesalan dalam dirinya.

Sekali napas, Afnan berhasil mengucap ijab hingga seruan sah terdengar oleh dua orang saksi.

Mereka menikah siri, bukan negara. Hanya ada saksi dari pihak RT dan juga RW di kawasan rumahnya.
Tari tersenyum, entah senyum bahagia atau sedih. Ia melirik ke sisinya mendapati wajah Afnan yang menegang dan juga terlihat datar. Utari sadar, hanya dirinya yang bahagia sendiri dalam pernikahan atas dasar kecelakaan ini.

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang