Dua Belas

7.8K 663 84
                                    

Dua bulan sudah, Afnan semakin dihantui gelisah dan juga tak tentu rasa. Setiap tengah malam Tari akan menghubunginya, mengganggunya dengan mengatakan hal yang tidak penting. Tari sering merengek meminta perhatian. Kepala Afnan rasanya nyaris pecah, setiap kali melihat Annisa gumpalan rasa bersalah semakin keras menghantamnya.

Afnan tidak menyadari bahwa Annisa sedaritadi memperhatikan raut wajahnya. "Mikirin apa? Belakangan ini kamu jarang banget tidur, Mas. Kantung mata kamu juga kelihatan banget cekungnya, kayak ada yang dipikirkan."

Afnan menatap Annisa, tersenyum kikuk. "Nggak ada apa-apa," sahut Afnan. Menghela napas panjang, Afnan bergeser menjatuhkan kepalanya pada dada Annisa yang tengah berbaring. Afnan butuh ketenangan. "Aku udah lama banget nggak kayak gini sama kamu. Aku mau istirahat, tidur nyenyak."

Tangan Annisa perlahan merambat pada helaian rambut Afnan, mengusapnya lembut melantunkan sholawat sebagai pengantar tidur.

Mata Afnan memanas, mengerjap pelan menarik napas dalam. Kening Afnan mengerut melihat perut Annisa yang sedikit membuncit. Perlahan, jemari Afnan merambat mengusap perut Annisa. "Kapan darah daging kita akan tumbuh di sini?" bisik Afnan nyaris tak terdengar.

Sungguh, bukan seperti ini yang Afnan inginkan. Dia sangat mencintai Annisa, membayangkan Annisa mengetahui semuanya membuat napas Afnan tersendat. Perlahan mata Afnan terpejam, mengeratkan lengannya memeluk Annisa.

Annisa tersenyum miris melihat perubahan suaminya yang cenderung lebih pendiam dan juga seperti sedang gelisah. Annisa tidak ingin mengorek lebih jauh pada Afnan, Annisa berinisiatif mencaritahu sendiri. Terlebih informasi yang Pram bawa untuknya waktu itu.

Annisa membenarkan letak tidur Afnan, bergerak perlahan menyingkir dari Afnan. Saat Annisa hendak berbalik, gawai Afnan berdering. Kening Annisa mengerut, melirik jam yang menunjukkan pukul 11 malam. Annisa menoleh pada Afnan yang masih terlelap. Dengan cepat Annisa turun dari tempat tidur, memutari tempat tidur. Gawai Afnan masih berdering, Annisa meraihnya. Nomor tidak dikenal.

Masalah pekerjaan? Tidak mungkin. Masalah pribadi? Tapi siapa?
Menjawab telepon, Annisa menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Mas, aku nggak bisa tidur. Mungkin anak kita rindu sama ayahnya."

Seketika dunia Annisa terasa runtuh, menjauhkan gawai Afnan demi untuk melihat nomor si penelepon. Annisa membekap bibirnya, kembali menempelkan gawai Afnan pada telinganya. "Mbak Annisa sudah tidur, kan? Mas kok diam saja? Sebenarnya aku ingin menuntut ketidakadilan yang Mas berikan. Kalau memang Mas nggak bisa membagi hati, seenggaknya Mas harus bisa membagi waktu. Satu malam saja, aku udah senang, Mas."

"Halo? Mas?"

Anak kita?

Annisa tersenyum getir, melirik Afnan yang masih terlelap. Tubuh Annisa luruh, meringkuk, menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. Annisa terisak, menolak percaya dengan apa yang dia dengar.

Membagi?

Tangis Annisa semakin deras, Annisa menggeleng tak percaya. Annisa mengangkat kepalanya, sambungan sudah dimatikan. Annisa kembali menyimpan gawai milik Afnan pada tempatnya. Tatapan Annisa terhenti pada Afnan, tatapannya tersirat penuh luka. Annisa bergegas keluar dari kamar mereka. Ya Rabbi ... rasanya menyakitkan sekali.

***

Afnan terbangun sudah adzan subuh, sebelah tempat tidurnya kosong saat lengannya meraba. Seketika Afnan bangkit. "Sayang?" hening, Afnan segera berdiri. "Sayang?" Afnan memeriksa kamar mandi yang ternyata kosong. Langkah Afnan semakin cepat keluar kamar. "Sayang?" Afnan menyusuri ruangan, terkejut karena Annisa yang duduk di sofa dengan mata sembab.

"Annisa? Kamu sakit?" Afnan berjongkok di hadapan Annisa, menatap cemas pada Annisa. "Sayang?" tangan Afnan gemetar, menyentuh jemari Annisa yang begitu panas. "Kamu demam." Afnan hendak menyentuh kening Annisa, tetapi terhenti saat Annisa menepis tangannya.

"Jangan dekat-dekat," desis Annisa membuka matanya menatap tajam Afnan.

Afnan terpekur. "Sa-"

"Apa yang kamu sembunyiin dari aku, Mas?"

Afnan bungkam.

Annisa bergeser menjauhi Afnan. "Bukannya aku sudah memberi kamu kesempatan buat menceraikan aku? Bukan malah menduakan aku, Mas!" teriak Annisa parau.

Afnan terpaku, menelan ludahnya kesusahan. Annis tahu? Apa ini masih dalam mimpinya? Iya, semalam tidur Afnan nyenyak, sampai ia bermimpi Tari datang membawa anaknya mengatakan semuanya pada Annisa. Mimpi itu membuat Afnan ketakutan setengah mati, segera terbangun mengembuskan napas lega karena semuanya hanya mimpi. Apa ini juga masih dalam mimpinya?

"Aku nggak pernah menduakan kamu, Nisa. Demi Allah!"

"Bohong!" sela Annisa keras. "Kamu bohong, Mas! Selama 4 bulan ke belakang, kamu membohongiku."

"Ni-"

"Jangan jelaskan apapun, Mas! Aku tahu semuanya. Semua terjadi saat kamu menghadiri acara kantor kamu itu. Dari sana kamu sering berbohong. Iya, kan?"

Afnan terduduk lemas. Serapat-rapatnya ia menyembunyikan bangkai, lama-kelamaan pasti akan tercium bau busuknya.
"Siapa wanitanya, Mas?"

Afnan diam.

"Siapa, Mas!" jerit Annisa keras.

Afnan mengangkat pandangannya, menatap Annisa memelas. Berusaha menggapai tangan Annisa. "Aku bisa jelasin semuanya, Nisa. Denger-"
Annisa menggeleng. "Aku udah percaya sama kamu, Mas. Aku pikir kamu akan benar-benar setia sama ikatan pernikahan kita. Tapi ternyata aku salah. Kamu munafik, Mas!"

"Annisa!" Afnan berdiri.

"Apa!" Annisa ikut berdiri. "Kamu munafik, Mas! Kamu bilang kalau kamu nggak memersalahkan keadaan aku yang sulit hamil. Tapi nyatanya? Kamu akan memiliki anak dengan wanita lain. Apa kalau bukan munafik namanya?!"

Bahu Afnan melemas. "Demi Allah, itu hanya kecelakaan satu malam, Nisa."

Annisa menyeka air matanya kasar. "Kamu menikahi dia karena dia hamil?"

Afnan terdiam.

"Ceraikan aku sekarang juga!" tekan Annisa sebelum akhirnya berlalu dari sana.

"Annisa!" Afnan mengejar Annisa. "Nisa!"

Pintu kamar ditutup kasar, Afnan menyusul masuk ke kamar. Annisa sudah mengeluarkan semua pakaiannya. "Nisa denger dulu, Nis."
Annisa menulikan telinganya, mencari kopernya. "Annisa!" tahan Afnan mencengkeram pergelangan tangan Annisa, kemudian menarik Annisa dalam dekapannya. Seketika tangis Annisa pecah. "Aku minta maaf. Aku mohon jangan tinggalkan aku," Afnan memelas mengecupi puncak kepala Annisa berkali-kali.
Annisa menangis tersedu meluapkan rasa sakit dalam hatinya. "Maafkan aku," Afnan mengulang ucapannya bergumam perih.

"Apapun alasannya, apa yang kamu lalukan sangat menyakiti hatiku, Mas."

"Aku tahu," Afnan mengeratkan dekapannya. "Aku tahu. Demi Allah, apa yang aku lakukan memang salah. Aku berdosa pada kamu dan pada Allah. Aku benar-benar khilaf."

Annisa menggeleng. "Ceraikan aku, Mas," lirih Annisa merintih pilu.

"Ceraikan aku."

Dekapan Afnan terlepas. Afnan menangkup pipi Annisa, menatapnya memelas. "Aku mohon ... jangan meminta berpisah. Aku nggak sanggup, Annisa." tiba-tiba tubuh Afnan merosot, bersimpuh di hadapan kaki Annisa. "Kalau perlu kamu hukum aku, siksa aku sepuas kamu. Asal jangan meminta berpisah." Afnan mengangkat pandangannya menatap Annisa memohon.

Annisa memalingkan pandangannya, enggan menatap Afnan. Perih dari sayatan sebilah pedang sepertinya kalah dengan perih dari dalam hatinya. "Aku nggak akan mengotori tanganku untuk menghukum perbuatan kamu, Mas. Aku manusia biasa nggak pantas memberi hukuman, biar Allah yang memberi hukuman atas perbuatan kamu." Annisa menarik napas dalam, sedikit lebih tenang. "Aku minta kamu ceraikan saja aku, karena sesuatu yang sudah dilukai jarang bisa kembali."

Air mata Afnan tumpah, memeluk kaki sang istri. "Demi Allah, seujung kuku pun aku nggak akan melepaskan kamu. Kecuali maut yang memaksa aku meninggalkan kamu. Aku tahu maaf nggak akan bisa mengobati sakit di hati kamu, setidaknya dengar dulu penjelasan aku," pinta Afnan di sela tangisnya.

"Siapa wanita itu, Mas?"
Hening sebelum akhirnya Afnan memberanikan diri menjawab, "Utari. Sepupu Dinda."

Kaki Annisa terasa lemas, seketika napasnya terhenti dan pandangannya mengabur perlahan berubah menggelap. Haruskah sekarang dirinya disiksa dengan kenyataan ini? Dosa apa yang pernah ia perbuat sebelum ini?

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang