Pukul 12 malam Afnan sampai di rumah, perkiraannya Annisa sudah tidur. Dengan langkah gontai, Afnan melangkah memasuki kamarnya. Saat pintu sudah ditutup, lampu kamar menyala terang. Annisa berdiri di dekat tombol lampu. Afnan terkesiap, menatap Annisa gugup.
"Baru selesai lembur, Mas?"
Afnan mengangguk, tersenyum paksa. "Aku kira kamu udah tidur." Tenang, Afnan. Annisa tidak tahu. "Kerjaan numpuk banget, jadi aku harus beresin sebelum akhir tahun."
Sebelah alis Annisa naik. "Benarkah?"
Afnan melangkah, mendekat pada Annisa merangkul Annisa kemudian mengecup puncak kepala Annisa lamat."Kamu nggak mau menceritakan apapun sama aku, Mas?"
Kecupan terlepas, Afnan menjauhkan diri. "Nggak ada," tukasnya menyimpan tas kerja di atas nakas. Kemudian membuka kemejanya."Besok aku ada janji sama Tari dan Dinda."
Seketika tubuh Afnan menegang, menelan ludahnya kesusahan. "Terus?"
"Tari akan datang ke rumah."
Tubuh Afnan mendadak kaku. "Nggak masalah." Afnan melengos ke kamar mandi, menghindari topik pembicaraan.
Sementara Annisa, tersenyum getir melihat bagaimana gestur yang ditunjukkan oleh suaminya. Benarkah apa yang dikatakan Pram? Afnan menyelingkuhinya?
Afnan berhasil mengalihkan pembicaraan, mengembuskan napas lega saat mendapati Annisa sudah terlelap. Afnan bergerak perlahan, memeluk Annisa dari belakang. Aroma tubuh Annisa selalu berhasil menenangkan kegelisahannya.
"Kamu bilang ada yang mau dibicarakan?" bisik Afnan lembut.Annisa memejamkan matanya rapat, masih tidak yakin dengan sikap yang ditunjukkan Afnan. "Sayang?" Annisa menulikan telinganya, semakin merapatkan matanya. "Apa yang mau kamu katakan?"
Afnan menghela napas panjang, menyadari bahwa Annisa memang tidak mau bicara padanya. Kalau Annisa benar-benar tidur, Annisa akan langsung merapat padanya tanpa disadari. Dan juga napas Annisa terlihat tidak teratur.
"Aku minta maaf karena pulang larut malam."
Annisa menulikan telinganya.
Afnan mengalah, membalikkan tubuhnya tidur terlentang mengangkat lengannya menutupi wajahnya.Annisa mengembuskan napas pelan, tersenyum kecut. Bila memang benar Afnan mengkhianatinya, Annisa akan mencaritahu sendiri sampai ia benar-benar melihat dengan matanya sendiri tanpa meminjam mata orang lain.
***
Sepi
Begitulah yang Tari rasakan, terlelap sendiri padahal dirinya baru saja menyandang status seorang istri walau hanya di mata agama. Tari meraba sebelah tempat tidurnya yang kosong, beralih mengusap perutnya pelan. Beginikah rasanya menjadi orang ketiga di antara orang yang saling mencintai? Bukankah poligami juga harus adil? Istri kedua juga harus mendapatkan hak yang sama seperti yang istri pertama dapatkan. Termasuk cinta.
Tari merubah posisinya terlentang, menatap nanar langit-langit kamar. Poligami? Biasanya istri kedua yang selalu dilimpahi kebahagiaan dan mendapat perhatian yang lebih. Lalu, mengapa dirinya malah sebaliknya? Terasingkan.
Tari menahan genangan air mata yang tiba-tiba berdesakan meminta keluar. Mata Tari terpejam, meresapi sesak yang melingkupi hatinya.
Cepat atau lambat, dirinya akan menarik perhatian Afnan, membuat Afnan melupakan Annisa.***
Afnan menatap lekat istrinya yang tengah fokus memasangkan dasi. "Kamu bilang ada yang mau dikatakan."
Annisa menatap Afnan sekilas, Annisa kembali menunduk menggeleng pelan. Annisa pikir, bukan waktunya memberitahu Afnan tentang kehamilannya. Annisa ingin tahu dulu apa yang dikatakan Pram itu benar atau tidaknya. "Nggak ada."
Kening Afnan mengerenyit. "Kamu menyembunyikan sesuatu?"
Annisa mendongak, menatap Afnan lekat. "Kenapa kamu bertanya begitu?"
Afnan menggeleng, tersenyum kecut. "Aneh aja," pungkasnya, "kamu bilang ada yang mau kamu kasih tahu sama aku. Tapi ternyata nggak ada."
"Aku masak nasi goreng seafood kesukaan kamu sama air lemon hangat. Sarapan yuk? Nanti keburu dingin."
Afnan meringis, menyadari ada yang tidak beres dengan gelagat Annisa. Tapi apa? Apa hanya perasaannya saja yang memang tengah menyembunyikan sesuatu? Afnan mengikuti langkah Annisa yang menggandeng lengannya mesra.
Di meja makan, seperti biasa Afnan akan menyimpan gawainya di atas meja. Tiba-tiba saja gawainya berdering, membuat keduanya seketika menatap gawai milik Afnan. Afnan tergesa meraih ponselnya, menahan napas saat melihat nomor yang tertera. Afnan melirik Annisa yang ternyata tengah memperhatikannya.
"Siapa?"
Afnan gelagapan. "Ini, rekan kerja."
Kening Annisa mengerut. "Tumben? Biasanya nggak pernah ada yang telepon sepagi ini."
Afnan terdiam.
"Mungkin ada urusan penting yang harus ditanyakan."
"Ahh..." Annisa mengangguk paham, kembali menyantap sarapannya.
"Aku jawab dulu sebentar ya?" izin Afnan yang langsung Annisa angguki.
Saat Afnan berdiri, menjauh dari meja makan. Annisa menghempaskan alat makannya, menatap punggung Afnan nanar. Kalau memang apa yang dikatakan Pram benar, Annisa tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Annisa mengusap matanya kasar, menarik napas dalam menahan rasa sesak dalam dirinya."Sudah?"
Afnan mengangguk. "Sudah."
"Kamu bisa pulang lebih cepat, kan? Antar aku ke dokter kandungan buat-"
"Sayang, barusan ada kerjaan tambahan yang mengharuskan aku lembur. Bisa besok saja ke dokter kandungannya?"
Annisa mengembuskan napas, mengangguk paksa. "Lembur ya?"
"Iya." Afnan kembali memakan sarapannya dengan tenang.
"Akhir-akhir ini, kamu sering banget lembur?"
Afnan hampir tersedak, meminum air putih sekali teguk. "Iya. Banyak banget kerjaan."
"Oh..." Annisa memutuskan kontak mata mereka lebih dulu. Menyudahi sarapannya, memilih meminum air putihnya. Afnan sudah mulai banyak berbohong. "Kamu tahu? Sesuatu yang di awali dengan kebohongan akan selalu membuat orang yang berbohong semakin menumpuk kebohongan."
"Sayang?" Afnan menyela. "Kenapa kamu bilang begitu?"
Annisa mengedik, tersenyum manis. "Aku cuma mengingatkan, takutnya kamu lupa." Annisa berdiri, membereskan makanan bekas sarapan mereka, meninggalkan Afnan yang tercenung dengan ucapan Annisa yang terasa menyindirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poligami (Tamat)
RomanceKatanya mencintai, tetapi menyakiti. Katanya menyayangi, tetapi mendustai. Poligami Haruskah sebuah hati direlakan menerima pengkhianatan? Haruskah tetap percaya saat dirinya menduakan? Bukan mengharamkan berpoligami, tetapi cara yang dilakukan s...