Berkali-kali Afnan mengerjapkan matanya mengahalu pening dan juga rasa panas yang mendadak melanda tubuhnya. Afnan beberapa kali mengerang tertahan. Keringat dingin mulai membanjiri kening serta pelipisnya, Afnan heran dengan reaksi tubuhnya yang tiba-tiba seperti sekarang.
Annisa
Dirinya membutuhkan Annisa, dirinya butuh pelepasan. Bagaimana ini? Afnan berdiri, undur diri pada rekan kerja serta direktur utama untuk ke toilet. Sungguh, panas yang Afnan rasakan sangat menyiksa diri.
Langkah Afnan terhuyung, bertopang pada dinding ruangan. Afnan mengembuskan napas beberapa kali menahan gejolak dalam dirinya yang terasa menyakitkan."Pak."
Afnan menoleh pada wanita yang menghampirinya. Samar Afnan mengingat, siapa wanita yang beridir di sisinya ini.
"Bapak kenapa? Ada yang bisa saya bantu?" raut wajah wanita itu tampak cemas, menggapai tangannya.
Afnan menepis, menjauh mundur beberapa langkah. "Kamu?"
"Saya Tari, Pak."
Panas di tubuh Afnan semakin menggila melihat tubuh mulus yang terpampang di hadapannya. Afnan mengerang, memejamkan matanya beristighfar dalam diri.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Afnan menggeleng, masih dengan mata terpejam. "Nggak ada. Saya harus ke toilet. Dimana toilet?"
Tari menelan ludahnya susah payah melihat penolakan Afnan. "Mari saya antar, Pak."
"Nggak usah! Saya bisa sendiri." Penolakan Afnan bisa dibilang kasar, karena Afnan merasa ada yang tidak beres dengan nafsunya. 30 menit setelah meminum air pemberian Pram, tubuhnya mendadak seperti ini.
"Di ujung lorong ini, Pak."
Afnan membuka mata, melangkah cepat meninggalkan Tari yang termangu heran dengan perubahan sikap Afnan.Sesampainya di toilet, Afnan membasuh wajahnya berkali-kali berharap rasa aneh dalam dirinya berkurang. Bukannya berkurang, sekarang malah bagian tubuh lainnya bereaksi tidak wajar. Reaksi yang selalu ditunjukkan saat sedang memadu kasih dengan istrinya tercinta. Afnan merenggut rambutnya frutrasi, pulang. Afnan harus segera pulang. Persetan dengan atasannya!
Afnan melangkah cepat keluar toilet yang ternyata Tari masih berdiri di depan pintu. "Ngapain kamu berdiri di sini?" geram Afnan tak terkendali.
"Saya khawatir Bapak kenapa-napa."
Afnan mengibaskan tangannya. "Saya baik-baik aja, kamu boleh pergi." Afnan melangkah melewati Tari, tetapi jemari lentik Tari berhasil menahan pergelangan tangan Afnan. Sentuhan itu membuat Afnan semakin menggila."Bapak kelihatannya nggak baik-baik aja."
Afnan menatap tajam Tari. "Apa yang kamu lakuin sama saya?"
Tari melepaskan pegangannya, menatap takut Afnan. "Saya lihat Bapak kayak keringat dingin, saya tadinya ada niat baik mau bantuin Bapak," cicit Tari gugup.
Tatapan mata Afnan menggelap, kehilangan kendali. Logikanya kabur, tenggelam dengan gairah dan ingin segera melepaskan hasratnya. "Kamu beneran mau bantuin saya?"
Tari mengangguk polos.
Seketika Afnan menarik tangan Tari, menyeretnya memasuki lift karena tangga akan sangat menyiksanya. Afnan ingat pembicaraan kamar yang sudah dipesan untuk pegawai yang mau beristirahat. Sesampainya di lantai dua, Afnan memasuki kamar mana saja kemudian mendorong Tari, menutup pintu kuat. "Puaskan saya." Afnan menggelap, lupa ada istri yang menunggunya pulang.
"Pak..."
Afnan sudah sangat lupa, membuka pakaiannya kemudian menyerang Tari tanpa aba-aba. Semua terjadi. Kegiatan yang bisa menghantui Afnan saat bertemu dengan istrinya besok.
***
Annisa terbangun, sudah jam 10 malam lebih Afnan belum pulang. Annisa memeriksa gawainya, tidak ada pesan dari suaminya. Kening Annisa mengerut, melangkah keluar kamar.
Suara gaduh di dapur terdengar, Annisa melangkah cepat menuju dapur. "Kamu belum tidur, Euis?"
Euis terlonjak, berbalik menghadap majikannya. "Aduh Ibu... Euis jadi kaget. Ibu ada perlu apa? Biar Euis buatkan."Annisa tersenyum, menggeleng pelan melirik jendela dapur yang langsung mengarah ke halaman belakang. "Bapak belum pulang?"
"Belum, Bu. Kalau Bapak udah pulang ya saya udah sampai di Korea dong."
Annisa terkekeh, menatap geli asisten rumah tangganya. "Ya udah, kamu tidur aja. Biar saya yang nungguin Bapak."
"Tapi, Bu-"
"Nggak apa-apa, Is. Saya juga udah lumayan segar kok."
Euis cengengesan. "Duh jadi nggak enak saya, Bu."
Annisa mendorong bahu Euis lembut. "Udah sana. Kamu juga kan besok harus kerja lagi."
"Ibu pengertian banget memang." Euis melepas apronnya, berpamitan pada Annisa sebelum akhirnya berlalu dari dapur.
Annisa mengembuskan napas, merogoh gawainya yang ia simpan di saku gamisnya untuk kembali menghubungi suaminya. Sudah hampir setengah sebelas malam, tetapi belum ada tanda-tanda suaminya pulang dan teleponnya pun tidak dijawab.
Annisa mendadak gelisah, berkali-kali melirik gawainya tidak ada tanda notif dari suaminya. Daripada berpikiran buruk, Annisa memilh kembali ke kamar membersihkan diri berwudhu, menunaikan sholat sunah, kemudian mengaji untuk menentramkan hatinya. Berdoa pada yang Allah semoga suaminya dilindungi dan dijauhkan dari marabahaya.
Di lain tempat, Afnan seketika terbangun menatap sekeliling yang asing dari pandangannya. Afnan menoleh ke sisinya mendapati wanita yang mengenakan selimut menutupi tubuh telanjangnya. Afnan bangkit, hatinya bak dihunjam ribuan pedang. Perih dan sakit mengingat dirinya telah berbuat nista.
Annisa
Mata Afnan terpejam, terbayang senyum lembut yang menyambutnya. Rasa pedih semakin menjalari hatinya, Afnan meringis tanpa pikir panjang berdiri memunguti pakaiannya melangkah cepat ke kamar mandi membiarkan wanita itu terlelap sendiri.
Berada di bawah guyuran air, kedua tangan Afnan terkepal kuat hingga jari bukunya memutih. Rahangnya mengetat, kemudian tubuhnya ambruk seketika. Lelehan air mata ikut tersamarkan oleh guyuran air. Afnan memaki, mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana dirinya menghadapi Annisa setelah apa yang dirinya perbuat? Hilang kendali, Afnan memukul keras lantai hingga jemarinya membiru.
Di luar kamar mandi, Tari melirik sekitarnya mendengar gemericik air menandakan bahwa ada orang di dalam sana. Senyum Tari mengembang dihiasi rona merah di pipinya. Tari tidak menyangka bahwa Afnan sebergairah itu padanya. Tidak masalah mempunyai istri, toh banyak Pria menikah lagi dan semuanya baik-baik saja. Tari rela menjadi yang kedua asal suaminya adalah Afnan.
Pintu kamar mandi terbuka, Tari menoleh menatap Afnan sembari tersenyum malu. Sedangkan Afnan hanya memasang raut wajah dingin dan juga iris matanya memerah.
"Em... Pak-""Saya harus pulang, istri saya menunggu." Afnan membereskan barang sisa miliknya. "Kabari saya kalau sampai terjadi kesalahan, jangan bertindak gegabah. Biar saya cari solusi kalau sampai ada masalah di kemudian hari."
Rasa senang yang melanda Tari mendadak lenyap mendengar nada dingin dari suara Afnan. Tari menelan ludahnya kesusahan, menyadari bahwa apa yang terjadi satu jam yang lalu itu bukan murni keinginan Afnan.
Selesai membereskan barang miliknya, Afnan berbalik melangkah tergesa keluar dari kamar meninggalkan Tari yang tercenung memang tidak ada harganya. Air mata Tari tumpah, menyentuh dadanya yang terasa berdenyut perih. Tersenyum getir, Tari bangkit melilitkan selimut ke tubuhnya. Ah ternyata benar, Afnan laki-laki yang setia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poligami (Tamat)
RomanceKatanya mencintai, tetapi menyakiti. Katanya menyayangi, tetapi mendustai. Poligami Haruskah sebuah hati direlakan menerima pengkhianatan? Haruskah tetap percaya saat dirinya menduakan? Bukan mengharamkan berpoligami, tetapi cara yang dilakukan s...