Dua

12.1K 617 24
                                    

"Afnan!" Afnan menoleh, tersenyum sopan menunggu atasannya yang melangkah ke arahnya. "Mau pulang, Nan?"

"Iya, Pak."

"Minggu depan kantor kita akan ngadain acara, lebih tepatnya pesta buat keberhasilan Perusahaan kita yang berhasil menang tender besar, juga berhasil menanam saham di Perusahaan raksasa."

Afnan tersenyum sungkan, bingung bagaimana caranya agar bisa menolak untuk tidak ikut bergabung. "Saya turut bersyukur, Pak."

Afnan memang menjabat sebagai direktur di Perusahaan tempatnya bekerja, tetapi di atasnya ada direktur utama pemilik Perusahaan. Afnan hanya beruntung memiliki otak cerdas dan kegigihan yang mampu mengangkatnya berada di posisi sekarang.

"Kamu harus ikut, Nan. Nggak afdol kalau nggak ada kamu." Direktur utama menatap Afnan serius, sedikit memohon.

Afnan mengusap pelipisnya bingung. "Maaf, Pak. Saya nggak bisa janji juga. Takutnya nggak bisa menepati," ucap Afnan sungkan.

Direktur utama mendesah pelan. "Bila perlu saya yang meminta izin sama istri kamu supaya kamu bisa ikut dalam perayaan nanti."

"Bukan istri saya, Pak. Tapi memang rasanya kurang pantas saja bersenang-senang tanpa adanya istri."

Direktur Utama, Pak Haryono menepuk bahu Afnan pelan. "Saya yakin istri kamu juga pasti mengerti dan memberikan kamu kesempatan buat melepas penat. Saya harap kamu nggak buat saya kecewa."

Mendesah gusar, Afnan tersenyum kikuk. "Saya pikir-pikir dulu, Pak." biasanya, Pak Haryono tidak pernah memaksanya seperti sekarang. Apa mungkin kehadirannya sangat diperlukan? Mungkin nanti sepulang kerja dirinya akan menceritakan pada Annisa sekalian meminta izin untuk minggu depan.

Pak Haryono tersenyum. "Kalau begitu saya duluan."

Mengangguk sopan, Afnan memberi jalan pada atasannya. Afnan mengembuskan napas berat sebelum akhirnya kembali melangkah menuju basement tempat mobilnya parkir.

Annisa pasti akan mengizinkan, tetapi dirinya saja yang kurang nyaman bila harus berpergian tanpa didampingi istri.

***

"Kamu naksir sama siapa, Dek?" Dinda duduk di samping Tari yang sedari kemarin senyum-senyum tidak jelas setiap pulang dari kantor.

"Sama direktur umum, Mbak. Dia itu tampan, pembawaannya juga sejuk banget. Teduh waktu lihat wajahnya. Cerminan Pria idaman," jelas Tari dengan mata yang menerawang.

Kening Dinda mengerenyit. "Kalau nggak salah kantor tempat kamu bekerja itu juga kantor suami sahabatnya Mbak. Suami Mbak Annisa itu loh yang pernah Mbak ceritain sama kamu."

Tari seketika duduk tegak. "Iya kah? Siapa namanya? Menjabat sebagai apa? Siapa tau aku kenal," cecarnya cepat. Tari dan Dinda memang memutuskan untuk tinggal bersama, walau hanya sepupuan, tetapi mereka sudah seperti adik-kakak.

"Namanya Afnan, Tar. Tapi Mbak lupa menjabat sebagai apa, karena terakhir jabatannya itu General Manajer." Dinda lupa tidak menanyakan kabar suami Annisa kemarin.

Bibir kecil Tari membulat, mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau direktur utama suka dipanggil nama belakangnya sih, terkenalnya itu Pak Bastian. Nggak tau kalau Pak Afnan belum pernah dengar, mungkin karena aku baru masuk 2 mingguan kali ya?"

"Iya kayaknya gitu, Tar. Tapi coba nanti Mbak tanyain sama Annisa."

"Mbak Annisa cantik nggak, Mbak?"

Sebelah alis Dinda naik, menatap Tari heran. "Kenapa tanya begitu?"

Tari mengedik, dia juga tidak tahu. Tapi rasanya penasaran saja ingin melihat wanita yang sering Mbak-nya ceritakan itu. "Ya pengen tau aja, Mbak."

Dinda meraih ponselnya, membuka galeri kemudian menunjukkan foto Annisa dengan dirinya yang baru diambil kemarin. "Nih Annisa."

Tari langsung mengambil alih ponsel Dinda, meneliti wanita yang terlihat sholehah itu. Mata Tari berbinar, dalam hati memuji kecantikan yang teepancar jelas dari wajah Annisa. Bibirnya yang ranum, mata yang bulat bersih dan juga wajah yang natural. Dalam hati dirinya berdecak kagum. "Cantik banget, Mbak."

Dinda mengangguk membenarkan. "Iya, cantik banget memang," sahutnya mengambil ponselnya kembali. "Udah cantik, baik, sholehah. Sempurna aja udah, tapi ya namanya manusia nggak ada yang sempurna. Sampai sekarang Annisa itu belum punya anak."

Tari menatap Dinda lekat. "Baru menikah ya wajar kalau belum hamil, Mbak."

Dinda menggeleng. "Mereka udah menikah selama lima tahun, keduanya sabar banget dan selalu kelihatan mesra. Waktu kemarin juga dijemput sama suaminya, perhatian banget. Mbak juga makanya belum mau menikah, berharapnya sih pengen punya suami kayak suaminya Annisa."

Tari mendengus, menyenggol bahu Dinda keras. "Ye.. Kalau jodoh sih gimana akhlak kita, Mbak. Kita baik, ya pasti bakal dapat jodoh yang baik juga. Kalau jelek kayak Mbak sih akhlaknya nggak tau deh."

Dinda mendengus, mengacak gemas rambut Tari. "Dukung kek, bukan malah mojokin."

Tari tergelak puas. "Tapi Mbak, memang direktur umum tuh matang banget kelihatannya. Fix, dia bakal jadi Pria idaman aku. Semoga saja ada tulisan jodohnya," ucap Tari dramatis.

Dinda menoyor kepala Tari keras membuat Tari mengaduh, sebelum akhirnya mereka saling bercanda mengejek satu sama lain.

***

Afnan mengecup mesra kening istrinya setelah melakukan kegiatan malam mereka, bergulir ke sisi istrinya menarik istrinya masuk dalam dekapannya. "Pak Haryono minta aku buat ikut ke acara kantor yang diadain minggu depan." Afnan mulai membuka suara.

Annisa merapatkan tubuh polosnya, memeluk suaminya erat. "Terus?"

"Sebenernya aku mau nolak sih, tapi nggak enak sama Pak Haryono." Afnan meraih jemari istrinya, mengecupnya berkali-kali. "Menurut kamu gimana?"

Annisa mendongak, menopangkan dagu lancipnya pada dada suaminya. "Ya terserah, kalau memang itu sangat diperlukan."

Afnan menatap lekat istrinya. "Pak Haryono sebelumnya nggak pernah memaksa, tapi untuk kali ini beliau memaksa." Afnan merapikan rambut hitam legam istrinya, mahkota yang tidak pernah dipertontonkan pada orang di luar sana. Hanya dirinya yang memiliki dan yang bisa melihat keindahannnya. "Aku jadi nggak enak."

Annisa tersenyum lembut, mengusap dada telanjang suaminya pelan. "Ya pergilah, aku nggak pernah melarang kamu. Sekali-kali nggak masalah."

"Kamu nggak marah, kan?"

"Nggak dong, masa begitu saja marah."

Afnan tersenyum lega, menarik istrinya agar semakin merapat kemudian mengecup puncak kepalanya bertubi-tubi. "Kamu pengertian banget."

"Bukannya suami-istri itu harus saling mengerti," sahut Annisa sambil tersenyum.

"Iya. Kamu memang yang terbaik."

Mereka tidak pernah tahu bahwa malam selanjutnya akan menjadi malam-malam yang buruk karena tragedi satu malam yang akan menjadi boomerang dalam rumah tangga mereka.

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang