Annisa tersenyum cerah, wajahnya selalu bersinar ceria. Gamis berwarna biru langit dipadupadankan dengan jilbab panjang berwarna pink muda menambah kecantikan Annisa. "Selamat pagi istriku sayang.." terkesiap dipeluk dari belakang membuat Annisa terkekeh kecil, mengusap rahang suaminya yang menempel di sisi kepalanya.
"Selamat pagi suamiku sayang..."
Hangat
Satu kata yang muncul dari setiap orang yang melihat kemesraan mereka. Afnan begitu baik memerlakukam istrinya, penuh cinta dan penuh kasih sayang. Begitupun dengan Annisa yang selalu menuruti apa kata suami selama itu masih di jalan yang benar.
"Aduh ... Ibu sama Bapak kok selalu lengket, kan Euis jadi iri ini," celetuk asisten rumah tangga mereka.
Annisa terkekeh geli, menggeleng pelan. "Ini sih bukan lengket, Euis. Tapi memang si Bapaknya aja yang mesum nggak tau tempat," sahut Annisa masih dengan posisi Afnan memeluknya.
Afnan tertawa kecil, semakin menarik tubuh Annisa merapat pada tubuhnya. "Iya dong, biar rasa cinta selalu tumbuh subur dalam hati," goda Afnan menoel dagu lancip istrinya.
Annisa memutar bola mata malas, menepuk keras lengan suaminya. "Gombal terus sampai Euis jadi nenek-nenek ya, Euis?"
Euis terkikik geli. "Ih si Ibu mah suka malu-mau kucing, padahal seneng ya dipeluk-peluk gitu."
"Astaghfirullah, Euis," tegur Annisa melotot pura-pura marah. Euis tertawa sebelum akhirnya berpamitan berlalu dari ruang makan. Annisa dan Afnan memang selalu baik pada asisten rumah tangga yang memang sudah mereka anggap sebagai keluarga sendiri.
Afnan tertawa, akhirnya melepaskan istrinya kemudian duduk di kursi. "Kamu yang masak?"
"Ya iya, masa Euis. Alamat nggak dimakan sama kamu." Annisa menyusul duduk di kursi samping suaminya. "Aku mau izin ketemuan sama Dinda."
Afnan mulai menyuapkan nasi goreng ke mulut tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab, "Boleh, tapi pas aku pulang, kamu harus udah ada di rumah."
Annisa mengangguk semangat, tersenyum lebar. "Siap!"
"Memang kapan Dinda balik ke Bandung?"
"Udah sebulanan sih, kemarin dia baru aja buka toko buku baru di sini. Aku sekalian mau lihat-lihat juga," jawab Annisa menyuapkan buah.
Afnan mengangguk paham. "Ya sudah, hati-hati di jalan. Nyetir sendiri atau sama Pak Parman?" Afnan inginnya langsung meminta Annisa menggunakan sopir, karena kasus kemarin saat belajar mobil membuat Afnan sedikit ragu melepaskan Annisa menyetir sendiri.
"Maunya sih nyetir sendiri," Annisa cengengesan. "Tapi nggak jadi deh, biar sama Pak Parman aja. Takut kamu nggak tenang nanti pas kerja."
Afnan tersenyum lebar mengembuskan napas lega. "Bagus. Itu artinya kamu pengertian sama suami," pungkas Afnan membuat Annisa mencebik kesal.
"Kamu ini," Annisa mencubit lengan Afnan, iseng mencabut bulu di lengan Afnan kasar membuat Afnan mengaduh. "Kapan bisanya coba kalau nggak diizinin terus," cebik Annisa kesal.
Afnan mengusap lengannya, meniup pelan. "Sayang, bukan aku nggak ngizinin, tapi memang kondisinya belum memungkinkan. Lebih baik cari aman daripada cari perkara."
Annisa melotot. "Cari perkara bagaimana maksudnya?! Kamu nggak percaya sama aku?"
"Bukan begitu," sanggah Afnan cepat. "Aku cuma jaga-jaga, ya kalau kamu nabrak tiang listrik, pohon, atau pembatas jalan sih nggak masalah. Kalau nabrak orang? Kasihan dong orangnya."
"Alesan aja."
Afnan tersenyum, tangannya terulur mencubit pipi istrinya gemas. "Nanti kita belajar lagi ya? Baru kamu aku lepas nyetir sendiri di jalan."
Annisa tersenyum lebar. "Woah... Suamiku paling tampan sedunia!"
Kali ini, Afnan memutar bola mata malas. "Maunya diturutin langsung muji, giliran kemauannya nggak diturutin langsung cemberut," cibir Afnan memakan rakus sarapannya.
Annisa cengengesan kedip-kedip manja pada suaminya. Memang Afnan Pria paling lembut yang paling pengertian. Bersyukurnya dia karena bisa memiliki suami seperti Afnan.
***
"Selamat datang Bu Hajah..." Dinda membukakan pintu ruangannya menyambut kedatangan Annisa yang tertawa kecil diperlakukan seperti itu.
"Aduduh... Sahabatku ini, rindu aku itu sama kamu." Annisa memeluk erat Dinda setelah mereka masuk ke ruangan Dinda. "Kamu apa kabar?" Annisa masuk dibimbing Dinda untuk duduk di sofa yang ada di sana.
"Aku baik banget, Nis. Kamu apa kabar?" Dinda duduk di sofa depan Annisa. "Aku juga baru sempat kabarin kamu karena kemarin-kemarin lumayan repot juga kelupaan jadinya," kikik Dinda malu.
"Ya seperti yang kamu lihat, Din. Kalau raga sehat, batin juga alhamdulillah. Cuma ya itu belum dikasih kepercayaan buat punya momongan." raut wajah ceria Annisa berubah sendu. "Merasa dosa banget belum bisa kasih keturunan sama Mas Afnan."
Dinda tersenyum lebar. "Jangan dijadikan pikiran, Nis. Kamu ambil sisi positifnya aja. Eh, omong-omong kamu masih buka kelas jodoh nggak?"
Annisa refleks menggeleng karena memang setelah dua tahun pernikahan, Annisa memilih libur dari pekerjaannya sebagai konsultan dan juga penulis buku-buku religi. Ceritanya ingin fokus pada pembuahan. "Udah lama aku nggak buka kelas lagi. Kenapa kamu tanya begitu?"
Dinda menghela napas, bersandar lelah pada sandaran sofa. "Sepupuku, Tari. Dia itu udah 27 tahu, tapi belum juga bertemu jodohnya. Kasihan dia katanya mau segera menikah, aku kira kamu masih buka kelas."
Annisa mengedik pelan. "Istirahat total, Din. Tapi kalau memang Tari butuh bimbingan dan pencerahan, boleh juga itu kapan-kapan kita sharing. Sekalian juga kan ngisi waktu luang, kalau sendiri nggak akan terlalu berat dan nggak harus mengeluarkan energi banyak."
"Bagus, biar nanti aku kasih tau Tari supaya siapin mental sama dompetnya."
Seketika Annisa tergelak. "Bisa aja kamu, Din. Nggak usah bayar segala, aku ikhlas kok berbagi ilmu nanti sama sepupu kamu. Sama kamu sekalian juga boleh."
Bergidik ngeri, Dinda menatap horor Annisa. "Aku tau ya gimana kejam dan sadisnya kamu waktu kasih materi."
Annisa mengggeleng. "Itu sih kamu aja yang terlalu berlebihan," tukas Annisa kemudian meminum teh yang disuguhkan.
Percakapan mengalir, dari obrolan A sampai Z mereka absen satu persatu.
***
"Permisi, Pak." Afnan menoleh pada pintu masuk, kemudian tersenyum tipis. "Saya disuruh Pak Bambang buat nganterin berkas ini." pandangan Afnan berpindah pada map hijau yang didekap wanita blasteran itu.
"Masuk." Wanita itu masuk, melangkah pelan penuh santun. "Saya kok nggak pernah lihat kamu?"
Wanita itu tersenyum. "Saya Tari, Pak. Pegawai yang baru naik jabatan, asalnya saya cuma SPG," jawabnya malu-malu.
Afnan mengangguk paham. "Pantas saja kalau begitu. Mana sini berkasnya." tangan Afnan terulur tanpa mau repot untuk melihat Tari.
Tari memberikan berkasnya pada Afnan, mundur beberapa langkah. "Saya permisi dulu, Pak," pamitnya yang tertahan oleh seruan Afnan.
"Sebagai seorang perempuan, baiknya kamu menjaga diri dari pandangan Pria diluaran sana. Kamu nggak akan jadi untung dengan pakaian yang kamu kenakan sekarang."
Afnan risih melihat pakaian Tari, terlalu ketat dan juga kurang bahan.
"Kecantikan nggak perlu dipertontonkan, kamu akan tetap terlihat cantik tanpa menunjukkan aurat kamu," imbuhnya lagi.
Tari terpana, tersenyum malu merasakan kehangatan atas perkataan Afnan yang terdengar memperhatikannya. "Terima kasih, Pak."
Afnan mengangguk tanpa melihat Tari. "Keluarlah, nggak baik lama-lama berdua dalam satu ruangan."
Pipi Tari bersemu, tersenyum merasa senang atas perhatian kecil Afnan. Segera Tari keluar dari ruangan Afnan, berharap ada kesempatan lagi untuk bisa bersua dengan Afnan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poligami (Tamat)
RomanceKatanya mencintai, tetapi menyakiti. Katanya menyayangi, tetapi mendustai. Poligami Haruskah sebuah hati direlakan menerima pengkhianatan? Haruskah tetap percaya saat dirinya menduakan? Bukan mengharamkan berpoligami, tetapi cara yang dilakukan s...