Berkali-kali Afnan mengusap wajahnya kasar, menunggu Annisa sadarkan diri. Betapa terkejutnya Afnan mendengar penuturan dokter yang memeriksa Annisa. Istrinya tengah mengandung 10 minggu? Afnan menatap Annisa lekat. Rasa bersalah semakin kuat menghantamnya.
Afnan meraih punggung tangan Annisa, kemudian mengecupinya bertubi-tubi. "Maaf, maaf, maaf." Afnan bergumam lirih, sesal menggunung.
Mata lentik Annisa terbuka, menoleh ke sisinya. Seketika menarik tangannya dari genggaman Afnan.
"Jangan sentuh aku!" desis Annisa lirih.Afnan meringis. "Maaf, aku beneran minta maaf. Aku mengaku salah." Afnan menatap Annisa lekat. "Kamu menyembunyikan kehamilan kamu selama ini sama aku? Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama anak kita?"
Annisa tertawa getir. "Nggak masalah kalau memang terjadi sesuatu. Toh Ayahnya akan memiliki anak dari wanita lain," Annisa memalingkan wajahnya ke lain arah. Enggan menatap Afnan.
"Demi Allah! Aku nggak pernah mengkhianati kamu, Nisa. Itu kecelakaan," lirih Afnan menatap sendu Annisa.
Annisa memejamkan matanya, mengabaikan Afnan. Hatinya terasa pilu, masih tak menyangka bisa merasakan dikhianati.
"Sa-"
"Nis, kamu nggak apa-apa?" Dinda masuk ke IGD, tersirat kecemasan dari gurat wajahnya. "Sumpah, aku kaget banget dengar kamu masuk rumah sakit. Tapi kamu beneran nggak apa-apa, kan?"
Annisa masih setia memejamkan matanya tidak menggubris kedatangan Dinda. Dinda yang nerasa diabaikan melirik Afnan yang tertunduk lesu, Dinda menyenggol lengan atas Afnan. Membuat Afnan mendongak menatap Dinda.
"Annisa nggak apa-apa, kan?"
"Aku pengen sendiri dulu, bisa kalian tinggalin aku?" nada bicara Annisa terdengar begitu dingin.
Dinda terpekur. "Tapi, Nis-"
"Aku ada di luar kalau kamu sudah sedikit tenang," putus Afnan segera berdiri. Afnan tahu emosi Annisa belum lepas sepenuhnya, kalau sampai dia masih kukuh berada di samping Annisa, sudah pasti akan mengganggu pasien lain yang satu ruangan dengan Annisa.
Dinda yang masih bingung memilih mengikuti Afnan keluar, membombardir Afnan dengan pertanyaan. "Afnan, apa yang terjadi? Bagaimana bisa Annisa masuk IGD?"
Afnan duduk di kursi tunggu. "Annisa hamil.""Alhamdulillah ... bukannya itu yang ditunggu-tunggu ya? Kok kelihatannya sedih banget?"
Afnan bergeming tak menjawab, sampai suara Utari membuat Dinda menoleh seketika. Pupil mata Dinda mengecil melihat perut Utari yang membesar. "Kamu gendutan," pernyataan Dinda membuat Afnan dan Utari gelagapan.
"I-iya," sahut Utari gugup.
"Kamu ngapain ke sini?" Afnan bertanya dengan nada dingin, tidak ketinggalan raut wajah datarnya.
Utari menelan ludahnya kesusahan."Mbak Dinda kasih tahu kalau Mbak Nisa masuk rumah sakit, Mas."
"Mas?" Dinda menyela. Ada yang tidak beres. "Aku ketinggalan apa di sini, Utari?" Dinda menatap Utari menuntut penjelasan.
Hening
Utari berkali-kali melirik Afnan yang hanya bergeming menutup wajahnya, terlihat gusar. Utari tahu, dia hanya pihak ketiga dari keluarga yang awalnya sakinnah.
"Nanti aku jelasin sama Mbak," tukas Utari canggung masih berdiri.
Dinda berdiri. "Apa yang terjadi, Tari? Gimana ceritanya kamu bisa kenal dengan Afnan? Dan ...,"
Dinda mendelik ke arah Afnan. "Aku minta penjelasan kamu, Afnan," tegas Dinda saat melihat mata Utari berkaca-kaca.
"Saya menikahi Utari, karena Utari tengah mengandung anak saya." sekian lama diam, Afnan bersuara.
Dinda menggeleng tak percaya, membekap bibirnya. "Kalian ...," napas Dinda tercekat. "Ini yang membuat Annisa masuk rumah sakit?"Utari tercenung, menatap Afnan. "Mbak Annisa tahu, Mas?"
Seketika sebuah tamparan menggema berasal dari telapak tangan Dinda yang berhasil membuat bekas merah pada pipi putih Utari. "Berengsek kamu! Buat malu Mbak kamu, Tari!" maki Dinda tak tertahan, menarik perhatian yang ada di sana.
Afnan berdiri, berniat melerai.
"Kamu!" tuding Dinda tepat pada wajah Afnan. "Nggak ada laki-laki yang lebih berengsek dari kamu yang munafik!" wajah Dinda merah padam.
"Untung kandungan Annisa nggak kenapa-napa, kalau sampai terjadi sesuatu. Aku nggak akan berani menemui Annisa karena malu," Dinda terisak.
"Mbak-"
Dinda mengibaskan tangannya. "Mbak tahu kalau populasi laki-laki di dunia ini berkurang, Tar. Tapi nggak harus kamu merebut suami orang!"
"Ini bukan sepenuhnya salah Tari, ini salah saya," pungkas Afnan mencoba menjelaskan.
"Salah kamu? Tentu jelas kamu yang paling bersalah. Tapi Tari juga ikut andil menuntut pertanggung jawaban pada lelaki yang jelas-jelas adalah suami orang."
"Aku sempat mengusulkan aborsi, Mbak. Tapi Mas Afnan melarang," Utari menangis.
Annisa yang sedaritadi berdiri di belakang mereka tersenyum getir. Biarlah dirinya pergi, karena semua hanya akan percuma. Dengan langkah terhuyung Annisa mendekat.
"Ini tempat umum, bukan tempat buat membicarakan aib."
Ketiganya menoleh, wajah mereka sudah merah padam. "Annisa," Dinda mendekat. Merangkul tubuh Annisa yang masih lemah.
"Kita pulang," putus Annisa melangkah dibantu oleh Dinda. Melewati Utari dan Afnan begitu saja. Annisa menahan gemuruh perih dalam dadanya, berkali-kali menarik napas.
"Aku beneran minta maaf, Nis," Dinda membuka suara.
Annisa menoleh, tersenyum lemah. "Bukan salah kamu."
Dinda benar-benar merasa bersalah, dirinya dan Annisa sudah bersahabat sejak lama. Karena ulah sepupunya, Dinda harus menanggung malu.
"Aku bisa minta tolong? Antar aku pulang ke rumahku," pinta Annisa pada Dinda.
Annisa ingin menenangkan diri di rumahnya, bukan rumahnya dengan Afnan.
"Tapi-"
"Kalau kamu keberatan, biar aku naik taksi."
"Iya. Aku anterin."
Di dalam mobil, Annisa hanya bertopang kepala menatap kosong lurus ke depan. Sebuah ketukan di jendela mobil, membuat Dinda menatap Annisa yang bergeming.
Dinda menurunkan kaca jendela, Afnan menatap Annisa yang mengabaikannya. "Kamu nggak mau pulang sama aku?"Dinda menoleh pada Annisa yang mengabaikannya. "Annisa pulang sama aku. Kamu nggak usah khawatir."
Afnan menghela napas, memutari mobil Dinda. "Sa-"
Annisa menoleh pada Dinda. "Bisa berangkat sekarang?"
Dinda menelan ludahnya kesusahan. "Iya." mesin dinyalakan. Dinda menganggukkan kepala memberi isyarat pada Afnan. Afnan mundur beberapa langkah menjauh dari mobil Dinda.
Tangan Annisa turun mengusap perutnya, seketika air matanya berlinang. Sakit seperti apa ini? Rasanya benar-benar sakit dan sulit ia mengendalikan emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Poligami (Tamat)
RomanceKatanya mencintai, tetapi menyakiti. Katanya menyayangi, tetapi mendustai. Poligami Haruskah sebuah hati direlakan menerima pengkhianatan? Haruskah tetap percaya saat dirinya menduakan? Bukan mengharamkan berpoligami, tetapi cara yang dilakukan s...