Sebelas

5.5K 548 51
                                    

Mon maap, emak belum bisa balas komen satu2 seperti biasa. Emak diserang demam lagi, batuk, pilek. Belum sembuh total. Mungkin efek bulan kemarin terlalu kecapekan, jadi gini. Maaf lagi curcol.

Okay, happy reading lope~lope

***

Afnan menatap bangunan rumahnya, sepulang dari kantor Afnan langsung menuju rumah yang di tempati Tari. Tadi pagi Tari yang menghubunginya, mengatakan kalau perutnya terasa nyeri. Afnan lupa belum membawa Tari untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Afnan berencana akan membawa Tari sore ini ke dokter kandungan.

Afnan keluar dari mobil, melangkah berat memasuki rumahnya. Tari sudah berdiri menyambutnya dengan pakaian seksi yang membuat mata Afnan sakit melihatnya.
"Kenapa perut kamu bisa sakit?" tanya Afnan datar.

Tari memertahankan senyum manisnya. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pagi mendadak sakit banget."

Afnan menyelonong masuk saat Tari hendak memegang tangannya. "Lain kali, jangan telepon saya sembarangan." Afnan duduk di single sofa. "Kamu cepat ganti pakaian yang menutupi aurat kamu. Kita ke dokter kandungan."

Tari terdiam, membuat netra hitam pekat Afnan menatapnya tajam. "Kamu dengar saya?"

Tari gelagapan, mengangguk sebagai jawaban. "Baik." segera Tari masuk ke kamar.

Afnan menghela napas, bersandar lelah pada sandaran sofa. Matanya menatap foto pernikahannya dengan Annisa. Tidak lama kemudian, Tari sudah siap dengan dress panjang menggunakan cardigan, sedang rambut cokelatnya ia gerai menutupi punggungnya.

Afnan menatap penuh menilai, sekali lagi menghela napas panjang. "Sudah siap?"

Tari mengangguk, Afnan berdiri menjauhkan diri saat Tari hendak menggandeng tangannya. Afnan lebih dulu masuk ke mobil, disusul Tari di kursi sebelahnya. "Mas?"

Afnan mengabaikan Tari, fokus dengan kemudinya. "Mas nggak bisa buat nggak terlalu kaku dan dingin sama aku?"

Afnan sama sekali tidak menggubris ucapan Tari. "Mas?"

"Cinta saya sudah habis hanya untuk istri saya," Afnan memutar setirnya ke kanan. "Dan hati saya sudah dipenuhi oleh istri saya."

Jawaban Afnan sungguh menyakiti perasaan Tari. "Aku juga istri, Mas. Bukankah poligami harus adil pada setiap istrinya?"

Afnan menginjak rem, menatap Tari marah. "Berpoligami seperti ini bukan keinginan saya. Semua saya lakukan semata-mata hanya untuk melindungi darah daging saya dari aib. Bukan berarti saya mau menikahi kamu. Bukankah sudah sering saya ingatkan, jangan berlebihan."

Tari tersenyum kecut. "Lalu, kalau memang Mas sangat mencintai Mbak Annisa, mengapa Mas menduri saya?"

Afnan diam, rahangnya mengetat. Netra hitamnya berkilat penuh amarah. "Saya dijebak dan saya masuk dalam jebakan itu."

"Mas bisa pulang."

"Keadaan itu benar-benar gelap, semua terasa menyakitkan. Dan saya malah mengambil jalan pintas. Saya beneran khilaf."

Tari rasanya ingin menangis, ternyata tidak mudah menarik perhatian Pria yang kini sudah menjadi suaminya. "Suka tidak suka, aku tetap istri Mas. Apapun nggak bisa Mas jadikan alasan untuk bersikap nggak adil sama aku." katakan Tari menuntut, tetapi Tari juga menginginkan perhatian Afnan. Pria yang selama ini ia idamkan.

"Saya tekankan sekali lagi, saya menikahi kamu bukan atas dasar suka atau cinta. Saya menikahi kamu hanya untuk menutupi aib darah daging saya."

Air mata Tari lolos begitu saja. "Bagaimana ini? Aku udah jatuh hati sama Mas, dan aku banyak menggantungkan impian pada Mas." mau dikatakan murahan pun tidak masalah, dirinya sudah murahan dari dulu.

Tatapan mata Afnan berubah menggelap. "Itu semua urusan kamu, saya nggak meminta kamu menggantungkan harapan sama saya. Dan saya nggak memaksa kamu buat jatuh hati sama saya. Jangan salahkan saya kalau kamu terluka, karena itu akibat ulah kamu sendiri."

Tari bungkam, air matanya semakin deras. Untuk pertama kalinya Tari menerima penolakan. Penolakan yang teramat menyakiti hatinya.

***

Saat mendengar penuturan dokter, tidak ada rasa bahagia sedikit pun dalam hati Afnan. Rasa bersalah lebih dominan dalam diri Afnan, bila tidak ingat sedang di luar, rasanya Afnan ingin menangisi kekhilafannya.
"Mas," Afnan menoleh saat Tari menyenggol lengan Afnan. "Mas nggak perhatikan apa kata dokter?"

Afnan memasang raut wajah datar, melengos menatap pada dokter pria yang duduk di hadapannya. "Saya mengerti. Sudah selesai semuanya?"

Tari terkesiap, menatap Afnan nanar. Mengapa tidak ada reaksi bahagia sama sekali dari wajah dingin itu? "Mas nggak mau ta-"

Afnan berdiri. "Terima kasih, dok." Afnan mendelik pada Tari, kemudian berlalu dari sana tanpa meminta persetujuan atau mengajak Tari. Melihat Tari dan kandungan tari sama dengan sedang melihat dosanya.

Tari berdiri, berpamitan pada dokter Eko, kemudian menyusul Afnan keluar. "Mas!" Tari menahan lengan Afnan, terdiam saat sorot mata Afnan sangat tajam terhadapnya, beralih mendelik pada lengannya yang ditahan oleh Tari.

"Maaf, tapi, Mas-"

"Saya antarkan kamu pulang, setelah itu jaga kesehatan baik-baik. Saya nggak bisa menemani kamu 24 jam." Afnan kembali melangkah, lebih cepat.

Air mata Tari kembali berderai, dengan segera Tari menyusul Afnan. Ya Tuhan ... mengapa rasanya sesak sekali? Apakah kisahnya akan berakhir bahagia seperti kisah romantis poligami yang akhirnya sang suami jatuh cinta pada istri keduanya? Tari optimis bisa mendapatkan hati Afnan.

***

"Lembur lagi, Mas?" Afnan terperenjat medapati Annisa berdiri di dekat pintu bersedekap menatapnya penuh selidik.

"I-iya."

Senyum miris tersumir. "Aneh, lemburnya kok kayak baru-baru ini. Selama kita menikah, kamu nggak pernah ambil lembur, karena kamu bilang kalau waktu pulang itu untuk istri." Annisa mendekat pada Afnan. Semerbak harum aroma wanita tercium. "Minyak wangi kamu habis, Mas?" pertanyaan Annisa membuat Afnan seketika menatap Annisa terkejut.

"Ma-masih ada kok," jawab Afnan terbata.

Mata Annisa memicing, sedetik kemudian mengembusan napas pelan. "Mungkin kamu bisa menyembunyikan apapun sama aku, tapi kamu nggak bisa menyembunyikan semuanya dari Allah." Annisa menatap Afnan kecewa. "Akhir-akhir ini kamu banyak berubah, Mas. Aku pikir kamu memang sibuk banget, tapi kayaknya aku salah." Annisa mundur beberapa langkah, berbalik meninggalkan Afnan yang tercenung sendirian.

Afnan mengembuskan napas kasar, merenggut rambutnya kesal. Mata tajam Afnan meredup, menatap nanar pada pintu kamar mereka. Apa yang harus dirinya katakan dan jelaskan pada Annisa?

Poligami (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang