Senja merambat turun, memeluk kota Seoul dalam pelukan jingga yang perlahan meredup. Langit kelabu menggantung rendah, seperti tirai tipis yang memisahkan dunia nyata dari sebuah mimpi buruk. Udara dingin menyelinap ke setiap celah, menggigilkan hati yang tengah rapuh. Yerin melangkah perlahan di lorong panjang rumah sakit, diapit dinding-dinding putih yang dingin dan sepi. Sahabatnya, Jimin, berjalan di sisinya, tanpa kata, hanya kehadirannya yang menjadi penopang dari keberanian yang hampir runtuh.
Setiap langkahnya terasa seperti menyusuri jalan panjang menuju jurang tanpa dasar. Kenangan yang tidak pernah bisa ia usir kini muncul kembali, menghantui, menyeretnya pada luka yang dulu pernah ia coba kubur dalam-dalam. Lorong itu seakan tidak berujung, namun akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu dengan angka 136 terpampang rapi.
Yerin berhenti. Ia memandang pintu itu seperti memandang sebuah gerbang menuju takdir yang tidak terelakkan. Di sana, di balik pintu itu, adalah seseorang yang pernah menjadi simbol kebenciannya-dan kini, menjadi sumber pergulatan batin yang tidak mampu ia jelaskan.
Tatapannya beralih pada Jimin. Senyum lembut pria itu menghangatkan, seperti lilin kecil yang melawan kegelapan. Namun, bahkan kehangatan itu tidak cukup untuk meredakan badai di dalam hati Yerin.
"Yerin, aku akan menunggu di luar," ujar Jimin akhirnya, suaranya lembut namun mantap. Yerin mengangguk perlahan, tidak mempercayai dirinya untuk berbicara. Ia memandang sahabatnya untuk terakhir kali sebelum mengetuk pintu dengan tangan yang gemetar.
Tidak ada jawaban.
Ragu-ragu, Yerin mendorong pintu itu. Udara dingin menyeruak, seolah menyambutnya dengan dinginnya realitas yang akan ia hadapi. Di balik pintu, ruangan itu terang, namun terasa sunyi, hampir hampa. Di tengahnya, terbaringlah Jungkook, pria yang pernah menjadi pusat gravitasi dunianya, baik dalam kebencian maupun kerumitan perasaan yang tidak terucapkan.
Tubuhnya yang dulu kokoh dan penuh wibawa kini terlihat ringkih, seperti daun kering yang hampir jatuh dari ranting. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan tatapannya lemah, namun matanya masih menyimpan nyala redup dari jiwa yang tidak sepenuhnya menyerah.
Di samping ranjang, Yoongi duduk dengan postur tegang, wajahnya menampakkan kelelahan yang seakan telah menjadi sahabat lama. Saat mendengar langkah Yerin, ia mendongak. Matanya melebar. "Jung Yerin?" tanyanya dengan nada heran, hampir tidak percaya bahwa perempuan itu kini berdiri di hadapannya.
Yerin hanya mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya yang kaku. Langkahnya lambat, mendekat ke arah ranjang. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat, hingga akhirnya ia berdiri di samping tubuh yang tampak rapuh itu.
Tatapan Jungkook bertemu dengannya. Mata pria itu tidak pernah kehilangan kedalamannya-seperti samudra luas yang tenang di permukaan, namun menyembunyikan pusaran kuat di dasarnya. Yerin menelan ludah, berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Yerin, suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Jungkook tidak segera menjawab. Ia hanya memandang Yerin, lama sekali, seolah ingin mencari sesuatu yang tersembunyi di balik wajah tenang itu. Di sisi lain, Yoongi berdiri dari kursinya. Ia menghela nafas panjang, lalu berkata, "aku akan memberi kalian waktu."
Ia meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan lembut. Dalam keheningan yang tersisa, hanya ada Yerin dan Jungkook, terpisah oleh jarak yang terasa jauh meski hanya beberapa langkah.
Yerin merasakan hatinya berdegup kencang, nyaris tidak terkendali. Ia tahu kata-kata harus segera keluar, sebelum keberanian yang rapuh itu hancur sepenuhnya. "Aku datang..." Suaranya bergetar. Ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku datang untuk meminta maaf."
Jungkook mengerutkan dahi, namun tetap diam.
"Aku tahu ini sulit dipercaya," lanjut Yerin. "Tapi aku memohon... Cabutlah gugatanmu terhadap Taehyung." Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. "Dia bukan monster yang kamu pikirkan. Dia... Dia sakit. Taehyung tidak pernah bermaksud menyakitimu. Itu adalah bagian dari dirinya yang bahkan dia sendiri tidak sadari."
Mendengar nama itu, sesuatu di mata Jungkook berubah. Tatapannya tidak lagi hanya sekadar lemah; kini ia dipenuhi oleh sesuatu yang gelap-emosi yang sulit dijelaskan. Namun, ia tetap diam.
"Dia butuh bantuan, Jungkook," kata Yerin, memaksakan dirinya untuk tetap berdiri tegak. "Dia tidak membutuhkan hukuman. Kumohon, lepaskan dia. Jangan biarkan dia hancur karena sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan."
Setiap kata keluar seperti duri yang merobek tenggorokannya. Jungkook menatapnya dengan intensitas yang menusuk, namun tidak memberikan jawaban apapun. Wajahnya datar, hampir tidak berperasaan.
"Maafkan aku," bisik Yerin akhirnya, dengan suara yang hampir pecah. "Maafkan dia. Jika ada yang perlu disalahkan, salahkan aku. Aku yang membawanya ke dalam hidupmu. Tapi kumohon... Bebaskan dia."
Jungkook akhirnya berbicara, namun suaranya terdengar dingin, hampir tidak berjiwa. "Apa kamu tahu apa yang kamu minta dariku?"
Yerin terdiam, menatapnya dengan mata yang penuh air. "Aku tahu ini sulit," katanya pelan. "Tapi aku bersedia melakukan apapun."
"Apapun?" Jungkook mengulang, suaranya kini mengandung nada yang lebih dalam, penuh makna yang tersembunyi.
"Ya," jawab Yerin, tanpa ragu, meskipun kata itu terasa seperti pisau yang menusuk dirinya sendiri.
Jungkook terdiam sejenak, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Hening yang melingkupi ruangan terasa berat, hampir menyesakkan. Kemudian, dengan suara yang begitu tenang, ia berkata, "Aku bisa mencabut gugatan itu. Tapi ada satu syarat."
Yerin mengangkat wajahnya, penuh harapan yang nyaris padam. "Apa syaratnya?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Jungkook kembali menatapnya, dan tatapan itu membuat nafas Yerin tercekat. Ada sesuatu yang dingin, hampir tidak manusiawi, dalam sorot matanya. "Kamu harus meninggalkan Taehyung. Setelah itu, kamu... Menjadi milikku."
Waktu seakan berhenti. Kata-kata itu menggema di kepala Yerin, seperti palu yang menghantam keheningan yang sebelumnya terasa tegang.
"Menjadi... Milikmu?" tanyanya, suaranya nyaris pecah oleh keterkejutan.
Jungkook mengangguk. "Itulah syaratnya. Tinggalkan dia. Lupakan dia. Dan kamu..." Ia berhenti sejenak, memberikan jeda yang terasa menyiksa. "Kamu akan menjadi milikku, satu-satunya."
Yerin tidak mampu berkata-kata. Dunia seakan berputar di luar kendalinya. Pilihan itu terlalu kejam. Di satu sisi, ada Taehyung, pria yang ia tahu hanya perlu sedikit cahaya untuk keluar dari kegelapan. Di sisi lain, ada kebebasannya sendiri, yang kini digenggam erat oleh Jungkook, seperti belenggu yang tidak mungkin ia lepaskan.
Air mata akhirnya jatuh. Ia berlutut di hadapan Jungkook, tubuhnya berguncang oleh isak tangis. "Kenapa... Kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya lirih.
Jungkook menatapnya tanpa emosi, seperti batu karang yang tidak tergoyahkan oleh gelombang lautan. "Karena aku bisa," jawabnya pelan. "Karena aku tidak akan pernah membiarkan diriku kalah. Bahkan oleh diriku sendiri."
Yerin menggenggam lututnya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. Namun ia tahu, pilihan itu akan menghancurkan hatinya, tidak peduli apa yang ia putuskan. Akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar, ia berkata:
"Baiklah."
Kata itu menggema di ruangan, membawa serta seluruh mimpi dan kebebasan yang pernah ia miliki.
Namun di dalam hatinya, Yerin tahu satu hal: cinta adalah pengorbanan. Dan meskipun ia kehilangan dirinya, mungkin, hanya mungkin, ia masih bisa menyelamatkan Taehyung dari kehancuran yang menanti.
Di luar ruangan, senja telah menghilang. Malam turun, menutupi kota Seoul dalam kegelapan yang pekat.
![](https://img.wattpad.com/cover/188944186-288-k891889.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Reflection
FanfictionTaehyung dikenal sebagai sosok yang memiliki kepribadian baik, selalu siap membantu dan memberikan senyuman kepada orang-orang di sekitarnya. Namun, di balik kepribadiannya yang ramah, tersembunyi sebuah rahasia kelam: ia memiliki kepribadian ganda...