Prolog

167 31 0
                                    

"Hai, namaku adalah sebuah minuman dari teh hijau, Jepang. Aku lahir di Kota Bogor, saat hujan. Kata ibu, aku lahir normal dengan jahitan yang cukup banyak. Ayahku pahlawan, dia seorang dokter.
Adikku berumur 15 tahun, dia mondok di salah satu ponpes di Jawa Tengah. Dia bilang tidak ingin menjadi sepertiku yang gila menulis, namanya Alcarameca Zeea.

"Aka mah gak mau kayak teteh. Galau terus karena keseringan nulis. Eh, nulis terus karena keseringan galau, hahaha!" katanya sebelum masuk pondok.

Jadi, namaku Matchacara Zeesa. Berbeda dengan adikku, dia lahir di Bandung. Semua keluargaku lahir dan tinggal di Kota Kembang itu, hanya aku yang dilahirkan di Kota Hujan ini. Perihal namaku dan adikku, itu karena ayah dan ibu penggila matcha caramel."

"brukk!"

Sebuah bola basket mengganggu aktivitas menulisku. Terpaksa kuhentikan kegiatan favoritku dan mencari siapa pelakunya.
Aku mengangkat wajah tinggi-tinggi seolah menantangnya lalu melihat ke seluruh penjuru lapangan. Semua pemain basket meneriakiku agar melemparkan lagi bolanya pada mereka. Namun, seorang Matcha yang keras kepala ingin tahu lebih dulu pelaku yang mengganggu kegiatannya itu.

"sorry, balikin bolanya, dong!" aku memutar badan mencari sumber suara. Laki-laki itu mengulurkan satu tangannya untuk mengambil bola dariku.

"lo yang ngelempar bola ini ke gue?" tanyaku dengan wajah yang tidak bersahabat. Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya. "gue?" tanyanya.

"ya lo"

"jadi duta shampo lain? Hahaha" laki-laki itu tertawa kemudian wajahnya berubah datar dalam sekejap. "gak lucu, ah. Cepet balikin bolanya. Lo bikin permainan kita berhenti"

"lo juga bikin aktivitas nulis gue berhenti. Kita seri" aku menatap mata lawan bicara di depanku dengan tatapan dingin, seperti biasa. Dia bukan siswa baru, aku mengenalnya. Hanya saja aku selalu berpura-pura untuk tak melihatnya berada dilingkungan sekolah. Dia pembolos handal.

"ngeyel banget sih lo jadi cewek! Cepet balikin atau gue peluk lo sekarang juga!" ancamnya. Aku yakin dia hanya menggertak.

Aku menyeringai," gue Matcha dan gue suka masalah. Sayangnya, masalah juga suka gue." ucapku dengan sedikit bangga.

Tanpa aba-aba dan dalam sekejap ia mampu membuatku mematung. Darahku mendidih dibuatnya, dengan mudah ia mengambil bola dari tanganku kemudian menjauh dengan senyum kemenangannya. Semua orang yang ada ada di lapangan menampilkan berbagai ekspresi. Namun, aku tak peduli. Yang aku tau, aku membencinya.

Laki-laki yang yang sangat aku benci berani-beraninya memelukku di tengah lapangan yang diperhatikan banyak orang. Aku segera pergi dari lapangan itu menuju kelasku yang berada di lantai dua. Disana aku berpapasan dengan kakak kelas yang selama ini aku hindari. Padahal sebelum ia pindah rumah saat SMP, dia adalah segalanya bagiku. Saat setelah kepindahannya, banyak perubahan yang terjadi antara kita, dia tak mengenaliku dan berubah menjadi sangat dingin tak bisa disentuh. Padahal daridulu aku mengaguminya.

Aku menunduk dalam-dalam menyembunyikan perasaanku, "hai" mendadak waktu disekitarku berhenti. Aku mendongakkan wajah menatap lekat laki-laki yang sudah sejak lama aku rindukan senyumnya. Kukeluarkan nafas berat lalu berjalan melewatinya.

"Matcha!" teriaknya dari arah belakang.

Tak bisa aku pungkiri bahwa akupun merindukkan suaranya saat memanggil namaku.

Dia setingkat diatasku, sudah satu tahun aku bersamanya di sekolah tapi tak pernah ada percakapan diantara kita. Terlebih saat ia menjadi Ketua OSIS tahun lalu, membuat kita semakin jauh terpisah. Kita seperti orang asing yang tidak pernah bertemu sebelumnya. Ia membeku, dingin tak tersentuh. Aku tak tahu apa yang menyebabkan dia pindah rumah, kenapa dia pergi, menghilang, kemudian muncul lagi dengan versinya yang baru. Seolah semua kehangatan dan kasih sayangnya dimasa lalu ikut membeku.

"Matcha!" teriaknya sekali lagi. Aku berhenti tanpa menoleh ke belakang. Dia mendekat kemudian bersandar di tembok di sampingnya.

"maaf untuk semuanya" Aku bergeming, "maaf untuk semuanya, Cha" ucapnya sekali lagi dengan sangat lirih. Aku masih disini mendengarkannya, mataku perih dan rasanya sakit.

"saya mau jelasin sesuatu" aku muak, Adiga sangat tak tahu diri.

"gak ada yang perlu lo jelasin, dari awal semuanya emang gak pernah jelas. Mudah banget lo pergi dan sekarang datang lagi buat nyapa gue. Waktu gue sekarat, lo kemana? Lo gak tau kan hancurnya gue pas kejadian waktu itu? Udah ya, gue muak sama orang kayak lu. Dari gue, selamat menjalankan kehidupan lo yang baru. Makasih karena hari ini lo mau nyapa gue."

Aku menghela nafas, memberi jeda untuk ucapanku. "gue maafin lo, tapi gua masih inget sakitnya gimana" aku pergi dari sana tanpa sedikitpun menoleh ke arah belakang dimana Adiga berdiri dengan ponsel dilengannya. Ia terlihat seperti sedang menelpon seseorang.

"hallo? Gue gagal." ucapnya bisik-bisik seperti tak ada satupun yang boleh mendengar ucapannya.

"jangan terburu-buru, nikmati prosesnya" ucap seseorang dari sebrang dengan seringaiannya yang khas.

Revisi pertama: Minggu, 09/08/20

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang