Bab 4

67 22 0
                                    

Setelah merasa puas dengan berbagai Imajinasi yang aku rangkai sendiri. Aku kembali dikagetkan dengan ketukan pintu yang terdengar lebih cepat dari biasanya orang mengetuk.

"siapa, sih. Gak sopan, tu orang ngajak perang, ya?!" aku berdiri untuk membuka knop tapi ia lebih dulu menerobos pintu masuk dan tidur diatas ranjangku. Aku dibuat melongo dengan kedatangan laki-laki menyebalkan ini.

"heh! Apaan lu?!" dengan tidak sopannya dia memakan bubur yang telah disiapkan ayah.

Aku melotot tapi Arthala hanya tersenyum, menyebalkan. "TURUN CEPETAN!" teriakku sambil terus memukulnya dengan bantal. Dia memahan kedua tanganku dengan satu tangan kirinya, sedang tangan kanan menyentuh keningku. "ih panas, tidur tidur" ia menarikku untuk tidur, tangannya dengan lincah memeras kain kompresan dan menempelkannya diatas keningku, "diem!" perintahnya saat aku mencoba bangun.

"lu ngapain kesini? Kok tau alamat rumah gue?" ucapku dengan alis bertaut. Dia menggelengkan kepala ke kanan dan kiri lalu menempelkan telunjuknya ke bibirku. "lagi sakit jangan banyak ngomong, nanti mati. Oke?" telunjuk miliknya ia gerakkan seperti sedang menasehati. Aku bungkam, malas meladeni orang ini.

"gue mau tidur, lo lagian ngapain kesini, bikin mood gue ancur"

"bapak lu ngebolehin, kok. Lagian lu kenapa sakit, gue kan jadi bolos sekolah."

Aku membulatkan mata tak percaya, "lo bolos? Gara-gara gue?" ia menautkan alisnya, "gue bolos? Karena lo? Ya nggak lah! Hahaha" dia terbahak-bahak dengan ucapannya sendiri.

"oh iya sih, ngapain gue peduli" dia tidak memperdulikan ucapanku dan berjalan kearah meja belajar. "bunga dari siapa? Jelek!" ucapnya dengan nada menghina. Aku berlari menahan lengannya yang mencoba membuang bunga itu ke jendela.

"lu gila?! Itu dari pacar gue! ARTHALA!!!" Aku mengusap wajah dengan kasar, bunga itu sudah terlanjur jatuh ke bawah dan bentukannya rusak. Aku menangis dan ingin berlari mengambil bunga itu ke bawah, tapi lengannya menahan langkahku.

"ngapain pergi? Pake acara mewek buat hal gak penting kayak gitu. Cuma bunga, lu juga mampu beli." aku melepaskan tangannya dengan kasar, "sialan, lu gak ngerti rasanya. Itu bunga dari—"

"dari siapa? Pacar lo? Gak mungkin. Haha" ucapnya dengan senyum meremehkan. Aku tak memperdulikan Arthala dan suhu badanku yang masih tinggi, aku segera berlari keluar kamar untuk mengambil bunga itu. Lagi-lagi Arthala menahan lenganku, aku kehabisan sabar menghadapinya. "lepasin!" ucapku dingin, dia kemudian berlari untuk mengambil sesuatu.

"buat lo" ia menyerahkan sebuket bunga lili yang ukurannya lebih besar dari yang Adiga berikan padaku. Aku kembali melongo saat ia lagi-lagi masuk membawa banyak sekali barang. Untuk saat ini aku tak tahu harus menampilkan ekspresi seperti apa, ia dengan mudah membuatku kesal tapi tahu cara mengobatinya.

Arthala, laki-laki itu kini tengah bersila dibawah lantai sembari memasukkan satu persatu bunga lili ke dalam pas bunga yang terlihat seperti aquarium untuk ikan. Lengannya sangat terampil dan pandangannya fokus pada bunga itu.

"lo dapet dari mana bunga itu? Itu kan susah dicari" tanyaku, ia mendongak, menatap tepat pada mataku.

"bunga kesukaan lo, ya? Sama-sama sayang" ucapnya dengan sangat percaya diri, kulemparkan bantal kecil tepat kearah mukanya. Ia memekik kaget dan membalas melemparkan bantal itu padaku.

Saat aku ingin melemparnya lagi, ia berdiri dan memberikan vas yang sudah ia rangka tadi. "dijaga, kalo layu gue bunuh. Gue udah sediain semprotannya, lo urus tuh si lili tiap hari. Gue mau balik. Jangan lupa dimakan, gue udah cape nanyain makanan apa aja yang lu suka ke bokap lo" aku melirik ke arah ranjang, sejak kapan ia menyimpan banyak makanan disana?

"ni orang maunya apasih, ngeselin tapi kalo keterusan gini ya gue juga baper kali" ucapku dalam hati sambil terus melirik kearahnya.

"gausah baper, gue gak yakin bisa tanggung jawab. Gue balik dulu, cantik. Cepet sembuh!" dia keluar dari kamarku sembari menutup pintu dengan sangat keras. Kali ini jantungku benar-benar ingin keluar, aku masih diam ditempat hingga lupa untuk menyimpan vas bunga ini dimana. Kamarku sudah tak karuan akibat ulah Arthala.

Kasur kotor yang diatasnya sudah banyak bekas makanan dengan sprei yang keluar, lantai yang dipenuhi plastik dan kertas, nakas yang kotor akibat makan bubur sembarangan dan hatiku yang mulai tak karuan. Aku menggeleng cepat, menegaskan pada diriku agar tidak jatuh pada laki-laki menyebalkan itu. Dia tetap Arthala, laki-laki yang perlu kuhindari. Karena sampai kapanpun, aku dan hatiku akan tetap memilih Adiga sebagai tuan rumah.

Revisi pertama: Senin, 10/08/20

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang