Bab 2

73 23 0
                                    

Aku berhenti disalah satu pohon yang cukup rindang, jarak dari caffe kerumahku sekitar 30 menit. Aku tak peduli jika telat dan ibu akan marah, aku sudah siap merasakan pipiku yang panas jika ibu akan menamparku seperti biasa. Arthala datang dengan motornya mendekatiku, badannya juga basah kuyup karena dia menerobos hujan. Kulihat ada bekas darah dari hidungnya yang mancung.

"cantik" godanya, aku bergeming dan terus menundukkan kepala.

"yee, lo mah!" telunjuknya yang jail menusuk pipi tirusku.

"apa, sih?!" aku memelototinya.

"lo harus banyak makan, pipi lo ceking tuh kasian. Sini- sini ikut gue!" ajaknya sembari menarik lenganku. Dia membawaku ke gerobak pedagang kaki lima yang tidak jauh dari tempat kita berdiri.

"nah ini nasi kuning milik keluarganya Mang Ujang." aku ber-oh ria.

Ibu pemilik gerobak mempersilahkan kita duduk, "itu ibunya Mang Ujang. Oh, ya! Lo suka nasi kuning, kan?" aku hanya mengangguk kemudian segera mengeluarkan kotak P3K dari dalam tas.

"Nih!" aku menyerahkan dua lembar tissue kearahnya yang tengah menopang dagu. Dia tersenyum, senyuman yang terlihat menyakitkan dimataku.

"woy! Ambil buruan!" teriakku, untungnya warung sedang sepi jadi aku tak perlu menahan malu.

"buat apaan, sih?" tanyanya dengan alis yang bertaut.

"keran idunglu bocor, tuh! Gue mau makan, jijik, jadi gak nafsu ntar" ucapku dengan dingin.

"perasaan kagak ingusan, deh!"

"mimisan, bego!" dia mengambil tissue itu kemudian membersihkan hidungnya. Arthala membuka tas, ia mengeluarkan kresek berwarna biru lalu memberikannya padaku.

"pake, tuh! Baju lo basah banget" perintahnya.

"ibu!! Pacarku ikut ganti baju disini, yaa!" teriaknya tanpa malu.

Aku melotot, "lo gila, ya?! Gue bukan pacar lu dan gue gamau ganti disini."

"ya enggaklah, emang lk mau ganti baju depan gue? Sana lo ngikut ibunya"

Aku menurut, sepuluh menit aku selesai menggunakan hoodienya yang kebesaran. "udah" ia melihat penampilanku dari atas hingga bawah padahal aku tetap sama.

"selalu cantik" aku memalingkan wajah menahan malu. Hoodie miliknya kebesaran tapi aku merasa sangat nyaman.

"lo gak ganti baju?" tanyaku, dia kemudian mengeluarkan satu kresek lagi.

"makasih" ucapku dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal tetap terdengar dingin.

"for what?" tanyanya. "ya lo udah baik ke gue" dia mengangguk kemudian pergi untuk berganti pakaian.

Aku menghabiskan makananku selama ia tidak ada. Terdengarlah suara tirai yang disibakkan, Arthala selesai dengan pakaiannya yang membuatku sangat kesal padanya.

"sumpah! Demi apapun gue pengen dia mati!" batinku menjerit melihat penampilannya yang sama denganku. Kini kita seperti sepasang kekasih yang tengah memakai hoodie couple berwarna biru dongker.

Aku memalingkan wajah kearah jalanan sembari melipat kedua tangan di depan dada. Kutampilkan wajah kesalku pada Arthala yang tengah menghabiskan makanannya.

"kenapa?" tanyanya tanpa dosa

"pikir aja sendiri!" masih dengan posisi yang sama, aku tak mau melihat kearahnya.

"gimana negara ini mau maju kalo kita sebagai rakyat malah berpikir sendiri-sendiri? Lo kenapa, sih kok tiba-tiba kek gitu? Kepengen gue peluk lagi?" refleks aku melemparkan tempat tissue kepadanya.

"aww!" pekiknya

"rasain! Bye! gue mau balik. Makasih karna modus lu buat couplean sama gue berhasil." aku segera pergi darisana dengan langkah kesal.

Teriakan ibu Mang Ujang menahan langkah besarku. "Neng, tunggu atuh, itu dibayar dulu nasi kuningnya" aku melongo dan berkedip beberapa kali. Laki-laki sialan itu benar-benar mengibarkan bendera perang.

"berapa, bu?"

"semuanya dua puluh ribu, neng" dengan cepat aku memberikan selembar uang berwarna hijau dan pergi darisana tanpa menoleh kearah belakang.  Aku memberhentikan angkutan umum yang melewatiku. Hari sudah gelap dan aku belum juga sampai rumah. Ini semua gara-gara Arthala!

Setelah menunggu lama diperjalanan akhirnya angkutan umum ini membawaku ke depan rumah. Masih dengan perasaan dongkol aku memasuki rumah. "dasar anak bandel. Perempuan tuh gaada yang pulangnya maghrib terus kayak kamu. Gak sekalian aja gak usah pulang?!"

Aku mendekat ke arah ibu dan ayah untuk mencium kedua tangan mereka walaupun ucapan ibu barusan sangat pedas.

"plak"

Aku merasakan panas dipipi kiri dan hatiku. Ibu menamparku dengan sangat keras, tidak terasa air mataku mengalir dan aku mencoba menahannya.

"susah diatur! Ibu bilang jangan pulang malem terus! Emang kamu tuh beda sama adikmu, nyesel ibu ngurus kamu sampe gede kayak gini. Pergi sana! Pergiii!!!" aku menahan tangisku saat ibu kembali histeris dan mulai melemparkan barang-barang di dekatnya.

Tanpa berkata apa-apa aku segera pergi ke kamarku yang ada di lantai dua. Sekilas aku melihat ayah, dia berjalan mendekati ibu yang mulai berbuat tak karuan lagi.

Aku segera menghempaskan diri keatas kasur. Rasanya lelah sekali. Aku berjalan kearah kamar mandi, kutatap wajahku dalam-dalam, terdapat dua buah mata saya dan bibir pucat. Aku terduduk lemas didinginnya lantai kamar mandi sembari membenamkan wajah diatas kedua lutut. "argh!" erangku pelan berharap hatiku pulih. Kurasakan nyeri dibagian kepala, kupaksakan berdiri dengan terus memijatnya. Tubuhku ambruk sebelum sampai ke atas kasur, pandanganku buram dan aku benar-benar kehilangan kesadaranku.

Revisi pertama: Minggu, 09/08/20

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang