"sekolah gak lo?" tanya Ezra sembari melempar sepotong roti ke wajahku.
"gak sopan," ucapku sinis sambil melanjutkan makan. Dia malah menyengir tanpa dosa. Kini aku dengan Ezra tengah sarapan sebelum berangkat sekolah, tapi mungkin hanya dia yang pergi, sementara aku memilih untuk istirahat dirumahnya yang besar ini.
"mau gak bantuin gue deket sama Arthala? " Ezra memandangku dengan wajah polosnya. Aku segera mengambil air putih, ucapannya barusan berhasil membuatku tersedak.
"gue kira lu boongan soal suka ke Arthala" ucapku sembari memasukkan potongan pisang kedalam mulut.
Ezra berdecak, "iyalah boongan! ya kali gue suka cowok kek dia. Lagian dia lebih cocok sama lo tau" lagi-lagi ucapannya membuatku tersedak.
"apa, sih! pergi lu ah sono!" usirku sembari mengibaskan tangan padanya.
"duh tuan rumah diusir. Haha iya gue berangkat. Lu ati-ati dirumah, setan disini suka sama orang jomblo, hahaha"
"ngaca!" teriakku lalu kembali melanjutkan makanan yang hampir habis. Setelahnya aku segera merapikan meja makan agar bisa kembali tidur.
Saat menaiki tangga tiba-tiba kepalaku terasa sangat nyeri. Bahkan jika aku tak mempunyai cukup tenaga untuk memegang penyangga tangga ini, aku pasti sudah jatuh tersungkur ke bawah. Sebuah lengan menahan pundakku dari belakang, kudapati bibi yang selama ini mengurus ezra dan rumahnya.
"neng baik-baik aja?" tanya bibi, aku hanya tersenyum dan mengangguk. Bibi memapahku untuk sampai dikamar yang berada dilantai dua. Setibanya di kamar aku langsung meringkuk dengan selimut ditubuhku. "mau bibi buatin sarapan atau teh anget, neng?" tanya bibi dengan sangat lembut. Aku menggeleng lantas membiarkan bibi pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Baru saja aku akan memejamkan mata, suara panggilan dari hpku yang berada dinakas berhasil membuatku yang mau tak mau harus mengambilnya.
Alcarameca, adikku yang menelepon dan tidak hanya sekali, tapi berulang kali. Aku yakin ada hal penting yang ingin dia sampaikan.
"apa" tanyaku
"Teh kemana aja, sih? Ibu dirawat tapi teteh malah gak ada dirumah. Ayah marah sama teteh gara-gara gak bisa dihubungi, cepet pulang" pantas saja ayah marah, toh aku lupa membuka blokirannya.
"kok ngegas, dek?"
"allahu rabbi, teteh, ih! Ini ibu dirawat, masuk RS teh! Masuk RS!" ucap Aka gemas dari seberang sana.
"sans, ntar gua kesana. Lagian ibu gak bakal mau ketemu gue. Kemaren aja gua ditampar hahaha" ucapku dengan nada getir mengingat perlakuan ibu yang selalu berbeda padaku.
"gila ya, teteh masih sempet mikir kayak gitu. Teteh tuh bisa gak sih sekali aja gak egois? Inget, dulu teteh kehilangan siapa gara-gara siapa?! Mau kehilangan lagi? Untung ya ayah mesantrenin Aka, biar gedenya ga kayak teteh"
"anak kecil bacotnya banyak banget, ih. Baru pesantren bentar aja ceramahnya udah hebat, hahaha" Aka menutup sambungan telpon secara sepihak, mungkin dia kesal. Aku tak peduli, bukan hanya pada Aka, tapi pada siapapun. Dulu, aku pernah peduli pada beberapa orang dengan begitu hebat. Tapi peduliku disia-siakan hingga akhirnya aku memilih untuk tidak peduli pada siapapun, termasuk diriku sendiri. Aku menyandarkan punggungku pada tepi ranjang. Ucapan adikku barusan sukses membuatku kembali mengingat kejadian saat aku kehilangan bunda, juga beberapa orang yang juga membuatku hampir gila akibat trauma.
Tidak tahu ada angin apa, mungkin juga karena kelelahan akibat makan terlalu banyak, aku mengantuk. Perlahan mataku mulai terlelap dengan jendela yang sengaja dibiarkan terbuka agar ruangan terasa sejuk.
Tidak lama, aku terbangun akibat hembusan angin yang menerpa kulitku. Rambut yang tak terkuncir berterbangan bebas diwajahku dan hal itu membuat geli. Aku bangkit untuk sekadar mengikatnya, kulihat amplop putih yang lecek diatas nakas.
"siapa yang naro?" batinku, karna jelas-jelas nakas ini kosong tadi.
Setelah mengikat rambut, aku berjalan ke arah ranjang sembari terus memikirkan siapa yang menaruh amplop ini. Aku mendudukan diri dengan bantal diatas pangkuanku, setelahnya aku membuka amplop itu dengan perlahan.
Hanya kertas putih. Namun saat aku membalikkannya, terdapat deretan angka yang tidak aku mengerti."70198 70198 34136013 14170136 38184108190171220"
Ternyata, ada kertas lain didalam amplop dengan tulisan "jadilah penerjemah untuk tulisanku itu. Dan kuharap kamu tidak terlambat menyadari arti tulisan yang aku berikan"
Aku dibuat bertanya-tanya dengan isi dari amplop ini. Apa dia sedang malas mengetik dengan huruf, atau tangannya bermasalah, aku tak tau. Tapi, apa pentingnya tulisan ini jika tak aku artikan. Aku berfikir tulisan ini berasal dari orang iseng yang hanya main-main saja.
Tak peduli dengan amplop itu, aku kembali melanjutkan tidurku hingga sore. Aku tak tau jika keputusanku untuk tidak memperdulikan amplop itu akan membawa satu perubahan dalam hidupku.
Maaf banget, aku udah lama gak publish sekalinya publish cuma sedikit dan berantakan. Tapi selalu ada revisi kok, tenang aja hehe.
Maaf kalo kurang dapet feelnya, lagi berusaha.Oh iya, Minal aidzin walfaidzin ya semua!

KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Kehilangan
Teen FictionMatcha, gadis itu menghindari laki-laki yang ia ketahui berasal dari masa lalunya. Bermaksud membantu menyembuhkan, Arthala justru menguak luka lama yang belum kering. Keduanya berkaitan dengan kejadian 8 tahun lalu yang menyebabkan gadis itu harus...