Bab 10

56 12 0
                                    

Kapan lagi update tiap malem hehehe. Happy reading❣️

"aksara sunda?" pikirku. Aku kembali mengingat satu persatu huruf yang pernah diajarkan bunda.

"Ma... La? Ah, iya! Mala" ucapku dengan semangat, aku membuka kotak itu dengan kode asal-asalan, berharap kotak itu mau terbuka dengan nama Mala sebagai mantranya.

"krekk" kotak itu benar-benar terbuka, menampilkan satu buku dengan tebal kurang lebih lima senti. Aku mengambilnya, bau buku tua dan kayu lapuk menyerang indra penciumanku pertama kali.

"Mala" menjadi kata pengantar pada buku tua ini. Aku membuka halaman berikutnya, kosong. Barulah dihalaman ketiga, seseorang menuliskan kata dengan huruf yang lumayan banyak. Aku membacanya dengan seksama, lambat laun air mataku turun, menjadikan aliran deras dipipiku. Di pertengahan buku aku dapat melihat fotoku dengan bunda dan seorang anak laki-laki yang tengah memegang tanganku. Dipinggir foto itu penulis menuliskan, "kakak janji bakal jaga terus caca, bunda... " aku tersenyum melihat orang-orang difoto ini sangat bahagia. Tapi senyumanku tak berlangsung lama saat aku melihat ke arah belakang, gadis kecil tengah menangis tepat dipojok ruangan sembari memegangi kepalanya yang berdarah. Aku ingin mendekat, memeluk dan menenangkannya.

Tapi lagi-lagi lengan seseorang menarik kerah baju gadis itu, mau tak mau membuat ia terangkat dengan leher yang memerah akibat cengkraman pada kerahnya terlalu kuat. Lengan itu menampar dengan kasar pipi gadis kecil dihadapannya, tanpa tega ia melakukannya berulang kali bahkan sesekali menjambak hingga rambutnya berjatuhan dilantai, menjadikan gadis cantik itu botak dengan potongan rambut yang tak rapi.

Gadis kecil yang malang, ia tak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya menangis dan meminta tolong dengan suara lirih akibat cengkraman kerah yang belum dilonggarkan juga. Tiba-tiba, laki-laki yang usianya sekitar 11 tahunan datang dengan raut wajah marah dan nafas memburu. Ia berteriak didepan seseorang yang telah memukuli gadis kecil tadi, "lepaskan adik saya, dasar orang jahat!" sesekali laki-laki itu mengusap air matanya dengan kasar.

Aku masih disini, dengan badan yang tak bisa digerakkan sama sekali aku melihat semua yang dilakukan ketiga orang dihadapanku. Laki-laki itu kembali berteriak dengan suara yang lebih keras," turunin adik saya! Saya benci sekali sama kamu. Saya bakal benci kamu seumur hidup! Ingat itu!" dalam sekejap tubuh gadis itu terhempas begitu saja, aku melongo dibuatnya, air mataku semakin deras ketika orang itu menginjak kepala gadis yang tadi ia lemparkan ke lantai.

"dia bukan adikmu, Ar! Lihat! Jika dia adikmu, dia tidak akan tega membunuh bundamu yang sedang sekarat!" teriaknya dengan nyalang sembari terus menginjak kepala si gadis kecil tadi. Laki-laki itu muak, ia menggigit betis orang dewasa itu dengan terus menerus, menyisakan bekas gigitan dengan darah segar yang mengucur. "kurang ajar! Demi membela anak kecil sialan ini kamu tega melukai bibi?" perempuan dewasa itu semakin gencar menginjak kepala yang berada dibawah kakinya, sesekali ia tertawa puas melihat gadis kecil itu bersusah payah melepaskan kaki yang menginjak kepalanya. "kumohon, hentikan. Kasihan ade, bunda meninggal bukan gara-gara ade, Ar mohon bi..." laki-laki itu bersimpuh dengan air mata yang terus mengalir, tapi sesegera mungkin ia menghapusnya dengan kasar.

"baiklah, Ar. Bibi sudah janji tidak akan membuatmu menangis. Maafkan bibi, sayang. Bibi hanya tidak suka kamu memanggil anak kecil sialan ini dengan sebutan adik" perempuan itu melepaskan kakinya lalu menyetarakan badan dengan laki-laki bernama Ar ini. "dasar orang jahat, Ar gak punya bibi yang jahat!" ketus Ar, perempuan itu tersenyum sembari mengelus pipi Ar dengan lembut, "terserah apa katamu sayang, bibi hanya ingin menjagamu dari gadis sial ini" perempuan itu berdiri, menendang tubuh gadis kecil tak berdaya yang meringkuk di dinginnya lantai dengan memar dan darah disekujur tubuhnya. "dadah, Ar! Bibi sudah menyiapkan roti bakar untukmu, jangan lupa dimakan. Dan bibi harap kamu menuruti kata bibi untuk menjauhi gadis sialan itu." perempuan dengan sebutan bibi itu pergi ditelan pintu yang ntah menyambungkan ia kemana, menyisakkan Ar dengan gadis kecil malang yang mencoba untuk tetap bernafas. Ar menangis, memeluk tubuh kurus milik adiknya yang penuh luka dengan sangat erat, seolah ia akan berpisah dengan adiknya.

Gadis itu membuka mata, memegangi kepalanya yang terasa nyeri akibat injakkan dan jambakkan yang dilakukan perempuan gila tadi. "kakak...sakit" ucapnya lirih disela tangis, Ar tak tega melihatnya, ia semakin mendekap tubuh kecil itu. "kakak disini, kakak disini. Semuanya bakal baik-baik aja, semuanya bakal baik-baik aja" ucap Ar dengan sangat yakin, ia terus mengulang mantra itu berharap adiknya akan percaya. Gadis itu tersenyum, "kakak, makasih" Ar tak kuat melihatnya seperti ini, tapi ia menahan untuk tidak terlihat lemah dihadapan adiknya.

Aku masih disini, setia melihat drama yang terjadi pada mereka. Aku masih tak mengerti kenapa mereka ada dihadapanku sekarang, kenapa semua kekejaman itu membuat salah satu anggota badanku teriris. Aku tak tahu pasti, tapi rasanya seperti aku pernah berada dalam keadaan seperti itu. Badanku luruh berbarengan dengan kedua anak kecil itu menghilang. Nyeri dan sesak masih mendominasi dadaku. Seseorang mengulurkan tangannya, aku mendongak melihat kearah pemilik lengan itu, kudapati bunda tengah tersenyum, lalu mengajakku untuk berdiri.

"kalau Matcha jadi mereka, Matcha pilih jadi siapa?" ucap bunda dihadapanku, pandangannya mengarah padaku tapi tatapannya kosong.

"aku gak mau jadi siapapun bunda. Perempuan itu jahat, bunda gak pernah ngajarin Acha buat jadi jahat, kan? Ar ga masuk kategori sih, bunda. Soalnya dia laki-laki, tapi Acha pengen punya kakak laki-laki juga kaya Ar yang sayang banget sama adiknya. Dan soal anak kecil perempuan itu, kalo dia hidup sampe dewasa, Acha yakin dipundaknya cuma ada beban doang. Trauma Acha aja belum ilang sepenuhnya bunda, apalagi buat anak sekecil itu. Kasian, semoga dia bahagia, ya bunda" bunda menggenggam erat lenganku, ia tersenyum "Acha pengen anak kecil itu bahagia?" tanyanya dengan sangat lembut.

Aku menatap mata kosong bunda, "bukan cuma anak kecil itu, tapi juga Ar, bunda" kataku mantap, setelah itu sosok bunda melebur perlahan disertai angin beraroma bunga, aku masih bisa melihat senyumannya yang indah dibalik gulungan angin yang membawanya pergi.

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang