Arthala membawaku menuju rumah. Ia berhenti tepat di depan pintu gerbang kediamanku. Aku diam, tak berniat untuk masuk. Cukup lama berada didalam mobil tanpa suara, akhirnya aku teringat akan sesuatu.
"bego!" teriakku sambil memukul lengannya yang kekar.
"ih, apa? Kenapa?" tanyanya panik
"gue kan udah janji mau nginep di rumah Ezra. Anterin gue sekarang! Dia pasti kesel. Ih, ayoooo!" dia melirik ke arahku, lalu memutar arah menuju rumah ezra. Bisa-bisanya aku lupa.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai dikediaman keluarga Ezra. Saat memasuki gerbang utama, terlihat gadis tinggi dengan kulit putih bak orang Eropa tengah memakai dress diatas lutut yang biasa ia gunakan untuk tidur, lengannya ia lipat di depan dada dan wajahnya sangat judes khas seperti emak-emak yang siap bertausyah ketika anaknya telat pulang.
"gue tungguin taunya malah pacaran, bagus lo ya" sindirnya dengan wajah menghadap arah lain.
Aku terkekeh, "ampun mak. Gue masuk ya? Gerah nih pengen mandi"
Ezra memutar bola malas, "rumah gue rumah lo juga, kan? Cepet masuk" pintanya.
"rumah gue juga, kan?" tanya Arthala tiba-tiba. Aku berdecak, "gak!" ucap kami kompak.
"ih jahat, gue gak punya rumah segede gini, woy!" sambung Arthala.
"bodo, emang gue pikirin!" ucap kami berbarengan, kemudian masuk rumah meninggalkan Arthala yang tengah melipat kedua tangan dengan wajah yang ditekuk.
"gak akan bilang makasih, nih?" sindir Arthala dari jarak yang lumayan jauh dariku.
"iyaaa, sama-sama!" teriak Ezra, ia segera menutup pintu dengan sangat keras.
Menaiki lantai ke dua, Ezra tak henti-hentinya memelototiku. Aku rasa kali ini ada kesalahan yang kuperbuat. Tapi aku terlalu cape untuk mendebatkannya, jadi kubiarkan saja dia begitu. Toh lama-lama dia bosan dan pasti bilang jujur padaku.
"gue mandi dulu, ya. Siapin piyama, dong! Ezra sayang" ucapku sambil terkekeh. Ia berjalan ke arah lemari dan aku ke arah kamar mandi. Ku lepas pakaianku satu-persatu hingga tak tersisa kain apapun yang menutupi tubuh, melodi yang khas dari radio kecil dan rendaman air hangat membuatku sangat tenang. Sejenak aku melupakan semuanya. Tentang Adiga, bunda, ibu, ayah, dan banyak orang yang akhir-akhir ini mengingatkanku pada kejadian waktu dulu.
Terdengar suara Ezra memanggil namaku, ntah mengapa tapi teriakannya terdengar sangat menakutkan di telinga. Aku menenggelamkan wajah dibawah rendaman air, berharap sesegera mungkin suara menakutkan itu menghilang. Mendadak aku tak bisa bernafas, atmosfer disekitarku sangat mencekam. Tak ada melodi pengiring ketenangan atau tetesan air dari shower. Kemana hilangnya semua ketenangan tadi? Perlahan aku membuka mata, ruangan sekitarku gelap. Aku meraba-raba sesuatu yang berada dalam jangkauanku. Langkahku sangat hati-hati takut bila sewaktu-waktu menginjak sesuatu yang tidak aku inginkan.
Cukup lama aku berjalan menyusuri ruangan yang gelap, aku baru sadar jika daritadi tak ada sehelai pun pakaian yang menutupi tubuhku. Di ujung sana aku bisa melihat cahaya yang sedikit temaram. Aku berlari menghampiri cahaya itu, tapi tiba-tiba seseorang menahan tubuhku dengan lengan kekarnya, aku tersungkur di dinginnya lantai ruangan yang gelap. Dia tertawa, suaranya menggema diseluruh penjuru ruangan. Keringat tak henti-hentinya menetes di pelipisku, aku berteriak tapi suaraku tak keluar.
Kurasakan sesuatu tengah menyekal pundakku, aku berbalik, alangkah terkejutnya aku mendapati sosok perempuan dengan wajah yang sangat pucat.
Wanita itu memapahku berdiri, memakaikanku pakaian dan memberiku selimut. Dia tersenyum, mempersilahkan aku duduk dikursi kayu yang sudah hampir lapuk. Dia memberiku sebuah kalung dengan nama Mala pada ukirannya.
Aku mengerutkan dahi tanda tak paham, "kenapa kamu kasih ini ke saya?" dia berjalan mengitari kursi yang sedang aku duduki, "rupanya kamu memang sudah melupakan aku, ya" aku makin mengerutkan dahi. Pandanganku teralih oleh alunan melodi nina bobo diatas nakas, aku menatap sekeliling, wanita itu tidak ada. Kemana perginya dia?
Aku kembali dikagetkan olehnya saat tiba-tiba dia berada disampingku sembari memegang cermin yang ukurannya lumayan besar. Dia menoleh padaku, lantas tersenyum dengan sangat manis. Senyuman yang tak asing lagi di mataku, tapi kapan terakhir kali aku melihat senyuman itu? Ia kembali menatap cermin, lantas mengatakan, "Sayang, semoga setelah ini kamu bisa berdamai dengan semuanya" refleks aku menutup mulutku rapat-rapat saat wajah pucat itu berubah menjadi sosok wanita cantik yang sudah sejak lama aku rindukan. "bunda" ucapku lirih, air mata kini telah menjadi sungai yang deras dipipiku. "Arthala, berdamai lah dengannya. Maafkan semuanya, maafkan dirimu sendiri" dia menghilang, sosok menyerupai bunda itu menghilang.
Aku terbangun, masih dalam posisi berendam dan tanpa busana, mataku kembali hujan, hatiku terkoyak habis-habiskan melihat bunda. Kenapa bisa-bisanya bunda menyuruhku untuk berdamai? Dan, Arthala? Kenapa harus dia yang dibahas bunda?
Tak mau dipusingkan dengan hal yang bersangkutan dengan Arthala, aku memilih untuk mengakhiri kegiatan menyenangkan ini dan segera tidur. Aku terkejut mendapati Ezra berada tepat didepan pintu kamar mandi dengan mata memerah seperti habis menangis. "lo kenapa? Putus?" tanyaku.
"gue mana punya pacar, begooo!" teriaknya didepan wajahku, aku mengernyitkan dahi melihat tingkahnya seperti ini, "terus kenapa? Pms?"
Dia memelukku tiba-tiba lalu kembali menangis. "tadi lo teriak-teriak minta bantuan, tapi pintunya gabisa dibuka. Gue takut ada apa-apa sama lo soalnya suara lo tiba-tiba ilang gitu aja. Gue takut, cha" ucapnya panjang lebar sembari terisak, aku tersenyum "oh, ya? Padahal gak gue kunci, loh. Tapi kayaknya bunda emang pengen nyampein sesuatu sama gue, makanya lu gak bisa buka pintunya "
Dia mengerutkan dahi, "maksudnya?" aku mengambil kursi lalu duduk diatasnya, ezra mengikuti dan duduk disampingku. "gini, ya" aku terdiam cukup lama, ezra yang bodoh masih mendengarkan dengan seksama. "jadi gitu, sedih banget gak sih?" tanyaku dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin, Ezra melotot dan siap melemparkan apa saja yang ada didekatnya. Aku terkesiap untuk kabur namun badanku lebih dulu dilempar dengan boneka beruang yang cukup besar.
Ezra yang kurang ajar malah menindih badanku, ia berkali-kali menjitak kepalaku, oh kasihannya kepalaku yang dipenuhi ilmu ini. "woy woy woy santai dong, mba. Pms ya? Ini kalo orang liat bisa salah paham, loh, Ra." Ezra berdiri lantas merapikan dressnya, "gak seru, lo, Cha! Pulang sana!" wajahnya terlihat sangat kesal, tapi aku menyukai ekspresi itu.
"gue pake baju dulu, baru cerita. Kalo belum pake baju gue takutnya lo khilaf, kan gak lucu kalo-" lagi-lagi Ezra melempar wajahku dengan bantal, "AHHH, temen gue kok bego banget!" teriaknya frustrasi kemudian meninggalkanku sendirian untuk berganti baju.
Aku terkekeh melihat kepala perempuan menyembul dari balik pintu kamar. "apa lo?" tanyaku judes, dia masuk dan duduk di ranjang. "lo mau jadi cerita ngga? Kalo ngga, gue aja yang cerita," aku bergeming, "males, ngga deh kayanya" dia tersenyum, "wah berarti gue ya yang cerita?" aku menaikkan sebelah alis dan menatapnya tajam, "tadi kan gue bilang males, ngapain lo cerita?"
Ezra memutar bola mata malas, "yee setan, dengerin dong, cha! Kayaknya gue suka deh"
Aku mendelik, "hah? Lo suka gue maksudnya? Idih najis, gue normal kali, ra"
"ya kagak,"
"terus suka siapaaaa ?"tanyaku gemas
Ezra terlihat berfikir sejenak, lalu mata indahnya berbinar," Arthala" sontak aku membuka mulut tak percaya. "serius?" tanyaku sekali lagi mencoba memastikan.
Ezra menatapku, matanya terlihat meyakinkan, "kali ini gue serius, gue suka Arthala"
"mampus gue!" batinku.
Hallo! Maaf banget kalo banyak typo atau kurang dapet feelnya. Sumpah! ini kek tahu bulat, dadakan hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Kehilangan
Teen FictionMatcha, gadis itu menghindari laki-laki yang ia ketahui berasal dari masa lalunya. Bermaksud membantu menyembuhkan, Arthala justru menguak luka lama yang belum kering. Keduanya berkaitan dengan kejadian 8 tahun lalu yang menyebabkan gadis itu harus...