Bab 1

105 23 2
                                    

"kemarin benar-benar menguras habis emosiku. Dipeluk orang yang tidak aku suka dan bertemu laki-laki yang selama ini aku kagumi dalam diam. Disapanya malah membuat luka. Namun, seluka apapun, aku akan tetap mencintainya, dengan diam dan tanpa banyak kata"

Aku menutup buku harian berwarna putih lalu menyeruput minuman favoritku—matcha dengan satu sendok gula yang hampir dingin. Saat ini aku berada di caffe yang sering ku kunjungi saat merasa bosan atau tidak ada kerjaan. Setelah merasa cukup dengan kegiatanku hari ini, aku memutuskan untuk pulang.

Kuhampiri meja kasir yang kosong, biasanya selalu ada minimal satu orang yang menjaga. Aku menengok ke kanan dan kiri, lalu dikagetkan dengan seseorang yang kemarin mengacaukan pagi hariku.

"ketemu lagi kita" ucapnya dengan senyum lebar.

"lo siapa, sih? Muncul terus kayak kuman. Ganggu tau gak?!" aku memutar bola mata malas sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Arthala" tunjuknya pada nametag yang tercantum di dada kanan. Ia tersenyum dengan sangat percaya diri, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi.

"gue gak nanya! Kasirnya mana? Mang Ujang yang biasa jaga kemana? Kok lo terus, sih? Kesel gue!" aku memalingkan wajah menghadap ke arah jalanan, banyak orang berlalu lalang menggunakan payungnya. Cuaca tak bisa diperkirakan, padahal sebelum aku datang kemari langit sangat cerah dan biru.

"tadi lo nanya siapa gue, kan? Ya gue jawab, gue Arthala. Kalo lu mau panggil sayang, kita jadian dulu. Lo mau gak jadi pacar gue?"

Aku melotot, "lo gila!"

Dia tersenyum," karena lo, uuuu" aku geleng-geleng kepala melihatnya memonyongkan bibir.

"Mang Ujang kemana?" tanyaku mencoba mengalihkan pertanyaannya yang menyebalkan.

"lagi pulang kampung, kasian banget. Lo tau kenapa?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng lalu menatapnya dengan tatapan bingung. "Mang Ujang kenapa? Jangan bikin gue penasaran!"

"katanya Mang Ujang pulang ke kampung halaman, tapi dia lupa halaman berapa. Kasian banget" ucapnya dengan ekspresi yang dibuat sesedih mungkin.

"lawak lo!"

"ketawa, dong!" pintanya

"ha..ha..ha.. Udah!"

"yaudah sekarang bayar! Lo bikin orang lain nunggu daritadi" aku menoleh ke belakang, banyak orang yang mengantri dibelakang dengan tatapan liar.

"bayar ke lo?"

"ya engga lah. Baik banget lo mau bayar ke gue, ke caffe ini, cantik"

"ah terserah! Berapa?"

"gratis, asal lo ga boleh lupain gue lagi" ucapnya menggoda dengan menaik-turunkan alisnya yang tebal.

"bodoamat!" aku mengeluarkan selembar uang berwarna biru, karena sudah sering kesini dan memesan makanan yang sama jadi aku hafal dengan daftar harganya. Setelah itu aku pergi meninggalkannya yang masih tersenyum dibalik meja kasir. Namun, saat aku membuka pintu caffe, hujan semakin deras.

"kenapa gue gak sadar kalo daritadi hujannya makin deres, ya?" batinku

Aku menatap lurus kedepan, didalam otakku kini tengah memikirkan bagaimana caranya untuk pulang tanpa kehujanan. Kulihat pergelangan tangan, jam menunjukkan hampir pukul setengah lima.

"mati gue!" aku menepuk kening dengan cukup keras. Sudah berapa lama aku di Caffe ini? Ibu dan ayah pasti akan memarahiku karena sering lupa waktu jika bepergian.

Aku semakin bingung karena hujan tak kunjung reda. Hari semakin gelap ditambah suara petir yang menggelegar. Aku mengakui bahwa sekarang aku merasa sangat takut dan tanganku gemetar.

"ahh!" teriakku sangat keras. Suara petir yang benar-benar kencang membuatku terkejut, semua orang di dalam caffe menatap ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum canggung dan meminta maaf.

Kulihat beberapa dari mereka keluar menggunakan payung setelah membayar pesanannya. Jam menunjukkan pukul lima dan aku masih berdiri tanpa melakukan sesuatu. Suasana caffe juga mulai sepi dan dingin.

Aku memilih keluar dan duduk disalah satu kursi yang disediakan caffe ini. Lalu, seseorang menyodorkan payungnya kearahku. Aku mendongak mendapati Arthala yang terus menggerakan payungnya mengisyaratkan agar aku mengambilnya.

Aku ingin menerimanya, tapi dengan cepat ia mempermainkanku lagi. Aku menghela nafas berat untuk yang kedua kalinya kemudian berdiri tanpa memperdulikan laki-laki tak jelas ini.

"lo mau kemana?" tanyanya

"menurut lo?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya

"lo mau sakit? Jangan hujanan!" sambungnya dengan suara meninggi, tapi aku tak peduli.

"berisik lo!" dengan cepat ia menarik tanganku, "tunggu dulu!" cegahnya.

"lo ngapain, sih?! Gue udah telat banget pulang ke rumah" dia semakin mengencangkan cengkramannya. "gue anterin!"

"gak! Gue gak mau berhutang budi ke lo, lebih tepatnya gue gak mau berurusan sama lo. Gue balik!" aku berlari menerobos derasnya hujan tanpa memperdulikan pakaianku yang basah dan petir yang terus bersautan dilangit.

Revisi pertama: Minggu, 09/08/20

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang