Bab 6

66 19 4
                                    

I'm back uhuyyy
Happy reading, enjoy!

Hujan di sore hari bukan lagi persoalan yang asing bagi kotaku. Sore ini aku masih duduk di halte yang sangat sepi ditemani hujan gerimis yang tak kunjung reda. Hanya ada aku dan wanita separuh baya yang tengah menggendong anak kecil. Kekhawatiran tercetak jelas diraut wajahnya. Aku mendekat, lalu duduk tak jauh darinya. "maaf, bu. Anaknya sakit?" aku bertanya dengan hati yang berdecak kencang, bukan karena cinta melainkan takut mengganggu kenyamanan seseorang. Ibu itu menoleh, menampilkan wajahnya yang menurutku menyeramkan.

Ia kembali menatap anaknya kemudian menangis dengan tangisan kesakitan . "ini mayat anak saya, kakaknya ngebunuh dia karena ngerasa saya gak adil." ucapnya masih dengan tangisan, aku menutup mulutku kemudian mundur perlahan saat ibu itu ingin menyentuh lenganku. Matanya mendadak merah dan nafasnya memburu, ia berhasil menyekal lenganku," PEMBUNUH!!! "teriaknya tepat didepan wajahku, ia kemudian mengambil pisau yang ntah datang darimana lalu mengarahkannya padaku, aku berhasil melepaskan diri namun pisau itu lebih dulu tertancap dipundakku. Dia masih terus mengejar, sampai akhirnya truk besar berhasil menghantam badannya yang membuat anggota tubuhnya berhamburan dimana-mana. Aku menjerit histeris sembari menutup mulut, pandanganku buram saat bagian dari kepala yang penuh darah itu mengatakan "pembunuh harus ikut mati" dengan bibir tertarik keatas yang membentuk senyuman.

Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Ezra berada tepat disampingku dengan tatapan sendunya, matanya mengeluarkan airmata. "Chaaaa lu kenapa?" ucapnya sembari memelukku, "gue takut" ucapku lirih, enggan menatap sekitar.

"lebih baik kamu pulang, Matcha." tawar guruku, aku memberanikan diri menatap matanya, mimpi barusan membuatku takut sekaligus dejavu dengan kejadian waktu itu. "saya pengen di UKS aja ya, bu. Gapapa kan?"

"kenapa gak pulang aja, sih? Gue anterin" Ezra terlihat sangat khawatir, dia bahkan tidak melepas tanganku yang masih gemetar.

"gue takut ketemu ibu, plis Ra" aku memohon padanya agar tidak dulu membawaku ke rumah, ia menghembuskan nafas pasrah. "oke kita ke UKS, habis itu lu nginep di rumah gue, biar gue yang izin ke orang tua lo" aku tersenyum, lalu ia memapahku menuju UKS.

Setibanya di UKS aku memilih berbaring, menatap langit-langit ruangan yang didominasi warna putih. Ezra masih setia menemaniku. Ia bangkit, aku menahan lengannya , "jangan dulu tinggalin gue" dia kembali duduk.

"gue mau ambil minum buat lo,"

"gue gak haus," dia menghembuskan nafas kasar, "apa trauma lo belum juga sembuh?" aku menoleh, menatap mata Ezra dengan sedikit marah. "gue gak punya trauma!" bentakku.

Ezra bangkit, "lo harus sembuh. Lo harus ilangin trauma lo itu, Cha!" ucapnya sedikit berteriak

"udah gue bilang gue gak kenapa-kenapa, kan? Udahlah jangan terlalu ngurusin hidup gue"

"gue khawatir. Lu tuh ya dikhawatirin malah gak mau, bego banget" refleks dia menjitak pelan kepalaku, "hukuman buat cewek keras kepala kayak lo" sungutnya

"bego lo!" cercaku

"makasih, lo lebih" dia tersenyum sembari mengibaskan rambutnya yang panjang bak iklan shampo

"pergi lo sono, males liat muka lo yang kek gitu-gitu aja" usirku

"edek ieu ge, dek diajar aingmah, gak kayak lo!" dia pergi setelah menyimpan segelas air putih di nakas. Aku tersenyum, setidaknya untuk saat ini Ezra adalah satu-satunya orang yang peduli padaku.

Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan tidur siangku. Namun, baru beberapa menit aku terlelap, suara seorang perempuan tiba-tiba masuk ke dalam mimpiku. Suaranya sedikit parau disertai isakan tangis yang lirih, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas, ia tidak mengucapkan apapun, hanya menangis. Jujur, ini aneh dan sedikit menggangguku. Kupaksakan bangun dari mimpi itu namun tak bisa. Mataku sulit terbuka dan mimpi itu tak bisa ku akhiri, sampai akhirnya perempuan itu mendadak diam dan berhenti menangis.

"pembunuh" ucapnya sangat lirih dihadapanku dengan tiba-tiba, jarak wajah kami sangat dekat sampai aku bisa melihat otot matanya yang memerah. Ia tersenyum, bibirnya mengeluarkan darah segar yang menetes ke bajuku, "MATI!!!" teriaknya sembari menancapkan pisau ke jantungku.

"Ahhhh!" jeritku, lagi-lagi aku mimpi buruk. Tapi mimpi barusan terasa sangat nyata. Perempuan itu mirip seseorang dari masa laluku. Aku terus menangis dengan mata yang memerah dan rambut acak-acakkan seperti orang tidak waras. Pintu UKS terbuka, menampilkan Arthala dengan wajah khawatirnya, ia mendekat lalu memelukku dengan sangat erat. "gue disini" tapi aku melepaskan pelukannya dan malah berteriak, "Ahh! Pergi lo" sembari terus menangis. Ia kembali mendekat dan memelukku, kali ini lebih erat. "jangan nangis, plis. Gue anter lo pulang ya?" aku hanya bisa mengangguk, ia memapahku menuju mobilnya yang terparkir di halaman sekolah.

Selama diperjalanan aku tak banyak mengeluarkan suara, pandanganku lurus ke jalanan yang terlihat lengang. Sesekali Arthala melirik ke arahku, "apasih daritadi ngeliatin mulu?!"aku membentaknya, dia bergeming, "lu kenapa?" aku kembali menatap ke arah luar, "jangan bilang gapapa!" ucapnya spontan, padahal baru saja aku akan mengatakan itu.

"lo kan niatnya mau nganterin gue pulang, kok malah jadi banyak tanya kek wartawan?" sungutku. Dia menaikkan sebelah alisnya "ah, kayaknya lo udah gapapa, deh. Jadi gue gak akan nganterin lo pulang," ucapnya dengan nada jahil. Aku menatapnya tajam, dia membalas tatapanku "apa?" tanyanya.

"lo mau bawa gue kemana?! Inikan bukan jalan ke rumah gue! " dia tetap fokus ke jalanan tanpa menghiraukan ucapanku. "Arthala! Lo mau bawa gue kemana? Oh, gue tau, lo mau macem-macem, ya?! Gue telepon polisi ya--mphhh" di membekap mulutku dengan lengan kirinya, "gila lo ya, ngapain gue macem-macem sama lo. Gue laper, kita makan."

Baru saja aku mau membuka mulut, tiba-tiba mobilnya berhenti di salah satu tempat yang sangat tidak asing bagiku. Ia diam, tidak langsung turun. Begitupun aku.

"ayo turun! Cacing gue udah ngerengek nih" ajaknya

Aku menunduk, "gue gak mau turun"

"tapi gue laper-"

"lo aja yang makan, gue nggak" nada bicaraku mendadak melemas.

"oke, tunggu disini" tidak lama ia kembali lagi ke dalam, tanpa membawa apa-apa.

"loh, gak beli apa-apa?" tanyaku, ia tersenyum kecil, "gue gak jadi laper hehehe"

"ingat sesuatu tentang tempat ini?" sambungnya, aku mengangguk kecil.

Dia kembali tersenyum, "gue tau kejadian apa yang nimpa lo 8 tahun lalu. Tempat ini salah satunya, kan? Gue janji bakal bantu lo buat nyelesein semuanya. Gue gak nyuruh lo buat lupa, gue cuma pengen lo belajar nerima semua yang udah terjadi dan yang bakal dateng. Bolehkah?"

"gue gak yakin"

"harus yakin! Gue bantu, oke? Tapi jangan galak-galak! "

"galak adalah jalan ninjaku" ucapku

"ke orang lain boleh, ke gue jangan"

"thanks, Ar" dia melongo saat aku memanggilnya 'Ar' tapi sedetik kemudian wajahnya kembali normal, "it's oke darling. Apapun buat kamu" untuk saat ini aku tak mau marah dengannya. Jadi tidak apa saat ia memanggil darling, lagipula ia hanya bercanda. Dia mengajakku untuk pulang karena hari mulai gelap. Sepanjang jalan Arthala terus bertanya bahkan sesekali ia melemparkan lelucon yang membuatku tertawa. Ada sesuatu yang mulai tumbuh, tapi kuingatkan sekali lagi, aku hanya menginginkan Adiga.

Long time no see, guys!
Maaf Kalo banyak typo atau gak dapet feelnya. Ini bener-bener ngedadak karena aku gak sabar pengen publish:((
Nanti ada revisi kok, jangan bosen ingetin kalo salah ya!
Thanks a lot, ily guys:)

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang