Bab 5

64 18 1
                                    

Aku balik lagi, nih hehehe. Selamat membaca❣️

Langit Bogor yang cerah memberikan kesan hangat bagiku yang baru menginjakkan kaki di sekolah setelah tiga hari absen karena demam. Tiga hari itu pula Arthala tidak henti-hentinya mengirimiku berbagai pesan atau datang kerumah hanya untuk sekadar menyapa atau mengantar makanan. Banyak sekali usaha yang dilakukannya dan banyak juga penolakan yang dia terima dariku. Sampai sekarang sebenarnya aku masih bingung kenapa laki-laki itu tetap saja mendekat padahal aku tak meresponnya sama sekali.

Aku tak menyukai seseorang yang seperti Arthala, sikapnya kekanakan dan ia terlihat sangat bodoh. Tak mau dipusingkan dengan urusan tak penting ini, aku segera memasuki kelas yang di dalamnya sudah ada Ezra, satu-satunya teman perempuan yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri.

Aku menghampirinya yang sibuk menatap layar handphone, dia belum menyadari keberadaanku yang tengah menatap kearahnya. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat apa yang dia lakukan dengan handphonenya. Aku menaikkan satu alis saat menyadari foto siapa yang dia jadikan sebagai wallpaper. "itu siapa, Ra?" dengan gugup ia mematikan hpnya kemudian memelukku sangat erat sampai aku kesulitan untuk bergerak.

"Huuu gua kangen banget sama lu, Bocah!" teriaknya sembari sesekali mengacak rambutku yang sudah rapi dengan gaya kuncir kuda.

"yaelah Ra, cuma tiga hari juga"

"lu sih gue bodoamat, utang lu tuh! ibu kantin nagihnya ke gue terus, heran" ia melepas pelukannya, aku hanya tersenyum tanpa dosa.

"gue nyontek dong, Cha. Pliss" aku menoleh ke arah Ezra yang tengah memohon dengan mengepalkan tangan di depan dada. "gak mempan, kerjain aja sendiri" ucapku tanpa menoleh kearahnya. Ezra terlihat berpikir sejenak, "satu gelas matcha latte dengan satu sendok gula." katanya tiba-tiba, aku mempertimbangkan ucapannya dengan menyimpan tangan dibawah dagu, "plus utang lu di kantin" aku tersenyum dan meraih tangannya "Deal!" Ezra memutar bola malas, kemudian menarik buku fisika yang ada di hadapanku.

Selagi Ezra menyalin tugas di dalam, aku memilih keluar sekedar berjalan atau diam di taman. Saat di koridor dekat perpustakaan, aku melihat Adiga tengah mengobrol dengan seorang perempuan cantik bak orang luar. Percakapan keduanya terlihat akrab, ada sedikit sesak dihatiku. Aku berjalan melewatinya tanpa sedikitpun menoleh, namun seseorang menyekal lenganku dari belakang. Aku berbalik melihat Adiga yang tengah menatap ku. Dia tersenyum, menarikku untuk semakin mendekat.

"itu siapa, Ga?" tanya perempuan dihadapanku dengan tatapan yang kurang bersahabat

"ini Matcha. Kenalin Cha ini Ema, angkatan saya yang baru masuk lagi karena koma" aku membulatkan mata tidak percaya "ah maaf Kak gue gatau" ucapku pada Ema, dia tersenyum. Senyuman yang terlihat menakutkan

"selera lo yang bentukannya kayak gini, Ga?" ia menyeringai, "masih bagusan gue kemana-mana." sembari memutar bola mata dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "gue permisi dulu, Kak" aku memaksakan senyum kemudian berlalu, "Banyakin ngaca kalo mau sama Adiga yaa!!" teriak Ema dari arah belakang.

Aku mempercepat langkahku menuju kamar mandi, moodku hari ini dipastikan buruk. Adiga sama sekali tidak membuka suara saat kakak kelas itu merendahkanku, aku menahan tangis melihat Arthala yang berjalan tepat didepanku dengan sorot mata yang menimbulkan kekhawatiran. Aku mempercepat langkah melewatinya, setibanya di kamar mandi kutumpahkan kekesalanku terhadap Adiga.

"kenapa tadi gak gua hajar aja ya si Ema?" aku mengusap air mataku, bodoh sekali menangisi hal yang tidak penting.

"Inget! Tuhan nyiptain lo bukan buat nangis doang, banyak masalah yang lebih dari ini, semangat! Semangat!" aku mencoba menyemangati diriku sendiri, namun hasilnya tidak berarti apa-apa. Aku terduduk di dinginnya lantai, kurasakan sakit hati yang begitu parah,"apa pembunuh kayak gue masih bisa di sayang Tuhan? Gue gak yakin hahaha", pandanganku buram, sekelebat peristiwa 8 tahun yang lalu muncul lagi ke permukaan. Bak disayat pisau berkarat, hatiku kembali terluka.

Aku berdiri memandang wajah sendu, satu tarikan nafas keluar dari mulutku. Kurapikan diri kemudian mencoba tersenyum.

Saat aku baru keluar dari kamar mandi, seseorang tiba-tiba berjalan sejajar denganku. Aku diam, mendongak melihat sorot matanya dengan tatapan membunuhku, yang di tatap malah tersenyum dengan sangat cerah.

"Selamat pagi, sayangku. Udah baikan, nih?" aku bergeming tak berniat menjawabnya. Kulangkahkan kaki menuju kelas, ia mengikuti sembari terus merecok. "mata lo kok merah, Cha? Dan... Kenapa ada luka di tangan kanan lo?" aku segera menutupnya menggunakan lengan kiri, aku berjalan semakin cepat, ia menahan langkahku.

Aku menghembuskan nafas kesal, "mau lo apa, sih? Mood gue lagi gak baik. Jangan ganggu gue" kulepaskan tangannya dengan kasar, "bukannya mood lo emang gak pernah baik ya buat gue?" aku berhenti, "gue-"

"gue mau deket sama lo, Cha. Gue mau bantu lo sembuh dari kejadian 8 tahun lalu. Gue-" ucapnya terpotong

"jangan ganggu gue" putusku, kemudian pergi dari sana dengan langkah cepat. Sekali lagi, rasanya sakit mengingat peristiwa itu. Seperti sebuah kaset rusak yang diulang-ulang, lama-kelamaan dunia semakin menakutkan, "kenapa ingatan itu harus muncul lagi, ya Tuhan" aku menangis dalam hatiku.

See u on the next part❣️

Menuju KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang