Di bab ini ada adegan tusuk menusuk, loh. Jangan kaget, dikit kok. Hehehe enjoy!
Malam ini aku berusaha memejamkan mata lagi, rasa sesak kembali hadir dalam hatiku kala mengingat mimpi yang baru saja aku alami. Pelipisku masih mengeluarkan keringat dan tanganku sedari tadi gemetar. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, tak menemukan siapapun diruangan ini. Kulihat keatas nakas, jam menunjukkan pukul 21. 03 WIB, yang berarti seharusnya Ezra sudah pulang. Aku berdiri, memaksakan kepalaku yang berputar-putar dan rasanya mau muntah.
Sembari memegangi kepala yang nyeri, aku berjalan menyusuri tiap lantai yang ntah akan membawaku kemana. Aku ingin bercerita pada Ezra, berharap ia mampu menenangkanku hanya dengan kalimat semuanya akan baik-baik saja. Tapi, rumah ini begitu luas, kakiku tak cukup kuat untuk terus berjalan sembari menopang kepala yang sedang nyeri-nyerinya.
Aku memilih diam, duduk diantara anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Disini terlihat jelas rumah besar yang kosong dan dingin. Aku menyenderkan kepalaku pada pegangan tangga, rasanya benar-benar mau muntah. Terdengar suara teriakan dari lantai atas, refleks kepalaku menengok kearah sumber suara. Hanya tinggal menapaki beberapa anak lantai, aku bisa mencapainya dengan kepala yang terus berputar.
Kupaksakan langkah demi langkah, namun saat aku tiba di lantai dua, aku tak menemukan siapapun disana. Kosong dan dingin seperti biasa. Teriakan itu terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya. Aku melihat ke bawah, alangkah terkejutnya aku melihat perempuan yang sedang merangkak, menggusur kakinya yang pincang akibat tusukan pisau di pahanya yang kiri, tak lain ini ulah laki-laki yang berada tak jauh darinya. Sesekali ia tertawa melihat perempuan didepannya menjerit kesakitan, laki-laki itu mendekat, ia mengangkat tinggi-tinggi pisau yang sudah sejak lama berada dalam genggamannya. Pisau itu ia arahkan tepat pada punggung perempuan yang sedang bersusah payah lari, tapi tak kuat karena tusukan pada pahanya sangat dalam.
Laki-laki itu semakin mendekat, berbarengan dengan teriakanku yang memenuhi ruangan, ia berhasil menancapkan pisaunya tepat pada punggung perempuan itu. Aku menutup mulutku rapat-rapat saat tau jika laki-laki pembunuh itu kini mengetahui keberadaanku. Aku mencoba lari, takut sewaktu-waktu laki-laki itu mengejar dan membunuhku.
Aku bersembunyi dibalik vot bunga yang besar. Nafasku tersengal-sengal disini, aku merutuki diri sendiri dengan teriakanku tadi, alhasil aku berada dalam bahaya sekarang.
Kurasakan ada yang mendekat menuju kemari, aku berdoa sebisa mungkin sembari menutup kedua mataku."buka matamu" aku tersentak, disini hanya ada aku dan pria pembunuh itu. Tapi yang barusan berbicara adalah suara perempuan. Aku enggan membuka mataku, takut jika dihadapanku ini adalah monster dengan pisau ditangannya.
"buka matamu" ucapnya sekali lagi, perlahan aku membuka mata, aku tersenyum melihat siapa yang kini tengah menyekal lenganku. Bunda membawaku kedalam ruangan yang sangat indah, sesekali bunda melirik ke arahku sembari tersenyum.
"duduk disini, sayang" ucapnya sangat lembut, aku menurut lantas duduk diatas ranjang yang dibalut sprei motif bunga lili. Bunda melepas genggamanku, ia berjalan menuju pintu didekat lemari, meninggalkan aku sendirian yang masih tersenyum sembari mengelus-elus sprei.
Terlalu lama bunda meninggalkanku, akhirnya aku beranjak turun dari ranjang. Aku mendekati pintu yang tadi dimasuki oleh bunda, tapi pintu itu terkunci saat aku mencoba untuk membukanya. Aku melirik kearah lemari tua disampingku, buku-buku tua dan hampir lapuk menghiasi lemari ini. Aku melihat deretannya, setiap buku hanya diberi nomor, tak ada judul atau satu huruf pun disana.
Aku membuka salah satu buku yang bisa dijangkau, saat membukanya, ada aroma khas yang paling aku suka. Di halaman pertama hanya ada tulisan selamat datang. Barulah saat aku membuka halaman lain, aku menemukan banyak kata menarik hasil tulisan tangan seseorang.
Selesai membaca buku pertama yang berisi perjuangan seorang perempuan mempertahankan cintanya, sampai ia rela pindah keyakinan dan rela diasingkan oleh keluarga lamanya. Aku kembali membaca buku lain, tapi hampir semua buku yang aku buka tak bertuliskan apa-apa. Aku hampir menyerah, pasalnya sudah tak ada lagi buku yang belum aku buka. Aku duduk, menyilangkan kaki dilantai putih yang dingin.
Pandanganku teralihkan saat melihat kotak kecil hitam didalam kolongan lemari tua itu, aku sedikit kewalahan mengambilnya karena lenganku tak sampai. Tapi akhirnya kotak itu kini berada dalam genggamanku.
Kotak amal, itu sebutan pertama yang terlintas dipikiranku saat melihat kotak ini. Aku penasaran sekali dengan isinya, tapi tak bisa dibuka karena kotak ini digembok.
"anjir, apa gue banting aja, ya?"
Di banting beberapa kalipun kotak ini tak mau terbuka juga. Aku kelelahan dan memutuskan menyimpannya kembali. Namun, saat akan mengembalikannya, aku melihat aksara yang pernah diajarkan bunda waktu kecil.
"ᮙᮜ"
Alisku bertaut menjadikan beberapa lapisan dikening. Dicoba beberapa kalipun aku masih belum bisa mengingat jelas itu huruf apa dan kenapa harus huruf itu. Aku bersimpuh, masih dengan posisi memegangi kotak itu, akhirnya aku menyerah karena tak bisa mengingat satu persatu hurufnya, aku banyak melupakan hal yang pernah diajarkan bunda, apa bunda marah ya?
Ah, jadi kangen bunda...
Aku juga kangen hahaha. Maaf nih ya kalo typo nya masih banyak, feelnya ga dapet terus

KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Kehilangan
Teen FictionMatcha, gadis itu menghindari laki-laki yang ia ketahui berasal dari masa lalunya. Bermaksud membantu menyembuhkan, Arthala justru menguak luka lama yang belum kering. Keduanya berkaitan dengan kejadian 8 tahun lalu yang menyebabkan gadis itu harus...