ARGARA {16}

308 27 42
                                    

Beberapa hari kemudian setelah Amara di rawat di rumah sakit, akhirnya hari ini cewek itu bersekolah juga. Ia sedikit kecewa karena berharap Arga akan menjenguknya tapi cowok itu sekali pun tidak pernah datang untuk melihat keadaannya. Saat berpapasan di koridor sekolah Arga dan Amara sama sekali tidak berbicara dan saling mengabaikan satu sama lain. Tidak saling sapa membuatnya seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal. Selama Amara di kelas ia belum pernah melihat Arga memasuki kelas ini.

Di koridor Amara terus memikirkan Arga yang tiba-tiba cuek, dingin kepadanya padahal terkahir kali ia bertemu, mereka baik-baik saja. Dengan lemas ia melangkahkan kakinya ke toilet. Ia tidak sengaja bertubrukan dengan seseorang di belokan koridor. Dengan cepat Amara berdiri dan mengusap dahinya yang terbentur dada bidang seorang cowok. Gadis itu mendongak dan menatap cowok itu kaget.

Arga?

Sudah dua kali kejadian ini terjadi. Ia juga tidak menyangka bahwa kejadian seperti ini terulang kembali. Amara menatap cowok itu lekat. Tetapi cowok itu masih berdiri tegap di sana dengan tatapan datarnya. Karena penasaran dan ini kesempatannya untuk menanyakan sikap Arga yang berubah hari ini, walaupun Amara tau sifat Arga memang dingin seperti ini.

"Arga?" Panggilnya " Lo kenapa—"

Arga memotong ucapan Amara saat cewek itu belum sempat melanjutkan ucapannya.

"Tolong minggir!" Suara ketus dan dingin itu seketika membuatnya terkejut. Satu kata itu mampu menembus hatinya yang rapuh. Amara tidak tahu kenapa Arga tiba-tiba bersikap kayak gini kepadanya.

"Lo denger gue nggak? Gue bilang minggir!" Akhirnya cowok itu yang melangkah kesisi kanan Amara melewati cewek itu yang masih diam mematung.

Belum sempat cowok itu melangkah menjauh, namun kakinya berhenti karena ucapan cewek di belakangnya.

"Lo bukan Arga yang gue kenal! Oke kalau itu mau lo!" Arga hanya diam, tidak menjawab. Kemudian pergi melanjutkan langkahnya.

Dari kejauhan Arya, Gio, dan Aldi hanya saling menatap. Mereka juga tidak tahu kenapa sahabatnya itu seolah menghindari Amara.

"Ngapain lo liatin gue?"

"Idih siapa juga yang liatin lo!"

"Tuh ... tuh, lo liat gue lagi, kan. Nih juga! Ngapain tangan lo megang tangan gue. Jijik tau nggak!" Gio melepaskan tangannya dari genggaman Aldi dengan kasar.

"Ngapain sih lo berdua. Berisik tau nggak! Tuh Amara liat kita lagi." Kesel Gabriel melihat tingkah sahabatnya yang selalu bertengkar walaupun masalah kecil. Tapi Gabriel tahu kalau mereka saling menyayangi tapi gengsi untuk saling mengungkapkannya.

Sepulang sekolah, Amara berjalan beriringan dengan sahabatnya, Maira. Namun Amara dan Maira harus berpisah karena Maira sudah di jemput. Sedangkan Amara harus naik angkutan umum untuk pulang.

Dan ini pertama kalinya ia naik angkutan umum karena Daniel melarangnya untuk menyetir mobil sendirian melihat kondisinya yang baru keluar dari rumah sakit. Daniel juga yang mengantar Amara ke sekolah sebelum cowok itu berangkat ke bandara. Dengan embusan napas pasrah, cewek itu melangkah keluar gerbang sekolah. Namun langkahnya segera terhenti saat ia melihat tali sepatunya lepas. Buru-buru ia berjongkok, tapi sesuatu menabraknya.

"Aw!" Pekik Amara.

"Lo tuh kalau jalan pakai mata. Jangan berhenti mendadak! Liat apa ada orang atau enggak di belakang! Jangan langsung berhenti!" terdengar bentakan seorang cowok.

"Kok gue yang salah! Lo tuh kalau naik motor pelan-pelan!" Amara membentak balik sambil membersihkan tangannya yang berdarah karena dorongan ban dari motor sport milik Arga.

ARGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang