ARGARA {17}

378 25 19
                                    

Pagi-pagi keesesokan harinya. Matahari sudah naik menampakkan cahayanya. Cewek itu menatap langit-langit kamar yang ia tempati sekarang. Semua barangnya sudah ia pindahkan ke kamar barunya ini. Kamar yang seharusnya untuk tamu, tapi malah seperti ia tamu di rumahnya sendiri. Mungkin selamanya kamar kesayangannya itu bukan lagi miliknya.

Amara beranjak dari kamar. Cewek itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Amara turun menapaki anak tangga. Seketika senyumnya mengembang melihat ibunya tertawa bersama keluarga barunya berkumpul.

"Pagi, Ma. Pa," sapanya yang dibalas oleh keduanya. "Pagi juga, Nak."

"Pagi Ren." Sapanya kepada saudara tirinya. Rena hanya melirik ke arah Amara tanpa berniat untuk menjawabnya. Tapi melihat sorotan mata tajam bokapnya, dengan malas akhirnya Rena menjawab, "Pagi juga." Hening tanpa ada yang berbicara sampai acara sarapan selesai.

Sekarang tinggal mereka bertiga. Renaldi sudah dahulu berangkat ke kantornya. Amara menoleh ke arah Rena yang juga memakai seragam sekolah persis dengan segaram yang ia pakai.

Mengerti dengan tatapan anaknya akhirnya Deva yang menyahut, "Rena akan bersekolah di Sma jaya pratama. Bareng kamu."

Amara manggut-manggut mendengar ucapan ibunya, "kalau gitu lo berangkat bareng gue aja. Naik mobil gue."

"Gak usah. Gue mau berangkat sendiri." Ucapnya.

"Tapi lo mau berangkat pake apa? Papa udah berangkat jadi nggak ada yang anterin lo. Mendingan bareng gue. Kita satu jalur dan satu sekolah juga."

"Gue pake mobil lo! Sini kunci mobil lo!" Rena mendekat ke tempat Amara berdiri. Merampas kunci mobil yang ada di tangan Amara.

Amara sebenarnya kesal dengan tingkat Rena yang seenaknya. Tapi ia masih sabar, entah sampai kapan kesabarannya ini. Amara melakukan itu semua demi melihat ibunya bahagia.

Amara hanya mengikuti Rena dari belakang. Rena berbalik menatap datar Amara, "Lo nggak usah ikutin gue. Gue nggak mau sama lo! Gue mau berangkat sendiri."

"Lo naik taksi aja atau pake angkot juga banyak." Lanjutnya.

Seketika Amara menghentikan langkahnya mendengar penuturan dari Rena. Dia tidak bisa hanya tinggal diam saja saat semua miliknya perlahan direbut oleh saudara tirinya. "Itu mobil gue Ren! Lo nggak berhak atur-atur gue!"

"Emang gue peduli? Nggak!"
Setelah mengucapkan itu Rena pergi membawa mobil Amara. Meninggalkan Amara dengan wajah kesalnya.

Amara beralih menatap ibunya. "Mah," lirihnya.

"Kamu naik taksi aja Nak, kamu juga sudah lama di sini pasti udah nggak nyasar lagi. Sedangkan Rena baru kemarin dia datang kesini lagi. Bahaya kalau dia yang naik angkutan umum."

"Mama berubah. Nggak kayak dulu lagi. Semenjak Papa udah nggak ada, Mama nggak pernah lagi perhatian sama Amara. Mama nggak pernah lagi belain Amara."

"Nak, Mama nggak kayak gitu."

"Nggak kayak gimana Mah? Semenjak Mama menikah lagi, Mama nggak ada waktu lagi buat Amara. Mama nggak seperti dulu lagi yang perhatian sama Amara. Malah Mama lebih belain anak tiri Mama di banding Amara sendiri yang sudah jelas-jelas anak kandung Mama."

"Dengerin Mama dulu Nak."

"Nggak ada yang perlu di jelasin Mah. Mama cuman baik kalau di depan aku kalau lagi sendiri aja. Tapi kalau di depan Rena. Di mata Amara Mama itu jahat!" cewek itu juga terkejut dengan apa yang ia ucapkan barusan. Ia pasti sudah melukai hati ibunya sendiri. Maaf Ma. 

Plak!
Cewek itu tersenyum sinis. Ini bukan pertama kali ibunya menamparnya. Cewek itu lebih memilih di sakiti fisiknya dari pada mendengarkan kata yang keluar dari mulut ibunya yang akan membuat batinnya sakit, itu lebih sakit.

ARGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang