01 : Drama dalam Kenyataan

311 25 2
                                    

Seutas senyum terukir di bibirku yang dipoles lipbalm. Ya, hari ini adalah untuk pertama kalinya wajahku dirias sebab merupakan hari kelulusanku di sekolah menengah atas.

Aku berdiri di ujung koridor sekolah. Memisahkan diri dari keramaian yang jujur membuatku risi. Ditambah lagi terdapat dandanan di wajah. Walau aku menggunakannya setipis mungkin. Namun, tetap saja aku tak suka menjadi pusat perhatian.

Bukan kah islam melarang untuk tidak berlebihan? Nah, aku tak ingin tabarruj. Menurutku, menjadi perempuan itu harus seperti matahari yang silau saat dilihat. Dan yang mampu melihatnya hanyalah seseorang yang sudah halal baginya. Suami. Betul, kan?

Menyinggung soal pria masa depan, aku jadi teringat perkataan ayah yang kira-kira begini, "Nanti kalau ada yang lamar kamu, ayah serahkan saja. Lebih cepat lebih baik."

Terlepas dari candaan atau tidak, hal itu tetap meledakkan tawa orang-orang yang mendengarnya. Untung saat itu hanya ada Abi Azam, Mishka dan Mulki, si kembar tak identik. Saat itu, aku hanya bisa memasang tampang tak suka dengan memanyunkan bibir.

"Hei."

Sontak aku menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang. Aku menggeser beberapa langkah ke samping saat tahu siapa gerangan.

"Sendiri aja? Sunna mana?."

Lihat lah, bahkan dia tahu teman terdekatku. Sudah berapa lama dia menguntitku sebenarnya?.

"Nggak usah basa-basi," kataku dengan nada dingin tanpa menatap lawan bicara, "ada perlu apa?."

"Eum ... kamu ... mau lanjut kemana?," tanyanya terdengar kikuk.

" Entah. Belum tau lanjut dimana."

"Oh," jeda, "ah iya! Ini, buat kamu."

Tatapanku yang semula lurus refleks berpaling karena perkataannya. Dia mengulurkan sebuket bunga. Aku menatapnya sebentar untuk menegaskan bahwa aku tak butuh bunga darinya. Ku harap dia mengerti.

Namun, sepertinya tidak. Dia hendak meraih lenganku yang kuhadiahi dengan tepisan langsung.

"Bukan mahram," kataku dan berlalu begitu saja.

**

"Nifa! Apa-apaan tadi? Kamu mau bikin rumor yang kayak si Fani waktu itu? Plis lah, saran aku, kamu nggak usah deket-deket sama si Azka itu. Masih banyak cowok yang bisa dijadiin masa depan di luar sana," cerocos Sunna.

Selang beberapa menit aku tiba di kelas, Sunna pun muncul. Dandanannya tak jauh berbeda dariku.

"Siapa juga yang mau deket-deket sama dia, Maisunna Azhara Latuconsinaaaa. Orang tadi akunya langsung pergi, kok," balasku sengaja membumbuhi namanya dengan nama artis muda yang terkenal cantik.

"Ya buktinya aku liat kalian ngobrol berdua," dia mulai mengklaim tanpa melihat kronologinya. Mulai lagi kebiasaan satu ini.

Aku menarik napas lalu mengembusnya perlahan. Kupalingkan kepala ke arah samping. Sunna membelalak oleh tatapanku.

"Suudzon?," tanyaku.

"Dosa," jawabnya.

"Menuduh tanpa bukit yang jelas?."

"Fitnah."

"Fitnah lebih kejam dari?."

"Pembunuhan."

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang