07 : Sebuah Angan

137 14 23
                                    

Hari yang paling kuwanti-wanti telah tiba. Di sinilah aku. Duduk di antara para tamu yang hendak melamarkan anaknya untuk menjadi pendamping hidupku.

Huft...

Waktu terasa lambat berjalan.

"Nifa itu anaknya patuh. Kamu jangan takut dia berulah," kata Papah diiringi kekehan.

Aku melirik Papah yang duduk di sebelahku dengan perasaan kesal.

Bisa-bisanya berkata seperti itu di depan para tamu yang maaf ... tidak kuharapkan kehadirannya.

Bukan orang tua lelaki itu, tapi anak mereka yang sedang mengulum senyum yang justru menambah rasa muakku padanya.

Aku heran, kenapa Azka dan kedua orang tuanya adem-adem saja setelah anak mereka melakukan hal fatal bersama anak gadis orang?.

Ingin kutanyakan. Namun, enggan karena malas mengikut campuri yang bukan urusanku.

"Kakak..."

Aku terusik dari lamunan ketika tangan Papah melambai tepat di depan wajah.

"Ah iya, Pah. Ada apa?," tanyaku mencoba menghilangkan raut datar di wajah. Agar terlihat sopan di depan dua orang yang lebih tua dariku itu.

Walau aku menaruh rasa benci pada anaknya. Akan tetapi, rasa hormatku kepada orang yang lebih tua tetap yang terdepan.

"Ngelamunin apa, Nifa?."

Tatapanku terarah pada orang barusan bertanya. Azka dengan senyum santunnya. Sangat bertolak belakang dari apa yang pernah ia perbuat.

"Bukan apa-apa," jawabku tanpa ekspresi dan intonasi apa pun dalam kalimat yang terlontar.

"Nifa. Ummi suka deh kalau Nifa pakai cadar. Pasti akan lebih cantik dan kelihatan jiwa perempuannya," kata wanita yang duduk di hadapanku.

Mendengar itu, keningku otomatis berkerut. Merasa janggal dengan kalimatnya yang terakhir.

"Jadi Nifa nggak kelihatan kayak perempuan gitu, Bu?," aku memaksakan kekehan untuk keluar dari mulutku agar tidak terkesan lancang.

"Gimana kamu ini? Anaknya anggun begitu dibilang tomboy?," sahut lelaki di sebelahnya yang tak lain Abi Azka.

"Yah si Abi, kapan Ummi sebutkan Nifa tomboy? Kan Ummi cuma bilang, aura perempuannya biar kelihatan, gitu. Feminim lho feminim," jelas wanita berjilbab hijau itu.

Aku hanya dapat mendengar perdebatan mereka pasal aku yang terlihat tomboy...?

Biar nanti aku cek. Dimananya penampilan yang membuatku kelihatan tomboy.

Heran! Aku tidak merasa ada jiwa laki-laki di diriku.

Pakaian yang kukenakan saat ini sudah umum dipakai oleh muslimah mana pun dan sering terpakai dalam keseharianku.

Blus selutut. Dan celana kain longgar berwarna hitam. Tidak ketinggalan kerudung yang selalu membungkus rambutku jika di depan orang asing dan saat keluar rumah.

Dimana letak tomboynya?.

Mungkin kah karena tampang yang terkesan flat sekalipun aku sudah tersenyum?.

Terserah lah. Pusing aku memikirkan hal sesepele itu.

"Berarti sekarang kita calon besan ya," kata Ummi lelaki yang tidak ingin kusebutkan namanya pada Papah, "baik-baik ya Nak jadi suami untuk Nifa. Nanti kita langsungkan akadnya beberapa hari sebelum keberangkatan kalian ke Jakarta."

"Fokus belajar saja. Jangan pikirkan yang lain. Betul?," imbuh Abinya dengan mengarahkan tatapan pada Papah yang sedang mengangguk sambil tersenyum.

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang