17 : Perdebatan

197 14 14
                                    

Lukamu tak akan pernah sembuh jika kau masih bermusuhan dengan masa lalu. Memang, kuakui, melupakan tidak lah mudah. Namun, jangan kaucoba itu. Cobalah untuk merelakan. Karena sejatinya, penawar rasa sakit itu sendiri ialah rela dan ikhlas.
-Bukan Imamku.

***

"Assalamualaikum," kuberi salam begitu sampai di dalam rumah.

"Waalaikumsalam," suara Azka dari ruang tv sana.

Aku menghela napas begitu mendapatinya. Teringat akan kejadian di resto kemarin.

Sejak kejadian satu hari yang lalu itu, Azka berbeda. Tidak lagi sibuk melakukan sesuatu hanya untuk meraih perhatianku seperti sebelumnya.

Kadang kala ia hanya menanyakan, "Udah makan?."

Yah, seperti biasa. Namun, kali ini sudah tidak ada lagi pernyataan bahwa dia sudah menyiapkan santapan untuk kami makan bersama di meja petak tempat biasa aku dan dia datangi ketika perut sudah dilanda rasa lapar.

"Aku beli nasi padang tadi. Ada di bawah tudung. Makan aja."

Langkahku yang hampir mendekati kamar terhenti ketika mendengar kalimat itu.

Lantas kutolehkan kepala untuk merespons perkataannya, "Iya. Nanti aku makan ... makasih."

Dan aku mulai melangkah yang lagi-lagi terhenti karena interupsi dari lelaki yang tengah mendudukkan dirinya di sofa.

"Nifa."

Aku hanya bergumam sebagai respons.

Azka bangkit dan mulai berjalan ke arahku.

"Yang kemarin itu siapa?," tanyanya dengan tatapan ... entah kenapa aku mendapati panacaran sorot kelelahan di sana.

Dan juga aneh. Mengapa hal itu baru ia tanyakan sekarang.

"Teman," jawabku tidak sepenuhnya berbohong.

Alfin bukan kekasih walau aku dan dia menjalin kedekatan. Kami hanya menunggu. Entahlah. Alfin sedang mencoba berkomitmen atas hubungan ini. Oleh karena itu, akan tepat jika dinamakan hubungan tanpa status.

"Teman?," dia mengulangi kata tersebut dengan intonasi yang berbeda.

"Iya. Kenapa?," kubalik pertanyaannya.

"Kamu sadar kan, Nifa? Yang kamu lakuin itu salah. Nggak ada pernyataan yang membolehkan seorang istri duduk sama lelaki lain tanpa sepengetahuan suami..."

"Dan aku, nggak pernah liat teman yang kamu maksud itu selain Friska dan Izzah. Iya, 'kan? Kalian bukan teman...," lanjutnya.

"Jadi, maksud kamu apa? Kalau aku sama dia memang punya hubungan yang lebih dari teman, terus gimana sama kamu yang udah ngelakuin-."

"Cukup..." dia memungkas kalimatku.

Dan aku hanya bisa membuang napas kasar karena hampir saja kelepasan dalam berbicara. Yah, kuakui memang selalu seperti itu. Namun, ini berbeda. Aku sadar dengan apa yang telah kuperbuat. Sehingga amarah dapat teredam oleh rasa bersalah.

"Bisa nggak sekali kamu menghargai aku sebagai suami? Andai bisa berbagi, maka aku bakal berbagi apa yang aku rasain sekarang ini sama kamu, Nifa. Lelah tubuh ternyata memang nggak sebanding sama lelah di dalam sini," dia menunjuk tepat di depan dadanya.

Aku menarik napas dalam untuk mengeluarkan semua yang ada dalam hatiku walau saat ini rasa itu nyaris luluh oleh kata-kata yang dilontarkan Azka.

"Kamu sakit hati selama ini sama aku? Kalau gitu maaf. Kita bisa cerai kok. Ini juga demi kebaikan aku dan kamu," sambil menatap tepat ke iris cokelat terang itu.

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang