06 : Galau

134 12 2
                                    

"Alhamdulillah..." ujarku lega dengan perasaan berbunga-bunga.

Segala sesuatu itu pasti ada alasan, 'kan?.

Dan aku baru saja melihat-lihat daftar nama yang lulus seleksi dari universitas favoritku di laptop.

Akhirnya ... keinginanku tercapai sudah. Alhamdulillah sekali.

Senyum belum juga luntur dari wajahku yang selalu datar walau tujuh menit telah berlalu.

"Papah. Nifa lewat seleksi, Pah!," seruku girang tepat setelah kakiku menapaki ruang tv dimana Papah tengah mendudukkan diri.

"Tabarakallah, ya, Nak. Alhamdulillah. Yah, Papah jadi ditinggal pergi," balas Papah dengan nada sedih yang dibuat-buat.

Aku terkikik mendengarnya.

Sementara Papah semakin mengeratkan rangkulannya dibahuku.

"Nanti Kakak di sana mau tinggal sama siapa hayo?," Papah mengurai rangkulannya. Lalu menatapku dengan makna yang sulit diartikan.

"Gampang itu mah. Kan bisa tinggal di kost atau di asrama sama teman-teman yang juga rumahnya jauh kayak Nifa."

Papah menghela napas tampak tidak rela melepaskanku. Dan terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan kedua alis yang menanjak ke atas.

"Kakak?."

"Iya, Pah. Kenapa?."

"Umur Kakak berapa sekarang?."

Aku mengerutkan alis mendengar pertanyaan Papah. Terasa aneh tiba-tiba menanyakan umur. Ah, tidak tidak! Tidak aneh. Biasa saja. Aku mungkin yang terlalu mendalami. Sampai sampai semua yang Papah katakan seolah hal yang janggal.

"Delapan belas," ucapku.

Lagi-lagi Papah menghela napas.

"Kalau Papah men..."

"Papah mau nikah lagi? Nggak papa kok Pah. Asal Papah bahagia, Nifa sebagai anak yang berbudi bolehin aja," ujarku sambil tersenyum manis.

"Bukan, Nifa..." Papah berdecak khidmat.

"Terus apa kalau bukan?."

"Kamu mau tidak kalau Papah jodohkan?," tanya Papah dengan iris gamangnya. Seperti tidak yakin dengan pertanyaan diri sendiri.

"Papah, jangan bercanda deh," aku tertawa renyah sambil membuang muka sesekali, "Nifa kan baru delapan belas tahun. Masa' mau dijodohin aja?."

"Papah serius, Nifa. Serius! Sudah ada kok calonnya sama Papah. Kalian bisa tunangan terlebih dulu kalau tidak mau buru-buru. Mau nuntut ilmu dulu, 'kan? Maka dari itu..."

"InsyaAllah anak ini baik agamanya," sambung Papah.

Aku langsung mengarahkan tatapan secara kilat ke netra Papah.

"Siapa memangnya, Pah?."

"Anaknya teman kuliah Papah."

"Papah ... Nifa penginnya sekolah dulu yang tinggi baru deh tu. Urusan nikah menikah kapan-kapan dipikirin. Masih lama juga. Nih ya Pah, kalau Nifa target menikahnya umur 24 tahun. Lha, sekarang baru tujuh belas. Masih belum cocok Pah kalau menikah."

"Iya Papah tau. Tapi, ini demi kebaikan kamu juga, anak Papah terkasih... jadi, kalau ada apa-apa kamu punya mahram di sana. Papah juga rela melepaskan Kakak karena sudah ada yang bisa dipercaya."

"Memang siapa yang bisa Papah percayain untuk Nifa?," aku masih belum mengerti maksud dari perkataan Papah yang satu ini.

"Itu lah. Anak teman Papah."

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang