04 : Segenap Rasa

195 14 20
                                    

"Oh.....," Sunna ber-oh panjang usai mendengar penjelasanku tentang Alfin.

Dia mengangguk-angguk sambil masih menatap lamat-lamat foto Alfin yang ada instagram lelaki itu.

Sesuai permintaannya bukan? Sunna ingin kuceritakan detail dan kutampakkan sosok Alfin. Maka aku sudah memenuhinya.

"Udah!," kataku sambil merebut ponsel milikku dari tangannya. Dia mencibir karena ulahku.

"Nggak tertarik juga kok. Nggak perlu takut," ujarnya dengan nada mengejek.

"Siapa yang takut? Nggak ada tuh," balasku tak ingin kalah. Sunna lagi-lagi mencebikkan bibirnya. Dia memilih diam.

Saat ini kami sedang berada di sebuah masjid yang ada di daerah tempatku tinggal dan kami memilih duduk di rerumputan hijau pekarangan masjid tersebut.

"Jadi, kamu beneran suka dia? Kurma dong," celetuk Sunna setelah hening beberapa saat.

Aku mengerutkan alis mendengar kata kurma. Tidak ada sinkron-sinkronnya dengan obrolan yang sedang berlangsung.

Seolah tahu isi pikiranku, Sunna melanjutkan dengan santai, "Karma karma."

Wajahku mengendur seketika usai mendengar arti kata kurma barusan.

"Nggak ada istilah karma dalam islam. Cuma kebalik aja udah," aku tersenyum getir memikirkan kejadian dulu. Dimana dengan sombongnya aku menolak Alfin bahkan sudah pada tingkatan mengolok keseriusannya.

Aku pernah mendengar perkataan ini tapi entah dimana. Aku lupa, "Kalau ada yang menyatakan cinta itu .... terima atau tidak, bilangnya harus baik-baik. Jangan angkuh apalagi sampai menghina lelaki. Untung-untung kalau lelakinya baik. Nah, kalau dia main pelet, gimana?."

Menyeramkan? Atau menyedihkan?.

Huft...

Terlepas dari itu, aku tetap menyesal. Selain karena telah menolaknya tanpa filter dulu. Aku juga merasa bersalah karena sempat menghakimi Alfin. Tidak pantas sekali.

Padahal jelas-jelas dia lebih dewasa dariku. Keseriusannya tidak menutup kemungkinan akan ia wujudkan. Buktinya, ia selalu menyempatkan diri datang ke sekolahku saat jam pulang hanya untuk melihat seorang Nifa!.

Huft...!

"HANIFA...."

Aku terkesiap kaget saat Sunna menyebutkan namaku dengan nada beratnya tepat di daun telingaku.

"Bengong saja kamu," lanjutnya sarkas.

"Saya capek kultum, pemirsa. Dan kamu ... makasih yah," sambungnya lagi dengan raut tenang dan nada bicara persis seperti host pembawa berita yang ada di tv tv.

Aku tertawa menyaksikan Sunna yang seperti itu.

"Sorry ya sorry," kataku sambil menutup mulut dengan tangan agar tawaku tidak semakin lepas.

"Iya...," ucapan Sunna terputus dengan pandangannya yang terpaku ke suatu tempat.

Lantas kuikuti arah pusat perhatian Sunna saat ini.

Mataku membulat tidak sempurna. Dari jarak yang lumayan jauh, Azka dan Fani sedang berjalan. Tampaknya mereka sedang mencari tempat untuk duduk.

Serius! Aku terkejut melihat Fani yang sudah merata. Ralat, maksudku, perut Fani. Kemana perginya gundukan itu?.

"Fa Fa," kurasakan tangan Sunna menggoyang-goyangkan kakiku yang bersila.

Aku mengangguk sebagai respons. Kuyakin saat ini Sunna sedang sepemikiran denganku.

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang