13 : Maaf

155 13 4
                                    

Author's note :
Sebelumnya mau bilang, hati2 baca part ini. Jangan salah fokus...😊

***

"Tadi ngapain dekat-dekat sama cowok?."

Pertanyaan itu kudapati saat akan menduduki bangku di meja makan yang berhadapan dengan Azka.

Dia menatapku penuh intimidasi.

"Nggak ngapain-ngapain," jawabku tak acuh sambil menyendokkan nasi ke dalam piring yang akan menjadi tempat makanku malam ini.

"Kenapa? Ada masalah?," lanjutku lagi karena melihatnya diam.

"Sadar nggak sih kamu? Mau sampai kapan keberadaanku sebagai suami kamu tutupi terus kayak gini?."

Kunyahan di mulutku perlahan terhenti dan mataku pun turut bergulir ke arahnya.

"Hm? Terus?," balasku.

Sudah pernah kukatakan sejak awal, bukan?

Jangan harap aku mau mewujudkan statusku sebagai istri untuk mematuhi suami. Ini semua kulakukan hanya demi Papah. Aku tidak ingin mematahkan harapannya pasal perjodohan itu!

Tak peduli jika orang menyebutku labil. Atau semacam sebutan tak enak lainnya. Aku hanya ingin menuruti kata hatiku. Murni seperti apa yang aku rasakan. Walau dengan cara yang salah sekali pun.

Rasanya tidak ingin pernikahan ini awet. Untuk apa? Aku sama sekali tidak menaruh cinta pada lelaki itu.

Sekelabat kisah tentang Fani masih menari-nari riang di otakku.

Aku berharap suatu saat Azka dapat menikahi Fani. Tidak denganku ataupun orang lain.

Aku bersuara lantang saat Azka menarik paksa diriku usai ia berkata, "Abis sudah kesabaranku lama-lama sama kamu, Nifa."

"Lepasin nggak, hah!? Kamu siapa berani-."

Ucapanku terpotong dan berganti dengan ringisan kesakitan ketika lelaki yang tingkatan kebencianku padanya makin meningkat ini, mendorong tubuhku ke tembok setelah dia berhasil membawaku ke kamarnya.

"Aku udah sabar menghadapi sikap kamu yang kelewatan itu, Nifa. Aku sabar tunggu kamu untuk menerima aku apa adanya. Tapi, apa? Dua tahun pernikahan kita sudah berjalan, bahkan bentar lagi sudah masuk tahun ketiga. Tapi, kamu masih betah dengan sikapmu yang suka membengkang suami..." ujarnya dalam satu tarikan napas.

Wajahnya sangat dekat. Dia mengurungku dengan kedua tangan yang ia tumpukan ke tembok di balik tubuhku.

Hanya tinggal lima senti saja dan jika jarak itu terhapus maka habis lah aku.

Lantas, kubalas semua kalimatnya dengan menghujami tatapan tajam.

"Jadi, boleh kan sekarang aku minta kesediaan kamu untuk menjadi istri yang utuh? Malam ini saja."

Aku ingin muntah mendengarnya.

"Nggak! Nggak akan pernah dan jangan harap! Minggir!!!," aku memberontak di dalam kurungannya dengan berusaha melepaskan lengan yang lebih berat itu dari kedua sisi tubuhku.

Tanganku memukul-mukul dadanya kala ia dengan berani 'menyentuhku'.

Lelaki yang semakin enggan kusebut namanya itu mencuri ciuman pertamaku.

Ingin kutendang kuat-kuat rasanya dia didetik ini.

Tak henti tanganku terus memukul dadanya kencang. Dan semakin kencang ketika oksigen di dalam sirkulasi pernapasanku terkuras disebabkan oleh tindakan lancang tersebut.

Dan dia mulai menghentikan kegiatan kurang ajarnya saat melihatku yang susah bernapas.

"Bisa aku tuntut kamu kalau hal ini kembali terulang," jari telunjukku tepat mengarah di depan wajahnya dengan mata yang mendelik tajam.

Kalimat itu reflek terucap karena saking kesalnya aku.

Walau tidak ada hukum yang menyatakan jika seorang suami dinyatakan bersalah karena telah menjamah istrinya.

Namun, rasa kesal yang sudah mencapai ubun-ubun menutupi akal sehat yang dianugerahi Allah untuk berpikir realita.

Kutahu pasti akan ada perkataan yang keluar, "Hei, dia itu suamimu."

Aku tidak peduli.

***

Setelah kejadian semalam, sikap tidak acuhku pada lelaki itu semakin bertambah.

Dan aku mengangkat kaki keluar dari kamarnya dengan amarah yang berbuih-buih.

Syukur dia tidak bertindak lebih usai mendengar perkataan terakhir yang aku lontarkan.

"Eh, Key. Kayaknya ada yang mau samperin lo tuh," kulirik Izzah selaku pembicara lalu mengarahkan pandangan pada apa yang tengah menjadi objek perhatian kedua temanku itu.

Dari jarak yang beberapa meter, Azka berjalan dengan tangan yang memegang tengkuk begitu aku tatap.

"Siapa sih, Key? Kok kayaknya akrab banget kalian berdua," tutur Friska dan setelahnya Azka sampai di hadapan kami.

"Hai!," sapa Azka memasang tampang kikuk yang dibalas dengan hal serupa oleh kedua temanku. Sedetik kemudian dia beralih menatapku.

"Nifa. Bisa bicara sebentar?," dia bertanya namun telah lebih dulu hendak meraih tanganku sebelum mendengar jawaban dari orang yang ditanyai.

Tindakannya tersebut mendapat hindaran fisik sehingga ia tak kesampaian untuk meraih lenganku walau terbalut kain baju yang aku kenakan.

"Nifanya aku pinjem sebentar, ya," imbuhnya lagi.

"Bentar, ya," kataku pada Friska dan Izzah. Kemudian bangkit berdiri.

Aku berjalan di belakang Azka hingga kami sampai di ruangan berloker. Aku memberinya tatapan bertanya.

"Temanin aku ketemu Fani nanti," tuturnya.

"Apa?," ujarku seiring mata yang membola tak percaya. Namun, dengan cepat ekspresi itu dapat aku netralkan.

"Ada yang perlu aku omongin sama dia. Kamu tenang, dia bukan siapa-siapa.  Aku cuma pengin ngajak kamu aja."

Dia pikir aku tidak tau perihal insiden beberapa tahun silam itu.

"Kenapa musti aku? Teman kamu kan bisa. Nggak bisa. Aku sibuk!," balasku.

Padahal dari lubuk hati paling dalam aku juga ingin melihat langsung bagaimana hubungan yang terjalin di antara mereka. Walau mungkin sekarang ini sudah kandas.

"Cuma ini aku minta, Nifa. Plis, jangan marah lagi. Soal semalam aku minta maaf!," nadanya memelas sambil menatapku penuh harap.

Aku memutar bola mata malas karena kembali diingatkan perihal itu.

"Ya udah," tuturku.

"Apanya?," tanyanya dengan mata yang hampir berbinar.

"Ya itu. Ketemu Fani."

"Serius?."

"Hm."

Dia terkagum sebelum berkata, "Makasih istriku yang cantik."

"Udah lah. Mau balik."

Setelah mengatakan itu, aku pun berlalu meninggalkannya.


***









To be Continued....

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang