09 : Perpisahan

199 12 4
                                    

Walau kata sah sudah terucap, namun aku tetap ingin tinggal bersama Papah. Tidak ingin pisah mentang-mentang sudah nikah. Kali ini aku memohon untuk yang satu itu.

"Iya. Papah juga belum rela kamu pergi. Nanti, pasti ada masanya kalian boleh berdua terus kemana-mana," dan Papah pun punya alasannya sendiri mengapa aku diizinkan untuk tetap menetap di sini.

Namun sayang, kalimat terkahir Papah sama sekali tidak menambah kebahagiaan. Justru rasa muak yang  berkali lipat.

"Sudah gadis anak Papah..." Papah berujar khidmat sambil tersenyum hangat ke arahku.

"Sudah waktunya Papah melepaskan tanggung jawab ini ke suami kamu. Tapi, rasanya masih berat untuk merelakan itu. Jangan lupain Papah ya Kakak. Walau sesukses apa pun kamu, Papah tidak butuh materi apa pun dari anak Papah. Papah tidak mengharapkan apa pun kecuali ini dari Kakak. Papah cuma minta sama Kakak, lihat orang tua Kakak ini waktu dia sudah tua nanti..."

Mataku mulai dibayangi oleh air yang hendak mengalir. Jika saja aku berkedip, maka cairan bening ini akan luruh dengan mudahnya.

"Kakak, maafkan Papah kalau selama ini Papah pernah berkata yang menyakiti hati Kakak dan maafkan sikap Papah yang tidak enak di Kakak. Papah Kakak ini masih banyak kurangnya jadi orang tua," Papah menyengir yang menambah kelu ditenggorokanku.

Aku mendongak guna menahan air di mata agar tidak jadi mengalir. Setidaknya tidak jika sedang bersama Papah. Aku malu kalau ketahuan menangis.

"Nggak kok. Papah Nifa yang terbaik. Nifa sayang Papah," ya, aku sayang Papah. Kalau bukan karena itu, mustahil perjodohan ini dapat kuterima.

***

"Nifa... kita beneran bakal pisah," ujar Sunna setelah kami mendudukkan diri di bangku taman.

Aku terkekeh pelan, lalu berkata, "Yaa..," sambil mengangguk-angguk.

"Gimana eh sama mas suami?," tawa garing Sunna menyapa telinga.

Aku berdecak dengan kedua alis tertaut menatap Sunna. Pertanda tidak suka dengan pertanyaannya.

"Nah kan. No komen," katanya lagi ketika melihatku diam tak menjawab.

"Jadi besok take off nya bareng dia juga?," Sunna kembali bertanya. Dan aku masih enggan menjawab segala hal yang berkaitan tentang dia. Azka.

"Nifa! Kok kamu beda sih setelah nikah. Si Azka KDRT, yah?! Kelihatan lesu gitu kamu nya," sambung Sunna.

Kualihkan pandangan dari rumput dan menatap Sunna heran, "Apanya yang KDRT. Aku tinggal sama Papah kok."

Aku bangga mengatakan kalimat terkahir itu. Seolah sedang menegaskan bahwa aku belum terikat pada suatu hal apa pun. Masih anak Papah dan akan selalu begitu. Sekali pun dimata agama dan arsip negara namaku sudah tertera sebagai istri orang.

***

Hari dimana aku melepaskan segala hal yang berkaitan dengan kampung halamanku tiba.

Aceh, aku akan pergi meninggalkan segala hal yang ada di sini. Salah satunya adalah keluarga tercinta.

Papah. Tak berhenti air mata ini mengalir sejak menginjakkan kaki di bandara ketika melihat sosok Papah. Orang yang paling aku sayangi itu hanya sebatas pintu pesawat tertutup dapat aku lihat sebelum waktu yang panjang membentang di depan mata.

"Kakak, baik-baik di sana, ya," ujar Papah. Aku masih setia menyandarkan kepala di bahu Papah walau imbauan untuk segera menaiki maskapai sudah terdengar.

Ya Allah... berat sekali rasanya untuk mengangkat kaki dari sini.

Hatiku betul-betul hampa jika sudah berpisah dengan Papah. Aku tak sanggup bayangkan bagaimana hari-hariku tanpa ada sosok Papah.

"Papah. Papah ikut aja ya sama Nifa. Antarin Nifa," aku menelan saliva dengan sangat sulit agar suaraku tidak terdengar aneh. Walau sudah aneh karena berusaha meredam tangisan agar suaranya tidak terdengar.

Ketika Papah mulai berdiri aku pun ikut berdiri.

"Kakak... Nanti Papah nyusul ya kalau ada rezeki dan pekerjaan di sini sudah selesai," Papah memelukku erat dan suaranya terdengar bergetar.

Aku tidak menjawab melainkan menangis sejadi-jadinya. Sudah tidak sanggup untuk kutahan lagi. Tenggorkanku cukup kelu dengan semua ini.

Aku sesenggukan hingga bahu pun ikut bergetar.

Papah menarikku dari pelukannya dan memegang kedua bahuku seraya berkata, "Ada Ummi dan Abi Azka yang mewakili Papah untuk sekarang ini. Kakak tidak sendiri. Doa Papah selalu ada untuk anak Papah yang cantek rupawan ini."

Kulihat Papah, matanya sudah memerah. Namun masih bisa tersenyum.

"Titip salam Nifa untuk Ummi Hilya, Abi Azam, dan saudara lainnya ya, Pah," kataku tersendat-sendat karena masih sesenggukan.

Beginilah aku, tidak mudah mengeluarkan air mata. Tapi sekalinya menangis, akan susah untuk berhenti.

"Ayo," kata lelaki yang telah menyandang status sebagai suamiku. Tulang rusukku.

Tapi bolehkah aku berkata kalau sesungguhnya bukan imam seperti dia yang aku harapkan.

Dia bukan imamku.

***



To be Continued...

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang