20 : Konyol

331 12 8
                                    

Cobalah belajar untuk memahami perasaan orang lain. Setidaknya, dimengerti. Tak perlu dituruti. Karena itu sudah lebih dari cukup. Pahami.
-Bukan Imamku.

***

"Lho, kok balik?," tanyaku ketika melihat Alfin setelah ia bersedia mengantarkan Indri pulang. Namun tak sampai tiga puluh menit, lelaki itu muncul kembali seorang diri.

Tak elak menjadi pusat perhatian Azka dan Izzah saat ini.

"Iya. Katanya bisa pulang sendiri. Ya udah aku nggak bisa paksa," ujar Alfin dengan begitu lesunya.

Aku hanya dapat mengangguk pasrah sebagai respon. Ada baiknya juga hal ini terjadi, dengan begitu, Alfin dan Indri tidak sampai satu motor duduk berboncengan.

Bukan aku cemburu. Hanya saja takut mendatangkan laknat Allah karena usulanku yang tanpa pikir panjang itu, secara tak langsung menciptakan khalwat diantara mereka berdua. Hal ini kupelajari ketika masih di Aceh dulu. Dimana aku dan Sunna ke kajian bersama.

"Em-maaf. Tapi kenapa harus balik lagi ke sini ya? Kan bisa sekalian pulang, Bang," kutolehkan kepala begitu mendengar celetukan itu.

Azka dengan wajah merekahnya. Seolah hal yang dia katakan tadi sama sekali tidak berpotensi menyinggung perasaan lawan bicaranya.

Mendengar itu, sudut bibir Alfin tersungging sebelah. Dia tersenyum setengah hati.

"Memangnya kenapa ya? Saya kemari spontan karena teringat sama teman istri kamu."

Aku mengernyit oleh perkataan Alfin. Sementara Azka ber-oh dan mengangguk seolah mengerti.

Mengapa terasa sekali nada penekanan pada kata istri barusan? Apa dia sedang menyinggungku?

Argh, Alfin mampu membuatku terbelenggu oleh jeritan yang tak dapat menyuarakan rasanya.

Semakin disini, semakin aku ingin bersama Alfin.

Kalau saja dosa memiliki aroma, maka tak ada yang mau berteman denganku karena bau dari dosa-dosaku telah mengudara dengan bebas.

Pasal Izzah, dia sudah tidak heran lagi mendengar kata 'istri' yang terlontar. Aku sudah menjelaskan semuanya dengan diakhiri permintaan maafku karena sudah menutupi ini dari mereka. Teman-temanku.

***

S

atu minggu berlalu dengan begitu cepat. Waktu memang sering tak terasa. Aku menjalani hari-hari dengan adanya sedikit perubahan. Sifat pembangkangku telah berkurang, yah ... setidaknya begitu, bukan?.

Karena kupikir, ini adalah waktunya untuk  mengakhiri hubunganku dengan Azka. 

Aku mempunyai rencana lain. Sekalian sebagai bukti permintaan maaf atas apa yang selama ini aku lakukan terhadap Azka. Baik dari tutur kataku maupun tingkah laku yang tak seharusnya Azka terima selaku suami.

Tentang rencana yang satu ini, aku sudah membulatkan tekad untuk melakukannya.

Siang sepulang dari kampus, aku menelepon Alfin menyuruhnya menemuiku di salah satu kafetaria yang  berdekatan dengan gedung universitas. 

Tak butuh waktu lama menunggu kedatangannya. Alfin tiba setelah sepuluh menit terhitung aku menunggunya.

"Ada apa? Tumben kamu ajak kesini," kata Alfin memulai pembicaraan dengan mengedarkan pandangan.

"Aku boleh minta tolong sama Bang Alfin?," tanyaku.

Dia beralih menatapku.

"Minta tolong apa? To the point aja."

Aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya. Kugigit bibir bagian atas untuk menetralkan rasa gugup. Serta jari-jariku yang tak berhenti memilin ujung hijab, kupaksa pindah posisikan di atas meja agar rasa gugup ini sedikit tertutupi.

"Aku mau kamu pura-pura jadi...," argh, aku tak sampai hati melanjutkan kalimat yang sudah kurancang itu. Keberanian pun bermodalkan seujung jari. Lalu apa yang bisa kuandalkan?

"Jadi apa?," nada Alfin terdengar semakin mendesak.

"Jadi...," jeda mendadak. Aku menatap Alfin kikuk, "jadi selingkuhan aku. Tapi ini cuma pura-pura, kok, serius! Setel-."

"Aku memang pernah berharap sama kamu, Nifa. Tapi, nggak gini juga cara kamu ke aku. Kenapa harus pura-pura? Dan apa tadi ... selingkuh?," dia mendengus, "maaf. Aku masih punya harga diri dan nggak mau merendahkan."

"Siapa yang kamu rendahkan? Disini nggak ada yang merendahkan ataupun direndahkan. Aku nggak merasa kamu rendahkan. Ini murni karena aku butuh bantuan Bang Alfin..."

"Kamu sudah bersuami, Nifa. Masih ingat suamimu, 'kan? Atas dasar apa sih kamu minta ini ke aku?," keningnya berkerut dalam dengan tatapan bak elang.

"Bang Alfin nggak akan ngerti..." Aku tertunduk. Hatiku serasa tercubit oleh perkataannya.

Tak lama, hela napas pun terdengar yang berasal dari orang di hadapanku.

"Kenapa nggak coba cerita? Kalo begini, aku nggak ada alasan untuk nolongin kamu," suaranya mulai melembut.

Kuangkat pandangan dan menatapnya. Aku menggeleng, "Belum saatnya aku cerita."

Kali ini giliran dia yang tertunduk.

"Maaf. Aku nggak bisa," katanya yang hendak bangkit namun dengan cepat kucegah.

"Pliss. Tolongin aku untuk yang satu ini aja. Ya ya?," aku mendongak demi melihatnya.

"Nifa..."

Entah bagaimana, pada akhirnya, Alfin luluh. Kepura-puraan di antara kamk mempunyai syarat tertentu. Salah satunya ialah; menjauh tiga langkah ketika di belakang Azka.

Karena rencana ini memang untuk menjauhkan Azka dariku. Di depannya, aku harus berlagak manis dengan Alfin.

Maafkan aku. Kujamin setelah ini, dia dapat menikahi Fani dengan mudah tanpa susah payah melepaskan aku, perempuan  tidak tahu diri.

Padahal kutahu ini tak dapat dibenarkan. Apapun alasannya.

Namun, hanya kata maaf yang dapat kuucap.

Maafkan aku.



***


To be Continued...


A.n:
Gimana puasanya?

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang