02 : Lamaran tak Terduga

267 25 23
                                    

"Papah mana, Kak Nifa?," tanya Abi Azam setelah aku membukakan pintu untuknya.

"Ada, Bi. Di kamarnya. Bentar, ya, biar Nifa panggilin," aku membalik badan dan melangkah menuju kamar papah.

"Rakha," panggil Abi Azam ketika melihat kedatangan papah. Tak sengaja mataku menangkap Abi Azam yang melempar kode pada papah menggunakan mata, kepala dan jempolnya. Seolah hal yang akan ia katakan sangat lah privasi hingga tak boleh siapa pun mendengarnya.

Aku tiba di kamar. Dan memilih duduk di kursi meja belajar.

Ting!

Denting pesan yang masuk dari ponsel terdengar nyaring. Aku tak ingin dulu menggubris. Lantas tanganku mulai melukis catatan dengan stationary haul koleksiku.

Latering memang suatu hobi bagiku sejak pertama kali menginjak bangku sekolah menengah atas. Selain nilai estetika nya yang bagus, dengan lattering aku jadi semangat mencatat.

Aku bangkit dari duduk dan berniat mengecek ponsel yang tergeletak di atas ranjang.

Banyak notifikasi yang masuk. Namun, hanya satu yang menarik perhatianku hingga tanpa sadar jariku menyentuh panel notifikasi tersebut.

+62-831-8585-12xx
Assalamualaikum ukhty.

Waalaikumsalam.

Keningku mengkerut saat mengirimkannya. Display name nya tak menyatakan nama si pengguna melainkan hanya terpampang emot senyum di sana.

Aku merebahkan diri ke atas kasur empuk kesayangan. Dia bisa memanjakanku lebih dari yang lain. Terlebih saat hari-hari libur. Aku jadi banyak rebahan. Seolah kasurku ini magnet yang dapat dengan mudah menarikku untuk selalu berdekatan dengannya.

Kebiasaan yang satu ini sangat ingin kumusnahkan sebenarnya. Kebanyakan tidur dan rebahan atau sebutan sejenisnya, sangat tidak baik. Harusnya waktu yang luang dapat digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat, bukan? Seperti pergi ke majelis ta'lim.

Ditambah, waktu luang berpotensi melalaikan. Seperti nasehat yang pernah ku baca ini;

Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya, yaitu; waktu sehat dan waktu luang.

Aku tertohok sekali saat membacanya.

Waktu luangku kebanyakan diisi oleh rebahan, main hp, dan membaca novel. Mungkin karena itu aku menjadi pribadi yang ... antisosial? Jujur, aku tidak suka dikatakan seperti itu. Iyan sering menyebutku dengan panggilan itu. Katanya aku ini nolep.

Dari pada nolep, akan lebih intelektual jika dia menyebutku introvert. Aku pun tak keberatan, karena ku akui, ketenangan selalu menyapa saat aku sedang sendiri. Aku tak suka disebut antisosial! Aku hanya selektif sosial.

Ting!

Dari nomor yang beberapa saat lalu ku balas pesannya.

+62-831-8585-12xx
Saya sudah lama mengagumi ukhty,
bolehkah saya mengajak
ukhty untuk bertaaruf?
Saya tahu ukhty masih sekolah,
tapi bisakah saya menunggu ukhty
sampai lulus sekolah?.

Badanku tegak seketika saat membaca pesannya itu dengan mata membelalak dan membulat sempurna.

Maaf
Tapi ini siapa ya?

Aku mengembus napas singkat usai mengirimkan balasan.

Siapa dia? Dan ... dari mana dia mendapat nomor hp yang bagiku sangat lah pribadi. Hanya orang terdekat saja yang bisa memilikinya.

Rasa ingin tahuku memberontak bangkit. Aku kembali melihat display name nomor itu dan sekarang tergantikan oleh nama Azka.

Mataku yang cekung lagi-lagi membesar hingga tampak seperti pelototan. Bagaimana tidak? Aku terkejut bukan main! Dia ... berani sekali!

Tidak ingatkah dia akan insiden yang pernah diperbuatnya beberapa bulan lalu terhadap Fani? Kenapa sekarang berani sekali dia menyatakan lamaran tak langsung itu kepada perempuan lain?!

Bagaimana nasib Fani saat ini? Aku jadi ingin menjenguknya. Walau pun aku tak begitu dekat dengan Fani dikarenakan kelas kami berbeda. Tapi, untuk sekadar melempar senyum saat tak sengaja bertemu pernah kulakukan. Terlebih kami pernah satu kelas di tahun pertama menduduki bangku SMA.

Lama kutunggu pesan darinya sebelum aku naik darah saat pesan balasan itu kembali muncul dan aku  membacanya setelah menunggu satu setengah jam dengan rasa penasaran yang menggerogoti.

"Tunggu aja nanti pas ketemu," kataku dengan perasaan kesal yang hampir mencapai ubun-ubun. Ponsel pintar yang sedari tadi bertengger di tangan kucampak begitu saja ke sisi samping.

Aku memilih keluar dari kamar dengan tujuan hanya satu, mencari keberadaan lemari es untuk ku geledah isinya berharap mendapatkan cemilan yang enak dimakan.

**

To be Continued...

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang