05 : Heartburning

151 14 1
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Cut Likaila Hanifa dengan...."

Kutelan saliva dengan susah payah.

Aku terbangun dengan posisi yang langsung terduduk. Keringat dingin membasahi kening beserta tengkuk leherku.

Mimpi macam apa itu?.

Kenapa ada Alfin di situ?.

Apa dia sedang melakukan ijab qabul dimimpiku barusan?.

Saking seringnya aku memikirkan dia, sampai-sampai terbawa ke alam mimpi. Menyusahkan sekali untuk perasaanku.

Aku mengalihkan pandangan pada jam weker di atas nakas. Pukul 03.30. Waktu yang tepat untuk berdoa menembus langsung ke 'Arsy Allah.

Apakah begini cara Allah membangunkanku untuk berkeluh kesah pada-Nya?.

MasyaAllah.

Walau aku jarang mendirikan tahajjud. Tapi, jika sudah dibangunkan begini oleh Allah, siapa yang bisa menolak untuk melakukan kesempatan emas semacam ini?.

Ketika melewati kamar Papah usai berwudhu, tak sengaja indera pendengarku menangkap suara yang berasal dari dalam sana.

Penasaran, lantas kucoba tempelkan telinga ke daun pintu kamar Papah agar dapat dengan jelas saat sedang mendengarkan.

"Andaikan kamu masih di sini. Kita bisa sama-sama mendidik Nifa. Buah hati kita yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Wajahnya persis seperti kamu, Na. Terkadang, kalau melihat Nifa, aku pikir dia itu kamu. Sampai lupa..."

Papah terkekeh. Namun, terdapat nada pilu ditiap kata-katanya.

"Kalau dulu aku pilih kamu saja yang bisa bertahan hidup, mungkin kita nggak bakal punya satu, dua, atau mungkin lima keturunan lagi karena sudah tega membiarkan darah daging sendiri direnggut maut sebelum waktunya..."

"Ya Allah, titip doa untuk istriku tercinta..."

Mulai terdengar isakan dan sedikit jeda.

"Rasanya baru saja cinta itu tumbuh. Tapi ... aku rindu yaAllah. Titipkan rindu ini untuk wanitaku, pelengkap imanku di bumi-Mu yang luas ini."

Selanjutnya, hanya keheningan yang dapat ditangkap oleh inderaku.

Aku berjalan dengan kepala tertunduk.

Hatiku mencelos karena kalimat-kalimat Papah.

Seperti ada yang lolos entah kemana dan apa pun itu.

Ingin menangis namun tidak bisa karena bukan aku yang merasakan kejadian yang tampak memilukan itu.

Andai dulu bisa berbicara. Mungkin akan kutunjuk agar Mamah saja yang dapat bertahan hidup. Biar aku yang kembali menghadap Allah.

Tapi, mau bagaimana pun. Aku tetap tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu. Terlebih semuanya sudah Allah tetapkan.

Jadi aku hanya bisa diam, menerima, dan berdoa.

Dan satu, aku tak tahu bagaimana perjalanan kisah cinta kedua orang tuaku.

***

Aku dan Sunna kembali melakukan kegiatan keliling kampung. Tidak juga sebenernya. Hanya berkeliling sesaat lalu mencari spot ternyaman yang akan kami gunakan sebagai tempat duduk pada sore hari ini.

Banyak hal yang kami bicarakan yang diselingi dengan canda dan tawa. Sampai Sunna mengubah nada bicaranya menjadi serius sewaktu memanggilku. Dan aku pun otomatis terbawa arus serius karenanya.

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang