18 : Pengakuan

217 13 6
                                    

"Itu sandwich nya dimakan aja. Aku buat lebih," kataku usai berbenah di meja makan dan hendak bangkit ketika melihat kemunculan Azka.

"Tumben kamu ... mau bikinin sarapan buat aku," jawabnya sambil menarik bangku meja makan untuk diduduki.

"Ya ... makan aja," responsku lagi sambil berlalu ke teras rumah.

Bukan tidak betah berdiam diri di dalam, namun aku merasa canggung hanya berdua dengan Azka. Apalagi hari ini minggu. Dia pun libur bekerja.

Ditambah perdebatan kami kemarin. Hal tersebut lah yang mendorongku mau membuatkannya sarapan. Yah, walau sepotong roti dan sayur sekalipun. Hitung-hitung modal permintaan maafku untuknya.

"Nifa," kutolehkan kepala begitu mendengar panggilan tersebut.

"Apa?," tanyaku sambil melihat Azka yang berdiri di ujung pintu. Sementara aku duduk di bangku teras hingga ketika mendongak, sinar matahari langsung menyorot tepat ke wajahku.

Kukerutkan alis mendapati Azka yang hanya diam tidak merespons dengan tatapan terpaku padaku.

"Apa sih?," lantas kupalingkan wajah darinya dan kembali melihat ke depan dimana tersaji penghijauan di seberang jalan sana.

"Kan cantiknya hilang. Galak sih!," Azka mulai berjalan dan duduk di sampingku.

Aku hanya bergumam, "Apaan!," sambil sekilas meliriknya.

Dia terkekeh. Aku kembali menoleh ke arahnya dengan tatapan aneh.

"Lucu deh kamu," ujarnya lagi.

Bipolar ya dia? Padahal semalam aku sudah membuatnya sakit hati. Namun, pagi ini seperti tidak terjadi apa-apa lagi dengannya.

"Hehe makasih," balasku dengan cengiran terpaksa. Lalu, mengerling malas.

"Sama-sama."

"Ada apa manggil-manggil?," tanyaku tanpa menoleh.

"Nggak ada. Cuma pengin panggil aja. Emang nggak boleh ya panggil istri sendiri?."

Aku ber-oh sambil mengendikkan kedua bahu, "Mana tau ada yang penting."

"Menurut kamu ... cinta itu apa?."

Kepalaku seketika tertoleh. Merasa aneh dengan pertanyaan tersebut. Musti ya dia menanyakan itu padaku. Kenapa tidak cari tahu langsung di KBBI saja!.

"Nggak tau. Buka kamus aja coba."

"Cinta itu ... bentar. Sekarang coba kamu hitungin bulan," ujarnya sudah selayak titah.

"Mana bisa! Sejak kapan bulan ada dipagi hari?," sanggahku.

"Nah. Begitu lah cinta. Dia nggak dapat dikuantitaskan. Cuma bisa dilihat dari segi kualitasnya."

"...kamu tau nggak?."

"Ya iya lah! Kalau dikuantitaskan berarti nggak cinta. Mana ada orang yang itung-itungan sama pasangannya sendiri," pungkasku.

"Ada," sahutnya.

Aku menoleh untuk meliriknya, "Ada. Tapi, jarang."

Dia tertunduk sambil tersenyum. Tak lama hela napasnya terdengar sampai ke telingaku.

"Jalan yuk," ajaknya setelah tenggelam dalam diam selama lima detik.

"Hm? Kemana?," aku bergumam sambil menaikkan alis.

"Kemana pun. Asal perginya sama kamu."

"Garing," balasku.

Walau tak dapat kupungkiri, kedua sudut bibirku ikut bergetar karena berusaha menahan senyum.

Bukan Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang