🐢 Duapuluhlima 🐢

6.3K 785 9
                                    

"Kamu kenapa sih, mas? Kok dua hari belakangan ini kamu keliatan nggak tenang gitu? Lagi ada masalah di kerjaan atau ada masalah yang menyangkut aku dan Jovan, sampai kamu seringkali nggak fokus tiap kali aku ngomong sama kamu?"

Haikal yang semula masih memperhatikan daerah sekitar sekolah Jovan dari dalam mobilnya seketika menoleh usai mendengar rentetan pertanyaan dari wanita cantik yang duduk di sampingnya itu.

Setelah menatap Fifi, wajah Haikal langsung dipenuhi dengan ekspresi bersalah kalau melihat kekesalan yang terpancar jelas di kedua bola mata jernih yang selalu ia kagumi itu. Andai pikirannya saat ini tidak sedang dipenuhi dengan kecemasan, Haikal pasti akan menatap sepasang mata itu untuk waktu yang lama dan menyuarakan kekagumannya.

Namun, hal tersebut dengan terpaksa tak bisa Haikal lakukan. Sebagai gantinya ia segera menghela napas dan berkata, "Maaf Fi, banyak hal yang sedang aku pikirkan saat ini. Jadinya tanpa sadar aku sering mengabaikan keberadaan kamu di sampingku."

"Memangnya apa sih hal yang sudah membuat fokus kamu sering teralihkan itu, mas? Kalau emang masalah itu menyangkut aku dan Jovan, sebaiknya dibicarakan saja denganku, biar kita bisa sama-sama cari solusinya."

"Yang sedang aku pikirkan itu nggak ada sangkut pautnya dengan kalian kok." sangkal Haikal dengan tetap berusaha bersikap tenang agar keresahan dalam hatinya tak tercermin melalui tatapannya.

"Kamu nggak lagi ngebohongin aku, 'kan?"

Haikal segera mengacungkan jari tengah dan telunjuknya seraya berkata, "Suer deh, Fi, semuanya nggak ada hubungannya dengan kalian."

                                                                        
Tentu saja Fifi tidak bisa langsung mempercayai perkataan Haikal. Biar sepintar apapun pria itu mencoba untuk menutupi entah masalah apa yang meresahkannya, Fifi bisa merasakan bahwa ada masalah besar yang sedang dipikirkan oleh ayah dari anaknya itu.

Yang menjadi permasalahannya, Fifi sudah mencoba menggali isi hati Haikal, namun pria itu masih kekeuh bertahan dan tak membiarkan ia mengetahui apa masalah yang sedang memenuhi kepalanya itu.

"Ibuknya Jovan, jangan dikerutin gitu dong keningnya. Ntar kamunya jadi jelek dan Jovan bisa nangis karena ngeliat ibuknya nggak cantik lagi."

Lelucon yang terdengar garing tersebut membuat Fifi mendengus karenanya. Namun tak ayal beberapa detik kemudian bibirnya mengukir senyum seraya matanya memindai lingkungan sekolah Jovan yang mulai terlihat sepi dan tak lagi dipenuhi dengan anak-anak yang berbondong-bondong memasuki gerbang sekolah.

"Mau sampai kapan kita di sini, mas?" tanya Fifi saat matanya kembali memandang wajah yang tetap terlihat menawan di matanya meski si pemilik wajah tak lagi muda. "Nggak mungkin 'kan kita tetap nunggu di sini sampai Jovan pulang?"

Tak kentara Haikal menghela napas napas usai mendengar perkataan Fifi. Rasa cemas yang ia rasakan selama dua hari belakangan ini membuat Haikal selalu bersikap tak seperti biasanya. Bahkan terkadang Haikal memiliki pemikiran untuk selalu berada di samping Fifi dan Jovan selama 24 jam penuh. Sehingga, ia bisa terus menjaga dua orang terkasih itu dan memastikan tidak hal buruk yang bisa menyakiti mereka.

Akan tetapi hal tersebut tentu tidak akan bisa Haikal lakukan, mengingat bahwa saat ini hubungan antara dirinya dan Fifi tak lebih hanyalah sebagai orang tua dari Jovan saja.

Fakta tersebut tentunya membuat Haikal tak berdaya. Yang lebih membuatnya nelangsa adalah Haikal bahkan tak berani hanya untuk sekadar menggengam tangan halus milik wanitanya yang pastinya akan langsung mendelik jika Haikal berani sedikit saja memangkas jarak diantara mereka.

Sejatinya Cinta [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang