🐢 Enambelas 🐢

6.9K 900 24
                                    

Fifi sudah memperkirakan bahwa situasi seperti ini cepat ataupun lambat akan ia hadapi. Situasi dimana ia harus duduk saling berhadap-hadapan dengan sosok yang dulu ia harapkan bisa memberikan tempat perlindungan yang nyaman di saat ia sedang terpuruk walau yang ia dapatkan justru sebaliknya.

Tapi, yang tidak Fifi duga ialah mengapa mereka harus bertemu di tempat dimana ada beberapa bawahannya yang sejak kedatangan wanita paruh baya yang sudah melahirkannya itu terus menatap penuh tanya ke arahnya.

Ditambah lagi pintu ruang kerjanya yang terbuat dari kaca membuat apapun yang sedang terjadi di dalam ruangan yang didominasi dengan warna biru tersebut dapat dilihat dengan jelas oleh siapapun yang berada di luar sana. Hal itu juga yang membuat Fifi sedari tadi terus menjaga ekspresinya agar tak semakin mengundang banyak pertanyaan dari orang-orang yang tidak mengetahui apa pun mengenai dirinya.

"Maafkan ibuk, nak, karena terpaksa nemuin kamu di sini." Sukma memandang penuh kerinduan kepada buah hati yang tak pernah sekali pun tersenyum padanya sejak pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya mereka tak bertemu. Ada rasa sakit dalam hatinya melihat tatapan mata Fifi yang tidak lagi sehangat dulu.

Yang bisa Sukma lihat saat ini hanyalah wajah tanpa ekspresi yang dibalut dengan make up tipis yang membuat wajah cantik tersebut semakin bertambah cantik.

"Ibuk terpaksa datang ke sini karena setiap ibu datang ke rumah kamu, kamunya selalu nggak ada." kembali Sukma berbicara saat tak mendapat tanggapan dari wanita muda yang dari segi penampilan sudah sangat jauh berubah dari yang pernah diingatnya itu.

"Sudah terlanjur juga, jadi ibuk tidak perlu lagi meminta maaf." jawab Fifi datar. Bertahun-tahun tak saling bertegur sapa membuat Fifi tidak tahu harus bagaimana memperlakukan wanita yang menorehkan luka paling besar dalam hatinya.

Fifi tahu, dosa besar baginya jika memendam benci ataupun marah kepada sosok yang telah sangat berjasa menghadirkan ia ke dunia itu. Namun, Fifi juga hanyalah manusia biasa yang meskipun berusaha ia enyahkan, rasa kecewa yang tersemat dalam dada masih begitu kokoh bertahan di sana.

                                                                        
"Dan ibuk juga terpaksa nggak ngizinin bapakmu ikut. Soalnya ibuk tau, kalau kami datang berdua menemuimu, maka kamu pasti ngerasa nggak nyaman berhadapan dengan kami."

Kalimat yang diucapkan dengan nada suara lirih tersebut membuat Fifi langsung menghela napas perlahan. Bukan karena lega mendengar sosok ayah yang tak pernah sekali pun mengusap puncak kepalanya itu tak datang menemuinya, melainkan Fifi tak sampai hati melihat ekspresi bersalah yang tergurat jelas di wajah wanita yang telah mengecewakannya itu.

Sungguh, sejahat-jahatnya kedua orang tuanya dulu memperlakukan dirinya, Fifi tetap tak bisa melakukan hal yang sama demi membalas perbuatan mereka. Marah dan kecewa sudah pasti ia rasakan. Akan tetapi, hanya sebatas itu saja. Tidak ada sedikitpun niat untuk melampiaskan amarahnya melalui tindakan yang sekiranya dapat menumpahkan air mata di pipi yang telah mengeriput tersebut.

"Kalau emang kamu masih belum mau ngomong sama ibuk, ibuk bisa pulang dulu. Nanti, saat hatimu sudah bisa memaafkan kami, ibuk akan dat... "

"Ibuk tau alamat tempat kerjaku dari siapa?" Fifi menyela tanpa bermaksud kurang ajar. Ia hanya tidak ingin membuat ibu kandungnya itu meneruskan kalimat yang diucapkan dengan nada yang semakin melirih tersebut.

"Abang kamu." jawab Sukma cepat. Harapan kembali menyala di kedua kelopak matanya kala sang buah hati akhirnya mau bersuara.

"Trus, ibuk ke sini naik apa? Bang Fikarnya ngantarin ibuk, 'kan?" tanya Fifi begitu ritme napas yang ia ambil mulai teratur. Butuh banyak sekali pengendalian diri agar suaranya terdengar biasa saja.

Sejatinya Cinta [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang