🐢 Delapanbelas 🐢

7K 954 39
                                    

Hari-hari kembali berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa sudah satu minggu berlalu dari semenjak pembicaraan yang di akhiri dengan kalimat membingungkan yang diucapkan oleh Haikal, pria yang akhir-akhir tak mau juga pergi dari pikiran Fifi.

Meski terdengar biasa saja karena diucapkan oleh pria setua ayah kandung Jovan itu, Fifi tak bisa mengenyahkannya dari kepalanya. Serasa ada yang mengganjal. Seolah-olah ada pesan tersirat yang hendak disampaikan padanya.

"Ngelamunin apa sih, Fi? Soalnya ada ibu-ibu hamil yang mau curhat tapi malah dianggurin."

Dumelan bernada kesal tersebut membuat Fifi mau tak mau harus memaksa dirinya untuk sejenak melupakan masalah yang kini tengah menjadi buah pemikirannya. Saat menoleh ke arah depan, Fifi hanya bisa tersenyum simpul saat mendapati wajah Maudy yang merengut kesal karena sempat diacuhkan olehnya.

"Kalau tau bakal dianggurin kayak obat nyamuk gini, mending aku ngejagain mas Ryan aja di kantor. Biar nggak ada lagi perempuan-perempuan genit yang godain dia." lagi Maudy mengutarakan kekesalannya. Wanita muda yang juga sedang hamil muda itu bahkan tak malu mencebikkan bibirnya sebagai bentuk protes atas sikap mengesalkan sahabatnya itu.

"Iya deh aku minta maaf." tulus Fifi berucap. Ia yang mengetahui mengenai hormon wanita yang sedang hamil memilih untuk lebih banyak mengalah. Toh tidak ada salahnya untuk menjaga moodnya Maudy agar tetap terkendali. "Aku janji, akan jadi pendengar yang baik buatmu. Sekarang, coba kamu ceritain apa masalah kamu."

"Udah nggak mood lagi buat curhat sama kamu. Abisnya kamu ngeselin banget jadi orang." ketus Maudy menjawab seraya memalingkan wajah, enggan menatap dirinya.

                                                                  
Fifi kemudian terkikik kecil melihat tingkah Maudy yang hampir sama seperti Jovan saat sedang merajuk padanya. Anaknya itu pasti akan menolak berbicara dan tak mau melihat ke arahnya.

Sering kali Fifi bertanya-tanya, bagaimana caranya suami Maudy bisa begitu sabar menghadapi sikap Maudy yang manja dan keras kepalanya yang semakin bertambah seiring dengan usia kehamilannya?Fifi meyakini pasti dibutuhkan kesabaran ekstra agar emosinya tetap terkendali.

"Jangan ketawa deh, Fi, kalau nggak mau aku semakin marah sama kamu."

"Soalnya kamu lucu, Dy. Aku jadi ngeliat Jovan pas kamu ngambek kayak gitu."

Bibir Maudy semakin cemberut mendengar ucapan Fifi yang menyamakan dirinya dengan anak yang belum genap berusia enam tahun. Wanita hamil yang seringkali sensitif bahkan untuk hal yang paling kecil itu menyedekapkan kedua tangannya di dada, lalu kemudian berkata dengan kalimat yang semakin menunjukkan sisi kekanak-kanakannya, "Liat aja, pas nanti mas Ryan jemput aku di sini nanti, aku bakalan aduin kamu sama dia. Biar kamu tau rasa dimarahin sama dia."

Dengan sengaja Fifi menghembuskan napasnya keras-keras. Sifat kekanakan Maudy yang dulu memang sudah ada makin bertambah berkali-kali lipat semenjak sahabatnya itu hamil. Meski terkadang terlihat lucu, namun tak jarang juga Fifi merasa kesal dibuatnya.

Bayangkan saja, bagaimana seorang wanita yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai seorang ibu itu bisa bertingkah seperti anak kecil yang kalah dalam perdebatan, sehingga mengancam akan mengadu kepada orang tuanya.

Jika Maudy sudah bersikap seperti ini, Fifi ingin sekali berteriak dan menanyakan kepada pria yang telah menikahi sahabatnya yang super manja mengenai berapa banyak kesabaran yang pria itu miliki sehingga begitu sabar menghadapi Maudy di masa-masa kehamilannya yang selalu menguras emosinya itu?

"Nggak usah nanya mas Ryan, soal gimana dia bisa sabar ngadapin aku. Kamu tanya gimana pun juga, jawaban dia pasti cuma senyum sambil bilang udah cinta mati sama aku."

Sejatinya Cinta [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang