🐢 Sebelas 🐢

10.3K 1.1K 98
                                    

"Berani sekali anda menampakan lagi muka anda di sini." dengan ketus Fifi mengucapkan kalimat untuk pria tua yang dengan santainya duduk di bangku yang terletak di luar pagar sekolahnya Jovan.

Saat melintasi tempat ini tadi, awalnya Fifi tidak terlalu memperhatikan sekitar. Tujuannya hanyalah ingin segera masuk ke dalam lingkungan sekolah karena ingin membicarakan sesuatu hal dengan gurunya Jovan. Namun, wajah tak asing pria yang duduk sambil mengutak-atik ponselnya itu tentu saja mengganggunya.

Sehingga, begitu Fifi bisa mengenali orang yang wajahnya tak berubah sedikitpun dari terakhir kali mereka bertemu beberapa tahun yang lalu itupun membuatnya dengan terpaksa harus menghampirinya.

"Ingin bertemu dengan anak sendiri, apakah itu salah?" tanya Haikal balik dengan santainya.

Apa yang ditanyakan oleh pria pengganggu ketenangannya tersebut membuat mata Fifi membelalak. Napasnya berdiri kencang, sedangkan amarah bergumul dalam dadanya. "Jangan sekali-kali anda berani mengakui hal yang tidak seharusnya anda akui. Lihatlah diri anda dan tanyakan, apakah sudah setua ini, anda masih pantas bersikap tidak tau malu layaknya anak muda?"

Pertanyaan yang terang-terangan terdengar mengejek itu sama sekali tidak membuat Haikal tersinggung. Sebaliknya ia justru tersenyum saat harus mendongak demi menatap wajah garang seorang wanita yang seakan siap mengajaknya berperang itu.

Hah... tanpa sadar Haikal mendesah dalam hati. Betapa bodohnya ia dulu karena telah melepaskan sesosok bidadari dalam hidupnya hanya demi yang namanya kasih sayang juga kepatuhan. Andai saja waktu bisa diputar kembali, pasti Haikal bisa melewati hari-harinya dalam canda dan tawa, bukannya malah harus bersusah payah begini untuk mencairkan hati wanitanya itu yang membeku.

Salahnya memang karena tidak bisa bersikap tegas. Namun menyalahkan diri sendiri terus menerus juga tidak ada gunanya. Karena itu yang bisa dilakukan Haikal saat ini hanyalah terus berjuang untuk bisa memiliki Fia-nya kembali.

                                                                       
"Kenapa anda melihat saya seperti itu?" sergah Fifi karena risih dipandangi dengan intens oleh pria yang ingin sekali ditenggelamkannya hingga ke dasar lautan.

"Kamu makin cantik aja, Fi." Haikal membalas dengan santai sikap formal wanita yang tengah melotot usai mendengar kata-katanya barusan. Meski tahu jika wanitanya itu sedang menahan marah terhadapnya, Haikal yang sudah memutuskan untuk membuang jauh urat malunya berkata, "Beda banget ya, dari terakhir kali kita ketemu. Waktu itu rambut kamu masih dikuncir ekor kuda dan penampilan kamu kayak perempuan desa yang lugu dan polos. Mengingat lagi betapa manisnya kamu dulu, aku jadi pengen kembali ke masa lalu."

"Perempuan bodoh yang anda bicarakan itu sudah lama mati." dingin Fifi menanggapi perkataan pria yang seenaknya saja mengungkit masa lalu itu. "Lagi pula, kalau anda memang ingin kembali ke masa lalu, sebaiknya anda segera memeriksakan diri anda ke ahli kejiwaan. Siapa tau anda sebenarnya harus dirawat di rumah sakit jiwa karena pemikiran anda yang sangat tidak masuk akal itu."

Haikal meringis mendengar ucapan Fifi yang terdengar cukup sadis di telinganya itu. Perubahan Fia-nya yang dari gadis sederhana yang super polos serta lugu menjadi wanita dewasa namun bermulut pedas dan berhati dingin, walau masih sama-sama cantik, semua itu terjadi karena kesalahannya.

Tanpa dibilang pun Haikal sadar akan semua itu. Namun, Haikal tak ingin membuat hatinya rapuh karena terus didera rasa bersalah serta penyesalan yang tiada habisnya. "Ngomongnya nggak usah se sadis itu bisa 'kan, sayang?" tanya Haikal nyeleneh. Pria itu bahkan menyengir lebar karena lagi-lagi mendapat pelototan garang dari wanita yang memiliki satu anak itu.

                                                                       
Sikap santai yang ditunjukan oleh pria yang berasal dari masa lalunya itu membuat Fifi merasa frustasi. Tidak bisakah putra tunggal dari wanita paruh baya yang sangat menjunjung tinggi nama baik keluarganya itu membiarkan ia hidup tenang?

Sejatinya Cinta [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang