Supernova || 3

791 77 0
                                    

***

Kegiatan MPLS berakhir. Itu berarti kini Raina sudah resmi menjadi salah satu siswi di SMA BINA BANGSA. Seperti yang Raina sudah duga, teman-teman satu kelasnya tak ada yang mau berbaur dengannya. Meskipun mereka tak mengejeknya atau memperlakukannya dengan tak baik, tapi Raina merasa terasingkan. Saat dirinya tak memiliki teman sama sekali. Seolah mengindikasikan mereka tak menganggap Raina ada. Raina cukup paham alasannya apa.

Raina berbeda dari mereka. Raina bukanlah gadis normal seperti mereka. Raina hanyalah gadis malang yang untuk berjalan saja ia harus berpangku pada tongkat.

Raina menghela nafas perlahan sesaat mendengar bunyi bel istirahat terdengar. Semua teman sekelasnya sudah berhamburan keluar kelas. Raina sengaja menunggu semuanya sudah keluar. Karna, Raina tak mau jika mereka terganggu dengan dirinya. Setelah menyisakan dirinya seorang, Raina barulah mengambil tongkat untuk bergerak menuju perpustakaan dengan bekal yang ia peluk. Ya, Raina akui ia tak berani pergi ke kantin sendirian. Lagipula, ia tak punya uang untuk membeli makanan di kantin. Lebih baik uang saku yang diberikan ibu pantinya ia tabung untuk keperluan mendesak lainnya. Lagipula, Bu Rani sudah rela memasakkannya bekal.

Sesampainya disana, Raina tak menemukan penjaga perpus. Mungkin sama seperti yang lain, pergi ke kantin. Raina segera menuju kursi panjang dengan meja didepannya sebagai tempatnya untuk menghabiskan bekalnya.

Raina makan dengan tenang. Sesekali melirik jendela panjang disampingnya. Hal itulah, kenapa tempat duduk ini favoritnya. Salah satunya karna berdekatan dengan jendela. Raina jadi bisa melihat langit cerah dan awan-awannya. Juga kadang ia bisa melihat siswa-siswi berlalu lalang di bawah. Tapi, kali ini bukan orang lalu lalang yang Raina liat. Tapi, sekumpulan pemuda yang sibuk bermain basket. Sambil menyuap makanannya, Raina menatap mereka satu-persatu. Cowok-cowok itu begitu terlihat cool saat sibuk memperebutkan bola. Raina bahkan melihat beberapa siswi seperti dirinya menonton permainan mereka.

Iris Raina sibuk terpaku pada cowok dengan punggung nomor 1. Saat dia berhasil mencetak gol nyaris semua perempuan dibawah sana berteriak. Raina memiringkan kepalanya. Sepertinya ia pernah bertemu dengan pria itu. Raina akui, dari pemain-pemain yang lain memang pria bernomor punggung 1 itu yang terlihat mencolok. Mulai cara dia men-dribble bola, melakukan shoot jarak jauh, sampai mengelabui lawan. Cowok itu terlihat pro sekali.

Raina sadar ia mulai menikmati permainan. Bahkan saat bekalnya sudah habis, ia memilih memangku tangannya dan memusatkan pandangannya pada permainan basket dibawah. Tatkala masih senang-senangnya memperhatikan, tiba-tiba cowok berpunggung nomor 1 itu mendongakkan kepala. Lantas menangkap basah Raina yang terpana dengan permainannya.

Raina langsung tersentak. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya dan menjauh dari jendela. Ia bergegas mengemaskan kotak bekalnya dan pergi dari perpus. Karna, bagi Raina tak seharusnya ia menampakkan diri seperti tadi.

Apalagi pada cowok yang membuatnya diasingkan teman sekelasnya.

***

"Gue, kayaknya enggak bisa deh ngerjain tugas kelompoknya. Gue hari ini ada janji sama temen gue. Nggak papa ya?" ujar Chika salah satu teman sekelas Raina.

Raina yang tadinya sibuk mengemaskan barang-barangnya lantas menoleh. Ia tersenyum, tipis. "Nggak papa. Biar aku sendiri aja ngerjainnya."

Chika tersenyum senang, "Ah, makasih ya, Rain! Nanti kalau lo ada perlu apa-apa chat gue aja." Raina mengangguk.

Chika menepuk bahu Raina sekali. "Yaudah, gue duluan ya! Takut telat," cengirnya lalu bergegas keluar kelas.

Raina melanjutkan kegiatannya mengemaskan buku-bukunya. Sejak menjadi siswa di SMA ini Raina sudah paham dengan kebiasaan teman-temannya. Tiap ada kerja kelompok dimana ada Raina didalamnya, maka mereka akan memberikan semua tugas itu pada Raina. Begitu juga saat ada pr, maka semuanya akan berebut meminjam buku Raina. Lantaran, Raina adalah gadis pintar. Apalagi saat masuk ke SMA ini Rainalah yang menyabet nilai rata-rata tertinggi.

Tapi, sekalipun Raina tak pernah mengeluh. Lagipula, ia senang membantu temannya. Meskipun, ia harus begadang mengerjakan semua itu. Tak apa, setidaknya jika hanya dengan itu teman-temannya mau berteman dengannya. Raina sama sekali tak keberatan.

Seperti biasa dialah yang menutup pintu kelas. Meskipun sedikit bersusah payah, tapi Raina sudah biasa melakukannya. Selepas itu ia mulai berjalan pelan menggunakan tongkat untuk berjala ke parkiran. Sekolah tampak sudah lenggang. Raina bergegas menuju halte. Karna, kendaraan yang Raina pakai untuk berangkat dan pulang sekolah adalah angkot.

Raina menunggu dengan tenang. Di halte itu hanya ada dirinya sendirian. Ia menunduk, memperhatikan sepasang kakinya yang menjuntai. Tiba-tiba setetes air matanya turun. Raina selalu saja cengeng jika sudah menyangkut masa lalunya. Ia selalu merasa lemah jika diingatkan kembali dengan kejadian itu. Kejadian yang merenggut semua kebahagiaan yang ia punya. Hingga hanya menyisakan dirinya sendiri di dunia yang kejam ini.

Raina tak bohong jika ia merasakan luka yang amat mendalam. Ia sejujurnya benci dengan hidupnya. Benci karna kenapa Tuhan tidak mengambilnya nyawanya juga. Kenapa hanya kedua orangtuanya, adiknya, dan sebelah kakinya? Kenapa dia tidak?!

Raina menangis tersedu-sedu. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan tak membiarkan seorang pun melihatnya menangis.

Tiba-tiba Raina mendengar suara sepeda motor begitu dekat dengannya. Raina langsung mendongak dan menemukan cowok dengan seragam basket menghentikan mesin motornya.

"Naik."

Raina mengerjapkan matanya seraya menghapus bulir-bulir air matanya. "Kamu ngomong sama aku?"

"Manusia kasat mata selain elo, siapa lagi?" balas cowok itu sarkas.

Raina meringis. Ia lantas menolak ajakan cowok itu dengan sopan. "Nggak usah, Kak. Angkotnya bentar lagi juga dateng."

Cowok itu menatap Raina sinis. Raina sampai terpaksa menunduk. "Yaudah." balasnya lalu kembali memakai helmnya dan menghidupkan mesin. Sebelum menarik gasnya ia sempatkan mengejek Raina. "lo jangan kegeeran. Gue nawarin karna alasan kasihan sama lo. Lo jangan mikir macem-macem. Apalagi, lo bukan tipe cewek gue."

Raina membulatkan matanya mendengar balasa pria itu. Matanya menatap motor cowok itu yang sudah melenggang meninggalkannya. Ia mendengus.

"Siapa juga yang mau numpang sama cowok resek kayak dia?!"[]

SUPERNOVA [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang