Supernova || 8

591 69 3
                                    

***

Raina menggigil dalam balutan jaket milik Riksa. Cowok itu juga tak kalah basahnya. Tapi, Riksa berusaha menahan rasa dingin yang menyergapnya. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan gadis didepannya ini.

"Ng-nggak, pa-pa." Raina berucap terbata-bata. Ia berusaha berdiri dengan bertumpu pada tongkatnya. Ia tersenyum meski wajahnya nyaris pucat pasi. "maka-sih ya, udah ssh.. nganterin aku."

Riksa tak menjawab. Ia membantu Raina berjalan. Sampai di depan pintu pagar, Riksa mengetuk pintu. Hingga keluarlah seorang ibu paruh baya yang langsung menutup mulutnya melihat kedatangan Riksa dan Raina.

"Astaghfirullah, Ai!"

Raina tersenyum saja. Bu Rani segera memeluk Raina yang menggigil. "Tolong kasih dia minuman hangat, Bu. Cek suhu badannya juga. Ibu ada obat demam? Kalau tidak, saya bisa belikannya sebentar." ujar Riksa beruntun.

Bu Rani menatap Riksa sesaat. Seraya mengelus punggung gemetar anak gadisnya, Bu Rani mengangguk. "Ada. Oh ya, terima kasih ya. Kamu sudah mau repot-repot mengantarkan Ai. Namamu siapa?"

"Riksa, Bu." mata pemuda itu masih saja menyorot khawatir pada Raina. Bu Rani melihatnya jelas.

"Yasudah, saya pamit, Bu." Riksa menatap punggung Raina lagi. Bu Rani mengangguk. "assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," Bu Rani menatap Raina yang menangis di pelukannya. Ibu paruh baya itu menghela nafas. Nyatanya, yang jadi masalah bukan fisik Raina tapi psikis gadis itu.

Bu Rani tahu betul seberapa besar phobia Raina pada hujan.

Riksa sendiri terlihat menatap sekali lagi panti asuhan itu. Pintu kayunya sudah tertutup tapi perasaan Riksa masih saja tak tenang. Membuatnya harus menghela nafas beberapa kali.

Riksa mengusap wajahnya.

Dia ini kasihan pada gadis itu atau apa?

Sejenak Riksa mulai meragukan jika ia benar-benar kasihan pada gadis itu.

***

Pagi harinya, Raina berjalan masuk ke sekolah. Saat ia menyusuri koridor ia sempat melirik dua orang yang terlihat sibuk saling menghujat. Gadis dengan rambut pendek itu terlihat tidak takut dengan cowok yang lebih tinggi dari cewek itu.

Untuk sesaat, Raina sempat mendengar sekilas percakapan mereka.

"Mulut lo diem bentar enggak bisa ya?! Ghibah terus yang lo banggain, cih!"

"Serah gue dong, mau ngomong apa. Lo pagi-pagi udah mau ngajak gue ribut?!"

"Berhenti nyebarin hoax tentang gue!" seru si cowok seraya menunjuk cewek tomboy itu.

Bukannya takut, malah cewek itu semakin terlihat menantang. "Hoax kata lo? Heh, gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri ya kalau di hape lo itu, lo banyak nyimpen lagu barbie!" cepat-cepat cowok itu menutup mulut mercon cewek itu.

Raina segera menjauh. Ia menggeleng pelan tak mengerti dengan apa yang baru saja ia lakukan. Menguping pembicaraan seseorang? Heh! Ia seharusnya tidak begitu.

"Ck! Pagi-pagi udah ngeliat dua pasangan adu bacot." Raina langsung menoleh mendengar celetukan seseorang disampingnya.

"Kak Fera," sapa Raina. Fera menoleh balas tersenyum.

"Pagi, Rai! Lo jangan ngerasa aneh sama dua pasangan tadi. Namanya Yasha sama Gibran. Mereka yang saling ejek gitu udah biasa. Mereka emang sering gitu tiap ketemu." Raina mengangguk saja. Meski Raina berjalan lambat, tapi Fera mau menjajarkan langkah mereka. Raina senang karna itu.

SUPERNOVA [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang