04

347 50 5
                                    

Home teater rumah Sean dan Saga terasa begitu sempit hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Home teater rumah Sean dan Saga terasa begitu sempit hari ini. Ruangan dengan ukuran 4x6 meter itu dijejali dua belas mahluk hidup yang sedang maraton film Harry Potter. Saga yang mengusulkan untuk menonton film sudah terlelap sejak film memasuki episode dua, dia tertidur di sofa panjang bagian kiri sendirian. Sofa bagian kanan yang tidak seberapa lebar diisi Sergio dan Delvi dengan posisi Sergio memeluk Delvi dari belakang. Kaum rebahan seperti Ariel, Shandy, Javier, Elang, dan Junior memilih karpet bulu sebagai tempat menonton, Valdo berada di ujung karpet, dekat meja makanan. Sementara sofa bagian tengah diduduki oleh Sean, Asa dan Mahesa.

Di bagian kiri sofa tengah, Mahesa menandaskan segelas cola dalam satu tarikan napas, lalu gelasnya disimpan didekat kaki sofa. Menghiraukan keringat yang sudah mengucur dari kening hingga ujung dagunya, dia kembali mengambil sepotong kaki ayam pedas dari piring di pangkuannya, menggrogotinya dalam gigitan kecil. Bibirnya sedikit pegal karena makan ceker ayam ternyata sangat sulit, perlu banyak-banyak stok kesabaran untuk mendapatkan dagingnya yang tidak seberapa itu. Tapi tidak papa, ceker itu enak, bikin ketagihan. Jadi, Mahesa rela menghabiskan banyak waktu jika masalah ceker.

"Mahesa, liat gue."

Mahesa menoleh, memperhatikan Asa yang mengacungkan ceker dalam kegelapan. "Apa, Bang?"

"Makan ceker tuh ada cara-caranya. Pertama, telapaknya lo pencet kayak gini." Asa menekan bagian persendian kaki ayam sampai ketiga jari kaki ayam tersebut putus lalu memakannya.

Mahesa mengikuti perintah Asa dengan antusias. "Terus, Bang?"

Asa memperlihatkan kaki ayam yang sudah tidak memiliki jari-jari tersebut dengan ekspresi serius. "Sekarang bagian tanpa tulang yang ini. Lo dorong kulit ayamnya ke atas, nih gigit." Asa menyodorkan daging ayam yang sudah berada di ujung tulang ke depan mulut Mahesa. "Nggak ada tulangnya, kan?"

Mata Mahesa berbinar. Dia mengangguk senang.

"Liat!" Asa menunjukkan ceker tadi yang sudah bersih, hanya tersisa tulang, tanpa ada daging yang tertinggal sedikit pun. "Selesai."

"OH!" Mahesa begitu terpana melihatnya. Dia memandang Asa kagum. "Wah gila, rasanya kayak gue baru aja memasuki budaya kaki ayam. Makasih, Bang."

Asa tersenyum bangga.

"Mau juga," bisik Sean—sedaritadi dia memperhatikan interaksi keduanya—di telinga Asa.

"Mau apaan? Diajarin makan ceker?"

"Emangnya gue batita sampe harus diajarin makan ceker segala?!"

"Terus mau lo apa?"

"Cekernya aja. Cara makannya mah nggak usah diajarin."

"Yaudah, tinggal ngomong biasa. Nggak usah nyolot. Susah?"

"Sinian piringnya."

"Gue suapin."

Kak SeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang