"Acara syukuran di rumah Sergio hari Sabtu, lo dateng?"
Tanya Asa sesaat sebelum Sean turun dari mobilnya. Muka cewek itu kelihatan kesal karena niatnya yang ingin buru-buru masuk rumah harus gagal, belum lagi tadi di mall mereka juga sempat berdebat. Sean tidak mau pulang diantar Asa dan memilih memesan ojol, sementara Asa tentu tidak akan membiarkan itu terjadi. Sangat berbahaya bagi Sean untuk menaiki ojol di waktu yang menunjukkan setengah satu malam itu.
"Syukuran apaan lagi sih?!"
"Sergio beli mobil baru."
"Oh?"
"Dateng nggak?"
"Nggak tau."
Asa mendelik. "Harus dateng!"
"Iya, nanti gue dateng." Sean mengiyakan cepat tanpa berpikir, malas harus berada di sekitar Asa lebih lama lagi. "Bukain dulu dong pintunya. Udah malem. Apa kata tetangga kalo liat anak perawan cantik kayak gue turun dari mobil cowok malem-malem begini?"
Asa tersenyum, tidak begitu menghiraukan perkataan Sean. "Berangkat bareng siapa ke sananya?"
"Mika, paling."
"Kok bareng Mika?" protes Asa tidak terima, tapi dia buru-buru menguasai diri karena Sean melayangkan tatapan curiga. "Bukannya tadi di mall—"
Asa meneguk ludahnya. Kemudian mengalihkannya. "Nggak jadi."
"Emang mau bilang apa coba?"
"Kan, katanya itu, apa tuh——" Asa tergagap. Matanya tertunduk enggan bersitatap dengan Sean selagi sibuk mencari alasan. Sebelah tangannya mencengkram stir kuat.
"Apa? Katanya apa?" tanya Sean tidak sabar. Badannya lelah dan matanya ngantuk.
Hingga omongan Shandy di grup tiba-tiba saja terpikirkan oleh Asa. "Katanya lo lagi berantem sama dia?" Cowok itu berkata senatural mungkin dan agaknya berhasil karena Sean langsung manyun.
Anjrit, iya juga, lupa, pikir Sean. Namun, sedetik kemudian dia sadar sesuatu, jadi dia menoleh pada Asa di sampingnya. "Lo tau gue berantem sama Mika?"
Asa mengangguk. "Shandy bilang di grup."
"Cepu banget temen lo anjir! Nyesel gue bisa-bisanya tadi siang sempet tersentuh sama tingkahnya. Goblok. Mana gue segala nangis depan dia. Udah gitu kesempatan lagi tuh orang peluk-peluk gue sok nenangin." Sean berujar kesal setengah mati. Tangannya bergerak ke kepala, memijatnya pelan, sedikit merasa pusing. "Awas aja kalo ketemu."
Asa tidak mempedulikan racauan Sean. Tidak juga mempedulikan bahwa dia baru saja membuat Shandy dalam masalah. "Serius, lo berangkat sama siapa?"
"Napa sih repot banget nanya mulu!" Sean membalas sewot.
"Ya mau tau."
"Urusannya apa lo tanya-tanya?"
"Cuma mau memastikan tunangan gue aman dan selamat sampai tujuan."
Sean berdecak sebal. "Nggak jelas lo. Apaan dah bawa tunangan-tunangan segala."
"Jadi, lo berangkatnya sama siapa, Kak?" Asa masih setia mendesak.
"Sendiri!"
"Sama gue aja!"
Wow, memanggil petrus sihombing hutabarat samyang jakandor memantul terbang bebas jumanji alias memang mantap gila pepet terus sampai hati terombang-ambing hubungan bertambah berat sampai sayang jangan kasih kendor memang mantap betul teruskan bambang the best and badass juancok mantap anjingggg.
Sean sempat memicingkan mata sebelum akhirnya melempar punggungnya pada sandaran tempat duduk dan menjawab pasrah. "Oke."
Asa mengernyit sebentar. Lah, nggak jadi turun? Lalu ikut bersandar pada jok mobilnya, menatap lurus ke depan.
"Keliling komplek dong, Sa. Suntuk banget gue."
Meski bibirnya menghembuskan napas berat, Asa tetap menuruti permintaan Sean. Tangan kiri cowok itu bergerak untuk memindahkan tuas perseneling sementara kakinya menginjak gas.
Mereka hampir mengitari komplek perumahan sebanyak tiga kali, tentu saja itu semua berkat rengekan Sean yang memaksa. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bersuara. Hingga mobil yang mereka tumpangi hampir menabrak kucing. Asa cepat-cepat menginjak rem.
"ASA TOLOL!"
"Hah?"
"LO BEGO!"
"Kak."
"GILA BANGET SUMPAH!"
"Bentar, please, gue nggak bisa mikir."
"ANJING LO KALO MAU MATI YA SENDIRIAN AJA, SETAN!!"
"BACOT BANGET. LO BISA DIEM DAN BERENTI NGATAIN GUE DULU NGGAK SIH?"
Sean melotot. "Gue panik!"
"Gue juga!" balas Asa nggak kalah heboh.
"Bisa-bisanya lo nggak tau kucing mau lewat."
"Kalo kucingnya bilang permisi, baru gue bisa tau."
"Tadi kucingnya nggak ketabrak kan, ya?" Sean bertanya. Matanya menatap semak-semak tempat kucing kampung yang tadi hampir mereka tabrak itu bersembunyi.
"Enggak."
"Goblok banget lo, lagian."
"Gue ngantuk, tau! Capek. Lo enak cuma duduk, ngelamun, liatin lampu jalanan doang."
"Ya maaf." Sean meraih sebelah tangan Asa yang gemetar. Pasti cowok itu kaget banget. Diusapnya telapak tangan Asa pelan, sesekali dipijit juga.
Nggak lama, Asa menarik tangannya yang berada digenggaman Sean. "U-udah. Nggak usah."
"Apaan sih." Sean kembali menarik tangan Asa. "Denyut nadi lo kenceng banget, Sa. Deg-degan juga nggak? Lo masih takut banget, ya?"
Asa membuang mukanya. Ah, bego. Yang bikin gue deg-degan tuh elo. "Enggak. Udah nggak, kok. Jalan lagi aja yuk."
Sean mengangguk.
"Ngomong, Kak, biar gue nggak ngantuk."
"Nggak ada yang mau gue omongin sama lo."
"Cerita apaan aja deh."
"Duh, PR banget segala disuruh cerita. Udah deh, gue mau turun aja."
"Nggak muter sekali lagi?"
"Lah, doyan lo?"
Asa tertegun. "Takutnya lo masih bete." Iya juga, kenapa gue yang jadi keasikan.
"Enggak, udahan aja."
Asa menimbang sejenak. "Masalah yang di mall tadi— hng... jangan dipikirin ya. Mungkin itu sodaranya."
"Hmm, iya."
"Yaudah. Langsung tidur lo. Jangan galau mulu."
Sean berdecak. "Iya elah. Lo juga. Pulangnya hati-hati, jangan ngebut, terus nyampe rumah langsung cuci tangan-cuci kaki."
"Iya. Dah."
"Dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kak Sean
Teen FictionAdik Seandra Hartadi itu cuma satu, tapi yang manggil dia kakak jumlahnya sampai tiga belas orang.