"Bilapun menjauh, kita hanya ditakdirkan bertemu bukan untuk bersama apalagi untuk selamanya."
JANGAN LUPA VOTE YA:)
GASSPOLL!!Sudah kelima kalinya Navilun mengetuk pintu rumah itu namun tidak ada satupun yang membuka. Sejak menginjakan kaki di rumah itu Navilun merasakan ada yang aneh. Rumahnya gelap, barang-barang diluarnya pun sudah kosong tidak seperti biasanya yang dihiasi bunga-bunga palsu.
Kemana penghuni rumah itu? Apakah mereka pulang kampung? Atau pergi...
Navilun tersentak kaget ketika sebuah suara mengejutkannya dari belakang. Seorang ibu-ibu dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Ya, yang Navilun tahu ibu itu tetangga Tasya. "Ada apa ya nak?" Tanya ibu itu.
"Saya mau cari Tasya. Rumahnya kok gelap bu? Ibu tau mereka kemana?" Tanya Navilun melirik sekilas ke dalam rumah melalui kaca depan.
Ibu itu tampak kaget dan menautkan alisnya bingung. "Lho? Kan Tasya dan bu Mareta sudah pindah dari 3 hari yang lalu,"
Bagaikan disambar petir Navilun hanya bisa mematung dan terdiam. "Pi-pindah? Kemana bu?" Ibu itu mengangguk. "Saya kurang tau sih mereka kemana. Yang saya lihat hari itu mereka udah bawa barang-barang. Setau saya rumah ini rumah mereka sendiri."
Sesak? Ya, dadanya terasa sesak begitu mengetahui Tasya pergi. Ada apa dengan gadis itu? Bukan kah ini rumah miliknya? Lalu untuk apa Tasya pindah?
Mendesah berat Navilun kembali menatap ibu itu. "Mm.. Kalo gitu saya pamit dulu bu. Makasih." setelah mengatakan itu Navilun segera pergi dari sana. Ia berdiri di depan mobil seraya mengeluarkan ponselnya mencari nomor seseorang.
"Kamu kemana Sya?" lirih Navilun. Menatap wallpaper di layar ponselnya yang kini sedang dihubunginya.
Sejak 2 hari yang lalu nomor itu tidak terhubung. Navilun terus saja menghubunginya padahal tidak aktif sama sekali. Ia merasa bersalah sudah berkata jahat pada Tasya padahal dirinya tidak tahu sama sekali kejadian yang sebenarnya.
Navilun segera menyimpan ponselnya setelah 3 kali menghubungi nomor yang tidak aktif itu. Ia segera pergi dari sana.
"Ibu udah bawa kotak kecilnya?"
Mareta mengangguk seraya mengangkat kotak kecil tempat letak es seribuan ditangan kanannya. "Kantong kresek hitam yang di atas meja tadi udah kamu ambil Sya? Ibu lupa bawanya," tanya Mareta.
"Astaga!! Ada, tapi Mieses coklatnya ketinggalan di atas meja." Tasya menepuk jidatnya. Ia begitu lupa setelah menyimpan plastik di dalam kantong kresek hitam itu hingga melupakan barang lainnya.
"Udah di dalam kotak kak. Diwan masukin tadi," sahut Diwan. Seketika Tasya bernapas lega. "Untung banget. Syasya kira ketinggalan." Ucapnya seraya mengelus dada. "Ayo!!" Ajaknya.
Ketiganya lantas berjalan pulang dengan perasaan senang seperti biasanya.
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu Tasya kembali memulai hidupnya yang baru. Memilih mencari kontrakan yang sederhana dengan dirinya yang kini untuk sementara membantu ibu menjual es atau makanan ringan di depan sekolah Dasar.
Tasya sudah menceritakan semuanya pada Maret, ia menangis sejadi-jadinya. Tasya merasa malu, untuk bertemu Ataya saja ia tak punya keberanian sama sekali. Mungkin saja wanita itu menganggap dirinya sebagai pembunuh.
Apalagi Navilun?
Tasya menghela napas begitu mengingat semua perkataan Navilun yang menohok hatinya. Ucapan yang begitu kejam begitu terasa dihatinya. Dia seorang pembunuh? Mungkin bisa dikatakan seperti itu, hanya karena sebuah ancaman dirinya mau diperbudak oleh Rita.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASKA 2 ✔ [SEGERA TERBIT]
Teen Fiction[SEQUEL ALASKA] [FOLLOW SEBELUM DIBACA] Sebelum baca cerita ini. Cus baca cerita sebelumnya ALASKA. Kisah seorang gadis mungil, manja, polos dan unik yang menjadi tetangganya dulu dan sebagai adik kelasnya kini telah menjadi istrinya. Seseorang...