Brakk
Byurrr ... Byurr
"ENAK YA JAM SEGINI MASIH TIDUR! BERASA JADI TUAN PUTERI HA?" Ara yang mendapat siraman air tiba-tiba, langsung terduduk dengan tubuh menggigil. Ara menatap ibunya sendu, berharap ibunya mengerti keadaannya sekarang. Tapi, ibunya mengacuhkannya.
"A-ada apa bu?"
"KAMU TANYA ADA APA? LIHAT ITU KANDANG AYAM DIBELAKANG RUMAH, KOTOR DAN MENJIJIKAN SEPERTIMU" Ara yang mendengar bentakan ibunya seketika langsung melangkahkan kakinya menuju belakang rumah. Ara menatap sekeliling kandang, memang benar kotor sekali. Ara pun langsung bergegas membersihkannya dan segera berangkat sekolah.
Setelah beberapa menit berkutat dengan aktifitas rutinnya, Ara langsung masuk kedalam kamarnya untuk bersiap-siap ke sekolah.
Krukkk... Krukkk
Suara apa itu? Oh hampir melupakan sesuatu, bahwa Ara dari kemarin belum makan sama sekali. Mungkin sekarang, cacing-cacing yang berada dalam perutnya sedang berdemo. Ara pun bergegas menuju meja makan untuk mengambil roti. Sebelum sampai meja makan, Ara melihat keluarga kecilnya yang terdiri dari ayah, ibu, serta adiknya sedang tertawa bersama sambil menikmati sarapan mereka. Ara ingin sekali tertawa bersama mereka, tapi Ara cukup tau diri.
"Hei untuk apa kamu disitu? Cepat sana ke sekolah" Usir ayahnya dengan menggerakkan tangannya seperti mengusir ayam. Ara yang melihat ayahnya seperti itu hanya tersenyum dalam hatinya.
"Ara mau minta uang saku"
"Uang saku, uang saku, gak ada! Kamu kira saya ini bank, setiap hari harus memberi uang saku kamu, sekolah sana yang pinter, jangan makan saja pikiranmu itu" Ara mendengar ucapan ayahnya seketika tersenyum kecut lagi. Memang selalu pikiran ayahnya itu pendidikan, juara umum, uang dan uang. Ayahnya memang tidak pernah menanyai Ara tentang bagaimana di sekolah, bagaimana pertemanan di sekolah, atau bagaimana keadaannya. Tak pernah sama sekali.
"Tapi Ara lapar"
"Nih makan" Ucap Ayahnya sambil membuang dua helai roti di muka Ara. Tidak diambil seperti disinetron-sinetron? Tentu tidak, Ara mengambilnya. Ini dunia nyata bukan dunia sinetron, ini dunia nyata yang masih butuh makan. Menurut Ara daripada dia tidak makan, lebih baik mengambilnya. Toh belum lima menit. Cuma hati Ara sedikit teriris melihat ayahnya yang memperlakukannya seperti hewan.
Setelah Ara mengambil dua helai roti tadi, Ara melangkahkan kakinya menuju meja makan untuk berpamitan. Belum sampai tangannya terulur, tangan Ara langsung ditepis oleh Leo, sang adik.
"Tangan lo apa-apaan sih? Lagipula ayah sama ibu gak bakal mau tangannya disentuh sama bekas tai ayam" Ingin sekali Ara menangis dan memohon kepada Tuhan bahwa dunia tidak adil. Tapi Ara bukan orang yang mudah putus asa. Ara masih mempunyai masa depan yang dirancang indah. Ara akhirnya mau tak mau, ia menurunkan tangan setelah ditepis adiknya.
"Sana pergi" Ara hanya mengangguk. Tenggorokannya selalu merasa tercekat ketika ingin berbicara didepan orang tuanya. Dua langkah Ara meninggalkan meja makan, tiba-tiba hatinya terasa sesak.
"Ayah uang saku Leo mana?"
"Kali ini ayah kasih 30 ribu, cukupkan?"
"Iya yah cukup"
"Yasudah yuk ayah anter ke sekolah"
"Kalian hati-hati dijalan yaa"
Mendengar perbincangan mereka lagi-lagi membuat hati Ara sesak. Iri? Iya Ara iri. Ara tidak pernah diperlakukan seperti itu. Bahkan dulu disaat semua anak-anak SD piknik bersama keluarganya, Ara menangis ingin piknik seperti mereka tetapi nyatanya Ara dipukuli dengan kayu yang besar. Peristiwa itu selalu terngiang dikepala Ara sampai sekarang.
Daripada dia melihat pemandangan yang mampu membuat hatinya berdenyut mending Ara berangkat sekolah. Ara ingin cepat-cepat bertemu sama teman-temannya. Eh ralat, ketiga temannya. Ara berlari dengan kencang sambil melihat jam yang melingkar di tangannya.
06.32
Oke, dia terlambat. Bukan terlambat masuk gerbang, tapi dia terlambat di jam biasanya. Gerbang ditutup jam 07.00 sedangkan, Ara biasanya sampai sekolah jam 06.30, terlambat 2 menit bukan? Ara memang tipe anak yang tidak suka membuang waktu.
Ara memasuki gerbang dengan ngos-ngosan. Walau begitu, tak sedikit yang melihat Ara dengan tatapan memuja. Apalagi melihat gadis itu berkeringat membuat para kaum Adam tak berkedip. Ara memang gadis sederhana, tapi wajahnya sangat cantik dan imut. Badannya yang tidak terlalu kurus, tapi menurut dirinya sendiri kurus. Sedangkan, menurut semua orang badan Ara bagus dan sedikit terisi walaupun kenyataannya dia jarang sekali makan. Mungkin, Tuhan berbaik hati kepadanya.
Ara memasuki sekolah dengan wajah yang datar. Wajah yang datar itu menurut para Kaum Adam adalah daya tarik yang gadis itu miliki untuk menarik lawan jenisnya, terutama Rivalio Dewangga. Iya Rivalio Dewangga tertarik dengan Ara sejak adegan mie ayam.
"Haii Ara, kenapa kemarin chat dari gue gak dibales?" Ara yang melihat cowok aneh itu berada didepannya langsung memutar balik kakinya dan mencari jalan alternatif lainnya. Belum sempat Ara berbalik, Rival telah menarik tangannya. Ara yang melihat tangannya dipegang oleh cowok gila didepannya itu langsung menepisnya dengan kasar.
"Aw.. Kasar banget sih lo, tapi gak papa deh gue suka kok" Senyum Rival kembali mengembang melihat Ara berdecih. Mungkin sekarang hobi baru Rival membuat Ara marah yang terlihat menggemaskan didepannya.
"Yuk Raa gue anter ke kel--"
"Mau apa lo? Belum kapok gue tonjok kemarin?"
Hai-Haii
Gimana nih ceritanya?
Sedih gak sih? Aku nulisnya juga ikutan sedih loh, Entah kenapa Ara kuat banget ya? Gimana menurut kalian karakter Ara disini?
Yuk sampaikan keluh kesah kalian di komentar:)

KAMU SEDANG MEMBACA
WOUND
Teen Fiction"Cewek es batu lo sekarang jadi pacar gue ya?" "Enggak" "Jadi TTM gue deh? Mau ya?" "Enggak" "Jadi ist-" "Gue mau jadi musuh lo"