Meminjam Kamar Hotel

1.5K 439 58
                                    

"Zigit?"
Dia baru saja pulang dari kampusnya, tas di punggungnya dia turunkan di atas meja. Dan adiknya Alya yang saat itu berpakaian gamis, hendak akan keluar di sore hari bertemu dengan Zigit yang hendak duduk dan bersandar di ruang utama.
"Kau mau pergi?" tanya Zigit balik.
"Kau baru pulang?"
Alya duduk di samping Zigit dan sedikit mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Biasa, mahasiswa," jawab Zigit sambil menyandarkan tubuhnya dan membaringkan kepalanya di punggung sofa.
"Well, berarti kau tidak tahu apa-apa ya."
"Tahu apa?"
"Ayah, dan Kak Beya, katanya sih ke rumah Om Wahid karena Om Wahid kepengen batalin pertunangan Kak Lisa sama Kak Beya," ujar Lisa, seketika mata Zigit terfokus pada adiknya, matanya sedikit bulat menatap sang adik.
"Apa?"
"Iya, katanya Kak Beya dicurigain punya hubungan sama kakak sulung si calon kakak ipar kita," kata Alya, "tapi itu nggak mungkin banget, mana mungkin Kak Beya bisa kek gitu," lanjutnya sambil tertawa ringan.
Zigit yang mendengar itu hanya diam, dia bangkit dan tidak peduli dengan adiknya yang duduk di sofa, tapi dia cukup peduli dengan apa yang dikatakan sang adik. Dia berjalan dengan lincah ke kamarnya dengan tas ransel di tangannya.
"Kak Beya tidak sesempurna yang kau pikirkan, Alya," monolog Zigit, dia menutup pintunya. Tangannya memegangi ponselnya dan mencari sesuatu. Dia mencari nomor seorang temannya dan saat mendapatkan nomor yang dicarinya dia langsung menghubunginya.
Ponsel itu dia tempelkan ke telinganya, dia mondar-mandir dan menunggu jawaban dari si penelpon untuk segera menjawabnya. Sama sekali tak ada jawaban, hingga dia menghubunginya beberapa kali, mungkin temannya itu baru mengangkatnya saat Zigit menghubunginya sebanyak tujuh kali.
"Ke mana saja kau? Aku mengirimi kamu pesan tapi kau tidak baca dan balas."
Zigit mondar-mandir dan dia mengomel dengan suara kecil yang tegas pada temannya itu.
Dia terus berbicara dan sesekali menengok keluar, apa tidak ada yang menguping akan apa yang dia katakan. Memang apa yang dia katakan cukup rahasia dan jika didengar oleh seseorang maka pasti akan ada banyak masalah.
"Kau yakin bahwa dia memang Gita Arfinjaya Umar?" tanya Zigit dan dibalas dengan jawaban mantap oleh temannya itu. "Baiklah, terima kasih."
Zigit mematikan panggilannya dan kembali duduk di pinggir ranjang. Dia duduk dan memandangi nomor yang berada di layar ponselnya. Dia menatapnya dengan tatapan yang agak ragu, tapi ada sesuatu yang membuat hatinya harus melakukan hal ini.
Saat Zigit akan mengiriminya pesan, seseorang mengetuk pintu.
Tok
Tok
Tok
Zigit seketika terhentak dari duduknya dan pintu yang tak dia kunci terbuka, muncullah kepala sang ibu menengok masuk ke sana.
"Zigit, makan malam udah siap sayang," kata ibunya. Zigit mengangguk dengan senyum.
Dia menatap ibunya dan berdiri, lalu berkata, "Oh iya Bu, aku akan segera ke sana," jawabnya.
"Apa ada sesuatu sayang?" Ibunya bertanya, pintu terbuka lebar dan masuklah ibunya melangkahi bingkai pintu.
Zigit memasukkan ponselnya ke dalam saku dengan gugup, sembari berkata, "Tidak ada Bu, memang kenapa?"
"Wajah kamu pucat, sayang." Sang ibu sambil mengelus lembut wajah tirus yang panjang itu.
"Mungkin hanya masalah di kampus, Bu. Hanya tentang tugas, itu saja," jawab Zigit berbohong. Ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Oh, baiklah kalau begitu. Semangat belajarnya, dan ibu tunggu kau di meja makan," ucap sang ibu, dia pergi dari sana meninggalkan Zigit dengan rasa ragu-ragu yang dimilikinya.
Zigit menghela nafas panjang dan mengurungkan niatnya untuk menghubungi nomor yang dia ingin hubungi. Dia pergi ke meja makan, dan melihat semua orang sudah di meja makan termasuk Beyazid dan sang ayah.
Makanan yang ada di meja bercampur, masakan Turki dan Indonesia.
Erkan Yavus tentu tidak bisa melupakan rasa lezat dari makanan negaranya sendiri. Erkan menatap anaknya Zigit dan memberikan senyum padanya, lalu bertanya, "Bagaimana keadaan kampus?"
Pertanyaan itu membuat Zigit yang akan duduk di kursinya menoleh pada ayahnya, sambil duduk dia menjawab, "Normal-normal saja, Ayah."
"Hmm, baguslah, tapi sayangnya jurusanmu bukanlah ilmu kesehatan, sayang sekali." Ucapan itu membuat Beya dan yang lainnya menoleh pada Erkan, di mana Erkan kembali berkata, "sayang sekali, kau bisa menjadi opsi yang menggantikan ayah nanti," katanya lagi.
Mata semua yang ada di sana seketika membulat dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Erkan. Zigit langsung menatap kakaknya yang terlihat pucat setelah mendengar apa yang dikatakan sang ayah. Alya yang menyayangi sang kakak itu pun sama terkejutnya.
"Kenapa berkata begitu? Beya lebih baik untuk tugas itu, Erkan," kata istrinya, dia menatap Erkan dengan tatapan yang tajam.
"Sayangku, aku hanya mengatakan Andai saja putra kedua ku mengambil jurusan yang sama, dia juga bisa menjadi opsi jika Beya tidak bisa. Tapi kan tidak? Tenang saja, Beya adalah satu-satunya opsi," katanya. Dia mengunyah makanannya dan menatap ke arah Beyazid dengan senyum aneh.
Beya hanya diam, dia tidak mengatakan apa-apa di meja itu, dia juga hanya memakan makanannya saja walau di dalam hatinya ada luka setelah ayahnya mengatakan itu. Setelah makan malam usai, Beya yang paling pertama pergi dari sana, tanpa kata-kata dan tanpa reaksi apa-apa. Erkan hanya tersenyum pada putra keduanya. Istrinya menatap dengan tajam, sementara Alya dia juga menatap ayahnya dengan tatapan yang menyipit.
Zigit agak bingung dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Apa yang dilakukan kakaknya sehingga sang ayah harus mengatakan hal demikian itu bermain-main di kepala Zigit. Bahkan saat dia kembali berada di kamar tidurnya, dia masih memikirkan apa yang dikatakan ayahnya itu.
Tangannya memijat-mijat keningnya, dia kembali membuka ponselnya, dan dengan nakal tangan itu mengirimkan pesan pada nomor yang dikirimkan padanya.
Pesannya seperti ini; "Apa kau punya waktu malam ini? Aku tahu nomor ini dari teman, dan aku ingin kau menemaniku malam ini."
Tak lama dia menunggu, pesannya dibalas; "kirimkan alamatnya, tidak merima bintang di bawah empat. Dan dibayar di muka."
Mata Zigit membelalak karena pesan itu langsung diterimanya. Dengan pusing kepalanya dia memikirkan ke mana dia akan menginap.
Dengan cepat-cepat dia menghubungi salah satu temannya yang berada di hotel. Dia ingin temannya meminjamkan kamarnya hanya dalam beberapa jam saja atau tidak sampai satu jam. Dia tidak ingin namanya berada di daftar tamu.
Saat mendapatkan izin dari temannya, Zigit pun menuju hotel dengan sesegara, dan berbohong kepada ibunya.
"Aku hanya sebentar Bu, ada masalah di organisasi yang aku pegang, jadi ada rapat mendadak."
Dengan buru-buru dia pergi, dan mengirimkan alamat hotelnya pada gadis panggilannya. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, taksi yang dia tumpangi tiba di hotel berbintang lima. Sengaja dia tidak menggunakan mobilnya, agar mobilnya juga tak dapat dilacak keberadaannya.
Well, dia lebih pintar dari kakaknya.
Segera dia menuju kamar tujuannya, dan akhirnya dia sampai.
"Aku tidak akan melupakan jasamu kawan."
"Apa sekarang kau berubah nakal, ha?"
"Tidak, ini hanya memperjuangkan cinta saja."
"Apa kau jatuh cinta dengan wanita malam?" Mata temannya melotot.
Zigit hanya diam, dia menyuruh temannya itu cepat-cepat pergi dari sana. Dan dia menunggu dengan gugup. Tak lama dia menunggu, seseorang mengetuk pintu. Nafas Zigit seolah akan putus. Tangannya bergetar, dan dia berusaha untuk tetap tenang. Saat dia tenang, dia pun membuka pintunya, dan muncullah Gita Arfinjaya Umar.














Kutemu Cinta Dalam TaatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang