Gita Dan Lamaran Adiknya

3.4K 689 93
                                    

Wanita berjilbab coklat ini masuk ke dalam rumahnya, perkenalkan namanya adalah Gita Arfinjaya Umar. Dia adalah anak sulung dari Wahid Arfinjaya Umar, seorang dekan di fakultas agama Islam di universitas ternama di kota. Dia adalah wanita yang sama yang mengisap rokok di waktu jam tiga pagi sambil menunggu seorang pelanggan di depan hotel.
Tak ada yang tahu bahwa dia adalah seorang wanita malam dan bahkan ibunya tak tahu akan hal itu. Sepengatahuan ibunya, dia adalah anak yang suka keluyuran dimana-mana, bahkan hingga malam hari. Dia sudah lulus di universitas namun tak ada perkerjaan yang bisa dia kerjakan selain menjadi wanita nakal.
Dia melakukan semua itu, bermain-main dengan uang kertas dan yang haram serta tidur dengan banyaknya pria hidung belang bukan semata-mata karena dia menginginkan uang. Namun karena masalah pribadinya. Dia memang menyukainya dan dia memang adalah gadis nakal yang hidup dengan kemauannya sendiri.
Dia berhijab, memang. Tapi hanya di siang hari, malamnya dia akan menggantinya dengan kain setengah jadi.
Hari ini adalah hari lamaran adiknya Lisa, gadis kebanggaan dan anak emas keluarga Arfinjaya Umar, dia disayangi, dididik dengan lembut, tak pernah membantah bahkan cantik dengan kulit putih kapas yang indah. Matanya jauh lebih indah dari sang kakak, dia merawat dirinya begitu luar biasa, dan memang keluarga Arfinjaya Umar memang lebih fokus pada anak bungsu ini.
"Ah dia sudah datang," katanya, seorang wanita setengah baya datang padanya dan menariknya langsung dengan agak kasar. "Ke mana saja kau?" Ibunya menariknya ke tempat yang lebih sepi.
"Aduh Ma, Mama jangan kasar-kasar," katanya, mengeluh.
"Jangan panggil Ibu dengan sebutan mama, sudah tiga puluh tahun kau memanggilku dengan mama, dan sekarang kau harus panggil ibumu ini dengan sebutan Ummi! Dasar kau ini, kapan kau akan berubah!"
Anak ini diseret, dan dia dibawa masuk ke dalam kamarnya, di sana tak ada orang, tak ada tamu dan tak ada siapa pun selain mereka berdua.
"Kenapa aku harus mengganti sebutan Mama? Setelah tiga puluh tahun?"
"Tiga puluh tahun Gita! Tiga puluh tahun! Aku menikah dengan ayahmu saat aku berusia dua puluh empat tahun, dan kita hanya berselisih dua puluh lima tahun Nak, dan kau? Kau sekarang sudah tiga puluh tahun dan masih saja melajang! Kau keluyuran entah kemana, pergi pagi pulang entah malam atau pagi lagi! Ayahmu adalah seorang guru besar agama Gita!"
Ibunya menatap Gita dengan tatapan yang terlihat cengeng sedangkan Gita sama sekali tidak peduli, dia melipat kedua tangannya dan terlihat begitu abai pada ibunya.
"Apa hubungannya guru besar agama dengan menikah?"
"Bukan masalah menikah yang Ibu bahas ini! Tapi masalah kau yang tidak pernah betah di rumah. Bayangkan kata orang-orang, bagaimana dengan besan kita nantinya yang tahu kalau anak sulung kami ini suka keluyuran, ha?"
Gita hanya menghela nafas kesal dan sama sekali tak peduli dengan apa yang dikatakan ibunya. Dia tak tahan dengan omelan ibunya dan pergi begitu saja dari sana. Dia keluar namun kembali lagi untuk dia berkata, "Tenang saja, rahasia yang aku miliki akan selalu aman kok Ma."
"Berhenti memanggil ibumu ini dengan sebutan Mama!"
Gita keluar dari sana dan pergi menemui calon mempelai perempuan, yaitu adiknya sendiri. Lisa Arfinjaya Umar, gadis lulusan terbaik bahasa arab, ini adalah anak terbaik dengan prestasi terbaik.
Gita masuk ke dalam kamar sang adik, di mana Lisa saat itu menggunakan gaun panjang yang indah, berwarna merah jambu lembut dan jilbab putih panjang yang cerah.
"Kak Gita," sapa Lisa, dia langsung membuka pelukannya dan Gita kemudian masuk dalam pelukan sang adik.
"Selamat ya, sekarang sudah ada yang lamar kamu," katanya dengan senyum.
"Kakak juga, banyak kok yang lamar kakak tapi kakaknya aja yang tolak," balas Lisa dengan senyum.
"Hmm, itu karena tidak ada yang tampan di mata kakak," balas Gita, dia memang tidak ingin menikah karena komitmen menikah bukanlah untuk dirinya. Dia memang tidak menyukai hukum-hukum yang diterapkan, apalagi aturan-aturan ayahnya yang diberikan padanya, karena itu semua hanya membuat dia bagai di penjara. Melampiaskannya dengan hal-hal yang haram adalah sesuatu yang menyenangkan baginya.
Hanya sekali dalam sepakan, namun dia tidak puas jika pelanggannya hanya satu orang saja. Karena dia hanya akan ke hotel hotel sehari saja dalam sepakan. Dia juga memiliki sesuatu yang harus ia kerjakan, apa sesuatu itu? Menikmati hidupnya dengan uang yang ia punya. Berpesta dan hidup dalam surga dunia tanpa harus memperdulikan peraturan-peraturan dari ayahnya.
"Kakak udah ketemu sama Abi?" Abi adalah sebutan untuk ayahnya, tapi Gita memanggil ayahnya dengan sebutan papa.
"Belum nih, tapi kau mau ke ruang utama kan, lumayan ketemu sama calon suami kamu," kata Gita.
Mendengar apa yang dikatakan sang Kakak, Lisa jadi malu-malu.
Mereka berjalan keluar dan hari ini adalah yang pertama Lisa bertemu dengan calon suaminya, dia tahu bahwa calon suaminya adalah seorang dokter yang berwajah rupawan, namun sayangnya dia belum pernah memiliki kesempatan untuk bertemu dengan sang calon suami.
Gita menggandeng adiknya dan tidak lama, datang ibunya yang berkata, "Di sini kau rupanya, ayo cepat, para tamu dan keluarga mempelai pria sudah menunggu, dan mempelai pria juga menunggu," kata sang ibu. Ibunya sendiri bernama Hasni Abdullah Karim, anak dari seorang imam besar yang menikah secara ta'aruf dengan Wahid Arfinjaya Umar dan kehidupan meraka selalu baik-baik saja.
Hasni dan kedua anaknya berjalan menuruni tangga dan di bawah sana ada banyak orang-orang yang menunggu kedatangan mempelai perempuan, begitu juga dengan Beyazid yang tampan dengan jas putih dan senyum di bibirnya. Matanya menatap gadis yang berada di tengah, gadis yang dia tahu bahwa itulah calon istrinya.
Namun hatinya dipenuhi akan keraguan, saat dia melihat ke arah wanita yang disebelahnya. Ya, dia agak ragu saat melihat Gita yang ternyata adalah kakak perempuan Lisa. Namun keraguan itu dihilangkan dengan gadis yang tersenyum tertunduk dan berjalan menuruni anak tangga.
"Lihat adiknya, Beya, yang di tengah itu, Masya Allah sekali, pendidikan yang bagus, prestasi, wajah yang cantiknya bercahaya, Ibu harap, dia bisa menjadi pendamping yang membawamu beserta keluarga kamu ke dalam surga, Nak," ujar sang ibunda. Dia berbisik di telinga anaknya dan Beyazid tersenyum mendengarnya. "Namun lihat kakaknya, entah apa yang dia tunggu sehingga begitu lama sendiri, dia mungkin akan jadi perawan tua," kaya ibunya lagi.
Perkataan yang membuat Beyazid menelan salivanya dan menatap ke arah ibunya. Kata-kata julid sang ibu membuat Beyazid sedikit menghindar di sebelah sang ibunda.
"Perawan apanya, syukurlah adiknya tidak seperti dia," monolognya sambil menunduk dengan suara yang hanya dia sendiri yang dengar.

Kutemu Cinta Dalam TaatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang