"Dari mana kau semalam?" tanya Pak Wahid, dia bertanya pada putri sulungnya yang ikut sarapan pagi.
"Hanya keluar, bertemu seorang teman," jawab Gita saat dia menelan kunyahannya.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Kau tidak punya pekerjaan, tidak punya sesuatu yang bisa kau lakukan atau semacamnya dan bahkan tidak ingin menikah, sebenarnya apa yang kau inginkan, Gita?" lanjut Pak Wahid, dia menurunkan sendoknya dan menatap anaknya dengan tatapan yang bertanya-tanya.
"Pa, aku akan mencari pekerjaan, tenang saja."
"Lalu kapan kau akan menikah?" tanya ibunya, yang tiba-tiba menyahut.
"Kak Gita pernah bilang kalau dia nggak mau nikah, Abi, Ummi," kata Lisa, dia juga menyahut setelah ibunya.
"Dengar Gita, kau akan berada di rumah dan tidak akan keluar selama kau belum menikah.... "
"Apaan sih Pa?!"
"Ussst diam, Abi belum berhenti ngomong. Abi tidak masalah kau panggil Papa, Ayah, Father atau Daddy, karena memang itu sudah kebiasaan kamu, tapi Abi berhak melarang kamu karena Abi masih jadi Wali kamu. Abi juga akan mencarikan jodoh buat kamu," ujar Pak Wahid.
"Kenapa baru sekarang dilarangnya?" Gita dengan tajam membalas ayahnya.
"Karena kau sudah melampaui batas! Abi pikir kau bisa berubah namun nyatanya tidak sama sekali, sekarang diam, makan saja sarapan kamu dan kembali ke kamarmu?!"
"Aku bukan remaja yang dilarang-larang lagi."
"Kalau begitu pergi dari rumahku jika tak ingin dilarang! Kau sudah tua, dan tidak menikah, lalu apa mau kamu?"
"Kenapa Beyazid tidak dijodohkan saja denganku? Kenapa dengan Lisa? Bukankah aku anak tertua di sini?!" Gita berdiri dari duduknya dan mendorong kursinya ke belakang. Semua mata memandangnya dengan tajam dan kesal. Apalagi Lisa yang tidak suka dengan perkataan kakaknya itu.
"Kenapa kau mengatakan hal itu!?"
"Karena seharusnya aku yang dijodohkan dengan Beyazid! Bukan Lisa!"
"Memangnya kau ingin menikah?" Ibunya bertanya.
"Kalian memotong hakku dan memberikannya pada Lisa karena dia anak emas kalian, seharusnya sebelum memilih Lisa aku harus menjadi opsi pertama!"
"Nah kan, Abi liat sendiri, Kak Gita memang suka sama Beyazid."
"Apa?" Gita mengernyit.
Lisa terlihat kesal dan berawajah cengeng, dia berdiri dan berniat untuk pergi, dia tidak ingin berada di sana dan mengetahui fakta bahwa kakaknya lah yang memiliki hak dalam perjodohan ini.
"Apa maksud perkataan kamu Gita!? Kau berkata bahwa kaulah yang harus bertunangan dengan Beyazid dan bukan adikmu?" Ibunya ikut berdiri, maka berdirilah Pak Wahid dan meninggalkan sarapan pagi.
"Kenapa ini? Kenapa kau baru protes untuk hal yang sudah terjadi?"
"Memang benar seharusnya aku yang dijodohkan dengan Beyazid dan bukan Lisa!" Gita dnegan tegas.
"Hanya karena kau adalah anak sulung kami, bukan berarti kau harus dijodohkan lebih dulu."
"Kenapa tidak Ma? Apa aku bukan anak kalian? Apa aku terlalu tua untuk Beyazid? Toh Beyazid setahun lebih tau dariku. Apa aku tidak secantik dan semulus Lisa? Atau tidak sebaik Lisa, atau mungkin tidak sealim Lisa?"
Semua yang di sana mendengarkan dan tidak terima dengan apa yang dikatak Gita.
"Katakan saja kau menyukai tunanganku! Kenapa bertele-tele begitu!"
"Iya aku menyukai Beyazid!"
Semuanya terdiam, semua yang ada di sana teridiam mendengar apa yang dikatakan Gita. Lisa yang sudah tampak cengeng tak bisa lagi menahan air matanya, dia tak menyangka bahwa pernikahannya akan sesulit ini.
"Apa kubilang, Kak Gita mau ngerebut Beya dariku, Abi!" Lisa yang cengeng itu menangis dan tak terima.
Pak Wahid menatap anak sulungnya, mereka saling menatap satu sama lain, Gita menatap ayahnya begitu juga dengan Pak Wahid. Bu Hasni terlihat prihatin dengan anak bungsunya yang mulai menangis. Dia memeluknya, dan memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh seorang ibu.
Karena tak terima dengan apa yang dikatakan putri sulungnya. Pak Wahid yang tampak kejam ini berjalan lincah ke arah putri sulungnya, meraih lengannya dan dengan kemarahan yang ada di matanya.
Dia dengan lancang menarik lengan Gita dan menyeretnya untuk berjalan ke tempat yang diinginkan oleh Pak Wahid.
"Kemari kau!"
"Apaan sih Pa! Pa lepasin!"
"Kau seharusnya tidak mengatakan itu pada adikmu!"
Mereka naik ke atas tangga, Pak Wahid menyeret Gita dengan lancang dan penuh dengan kemarahan, Gita melawan namun tidak cukup kuat. Dia terus memukul-mukul lengan ayahnya namun Pak Wahid tak kunjung melepaskan, hingga dia tiba di dalam kamar Gita, dan tangan itu, menghempaskan Gita yang terjatuh di atas ranjangnya.
"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau baru mengatakan ini!?"
"Aku ingin menikah dengan Beyazid!"
Prak!
Pak Wahid menamparnya, tamparan itu menyakitkan bukan karena rasa sakitnya yang ada di pipi, melainkan rasa sakitnya yang ada di hati. Ulu hati Gita perih dan merasa sesak dia dengan apa yang dilakukan ayahnya padanya.
"Sekali lagi kau mengatakan itu, maka kau tidak akan pernah bisa kembali ke rumah ini!"
Gita yang tadinya menghadap ke arah lantai karena tamparan ayahnya kini dia angkat wajahnya, menatap Pak Wahid yang bermata nanar.
"Kenapa Pa? Kenapa harus Lisa yang menjadi opsi pertama?" Gita yang bertanya dengan mata yang berkaca-kaca, dia menatap sang ayah dengan harapan bahwa ayahnya akan menjawabnya.
"Kau tidak akan sanggup mendengar jawaban dariku. Maka tetaplah di sini, tetaplah berada di kamarmu, dan jangan keluar. Abi bisa memaafkan semua kesalahan kamu, tapi jangan sekali-kali kau berpikir untuk membatalkan pernikahan adikmu dengan Beyazid!"
"Kenapa bukan aku?"
"Jangan tanyakan itu lagi, Gita."
Gita diam, dia menatap ke arah dinding dan tak ingin menatap ayahnya lagi, air matanya menetes dan tak ada yang mengusap. Dia bahkan tak mengelus pipinya yang merasa panas, dia merasa terluka akan apa yang dilakukan orang tuanya padanya.
Gita bisa saja mendapatkan banyak pria di luar sana, dia juga sudah merasakan kebersamaan dengan banyak manusia kaum Adam, tapi Beyazid sangat berbeda.
Pak Wahid bisa merasakan luka yang terlihat di kedua kelopak mata putrinya. Dia juga merasa bersalah karena tamparan yang dia berikan pada anak sulungnya itu. Pak Wahid yang merasa begitu bersalah, kini dia menutup pintunya, dia menutup pintu kamar Gita.
Dia berlutut di hadapan anak sulungnya itu, di hadapan Gita yang duduk di garis ranjang. Tangan kekar miliknya mengusap pipi yang basah karena air mata. Pak Wahid juga mengelus pipi yang memerah milik anaknya yang disebabkan oleh tamparan dari tangan kekar sang ayah.
Air mata yang mengalir di kedua kelopak mata Gita tak berhenti menetes, dia tetap menangis dan terisak.
"Maafkan Abi, maafkan Abi karena gagal mendidik kamu. Maafkan Abi karena Abi tidak akan mungkin bisa memberikan putri Abi pada pemuda yang tidak bisa menerimanya. Putriku. Beyazid tidak akan pernah menerima seorang wanita panggilan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutemu Cinta Dalam Taatmu
Любовные романы"Jika dia tidak mencintaiku sekarang, atau hari ini, maka dia akan mencintaiku besok, jika dia tidak mencintaiku besok maka dia akan mencintaiku, lusa. Atau setelah lusa." Gita Arfinjaya Umar Gita Arfinjaya Umar adalah anak sulung dari seorang dekan...