Kain yang Suci

949 157 1.6K
                                    


"Kenapa dengan kakak kamu? Apa dia juga menunggu untuk aku membuka pintunya untuk dia keluar?" Zigit, dia berusaha untuk membuat istrinya yang murung itu tersenyum. Namun gagal.
"Entahlah, aku akan masuk," balas Lisa. Dia berjalan masuk ke dalam rumah besar itu tanpa menunggu suaminya untuk menggandengnya. Karena di luar rumah, tepat di hadapan pintu rumah yang terbuka, sudah ada ibu mertua yang menunggunya, dan Lisa disambut dengan hangat.
"Keluar, jangan lama-lama di dalam sana." Zigit, saat dia membuka pintunya.
Gita menghela nafas, dia pun bergerak dan keluar dari mobil. Dia menutup pintu mobilnya dengan kasar, setelah itu dia pun membalas apa yang dikatakan Zigit, "Jangan sekali-kali menatap aku dengan tatapan seperti tadi. Aku tidak suka." Gita dengan dingin berkata. Dia msmbuat Zigit menaikkan alisnya. "Dan jangan lupa, bawakan koperku juga," katanya. Dia berjalan dengan manis masuk ke dalam sana.
Tapi sayangnya, dia sama sekali tak disambut. Air matanya seakan ingin keluar saat dia akan masuk ke rumah itu. Tak ada suaminya, ayah mertuanya, bahkan ibu mertuanya hanya menyambut Lisa di sana.
Gita di sini seperti seorang yang asing. Rumah yang lebih besar ini, jauh lebih besar dari rumah ayahnya membuat Gita merasa sangat-sangat asing dan terkucilkan. Dia tidak tahu ke mana dia akan pergi, atau dengan siapa dia akan bertanya. Karena ibu mertuanya hanya berbicara dengan adiknya saja.
Bahkan pembantu di sana tidak terlihat, karena itulah dia menunggu kedatangan Zigit, yang terlihat kesulitan dengan kopernya. Karena tak bisa apa-apa, dia menghubungi suaminya, Beyazid, namun tidak diangkat oleh sang suami.
Karena kesal, Gita memilih untuk menghubungi ayah mertuanya.
"Apa yang diinginkan anak ini!?" Erkan, dia merasa kesal saat melihat nama Gita muncul di ponselnya. Dengan terpaksa, Erkan mengangkatnya. "Kenapa? Apa ada masalah?"
Gita yang ada di hadapan pintu sambil menatap Zigit yang masih susah payah dengan beberapa koper di tangannya itu, menjawab, "Aku tidak disambut di rumahmu, di mana suamiku? Aku merasa terkucilkan di sini. Ibu mertuaku bahkan tidak menyambutku, datang kemari dan sambut aku, Ayah!"
Gita mematikan ponselnya.
"Astaga, apa yang salah dengan dia! Tidak ada yang menjanjikannya untuk disambut." Erkan menghela nafas, dia saat ini di dalam perjalanan ke rumah. Setelah menghindari pers, dia bisa bernafas lebih lega. Kemudian dia menghubungi Beyazid, yang saat ini, Beyazid sedang terbaring tidur di ranjangnya. Dia terbangun saat mendengar ponselnya berdering.
"Iya, Ayah?" Beyazid dengan letihnya.
"Jika kau berada di rumah, keluarlah dari tempat tidurmu, berhenti bersikap cengeng dan sambut istrimu! Atau aku yang akan menyeret kamu!"
Mendengar ayahnya, Beyazid bangkit dan diam sejenak.
"Pengacau itu sudah ada di rumahku."
Ya, pengacau yang dimaksud oleh Beyazid adalah istrinya yang saat ini bisa lega karena dia bisa masuk ke rumah besar Tuan Yavus bersama Zigit yang terlihat membawa kopernya. Gita yang tak tega melihat Zigit kini membantunya membawa kopernya sendiri.
"Ibu kamu tidak menyambutku."
"Karena dia berpikir menantunya hanya satu, hanya istriku."
Tatapan Gita kemudian tajam ke arah Zigit.
"Jadi aku bukan menantunya?"
Zigit hanya diam tak menjawab. Saat mereka masuk, betapa terkejutnya Gita saat melihat suaminya yang berdiri di ruang utama, berdiri dengan rapih dan wajah datar.
"Sialan kakak kamu itu, ternyata dia berada di rumah selama ini."
"Selamat bermalam pertama," kata Zigit, dia mengejek dan berjalan ke arah istrinya yang duduk bersama sang ibu.
Beyazid yang diam tanpa mengatakan apa-apa kini berjalan ke arah Gita, dia mengambil dengan begitu lembut, koper yang ada di tangan Gita. Dan Gita hanya menatap Beyazid dengan tatapan yang berusaha untuk tidak berbicara apa-apa atau hanya diam.
Sangat ingin Gita mengoceh sebisa mungkin, tapi ya apa boleh buat, dia sedang berada di rumah suaminya dan dia tahu bahwa Beyazid masih dalam keadaan yang marah.
"Kau hanya akan berdiri di sana, atau ikut denganku?" Beyazid sambil berjalan di depan.
Gita pun mengikut di belakang, namun matanya menatap ke arah Lisa yang tersenyum, dia berbincang-bincang dengan ibu mertuanya, terlihat senang dan bahagia, tapi lihat Gita, dia menatap kasar ke arah adiknya, seolah berkata, "aku sedang bersama suamiku yang mencintaimu, tapi tenang saja, aku hanya akan tidur dengannya, tidak memakannya."
Gita mengikut di belakang sang suami, mendaki tangga dan tiba di tempat tidurnya. Di dalam kamarnya, dan di sana tak ada apa-apa. Tak ada tatanan ranjang yang indah, melainkan ranjang yang sedikit berantkan.
"Tidur lah di sini jika kau mau. Aku bisa tidur di kamar tamu." Beyazid. Dia menaruh koper yang dia bawa di dalam kamarnya, dan berniat untuk pergi.
"Kenapa bukan aku yang di kamar tamu?"
"Jangan banyak tanya. Jika kau sedang bermain dengan kata pernikahan, maka aku akan ikut di dalamnya. Kau hanya akan menjadi istriku, bukan kekasihku."
Gita menaikkan alisnya, dia tak bisa menjawab apa-apa lagi. Dia duduk di sofa dekat ranjang.
"Kenapa tidak tidur di sofa saja?" Gita bertanya.
"Aku tidak akan sanggup untuk berada satu ruangan dengan kamu."
"Kalau begitu talak saja aku sekarang. Seperti apa yang kau katakan kemarin dulu, kau ingin menalakku kan?"
Beyazid diam. Dia tak ingin menatap Gita, dia menoleh ke arah yang lain dan tak peduli bahwa Gita ada di sana. Dia beranjak pergi, namun Gita adalah gadis yang tidak senang diabaikan.
"Mau ke mana kau!" Suara Gita membesar, dia menatap Beyazid dengan matanya yang nanar.
Beyazid berbalik ke arah Gita dan kini lebih berani menatapnya.
"Kecilkan suara kamu. Apa ayah kamu membiarkanmu bersuara seperti ini?"
"Tidak! Ayahku tidak pernah meninggalkan aku saat aku bicara dengannya!" Gita dengan tegas.
Prak!
Beyazid yang tak tahan, kemudian menutup pintunya dengan kasar. Suara pintu yang tertutup itu besar, membuat Gita cukup terhentak ketika mendengarnya. Mereka saling memandang dengan tatapan kebencian dan kemarahan yang sama. Mata Gita berkaca-kaca.
"Ini bukan rumahmu, tidak ada ayah kamu di sini, ikuti aturan di sini. Redahkan suaramu, dan jangan berani-berani menentang aturan, karena ini bukan rumahmu," ujar Beyazid, dengan sangat tegas, namun tetap dengan suara yang merendah.
"Ini juga bukan rumahmu, tapi milik ayahmu. Aku hanya akan tunduk pada pemilik rumah, bukan orang yang menumpang." Gita, tanpa berkedip, dengan mata yang berkaca-kaca, dia berucap.
Beyazid tak mengatakan apa-apa, dia diam menatap Gita, mereka saling menatap dalam kemarahan dan kekesalan. Tak ada yang paham akan satu sama lain.
Beyazid berbalik, dia hendak pergi, namun dia kembali berhenti. Dia kembali berbalik pada Gita, dan kakinya lincah berjalan ke arah Gita, tangannya terangkat, dan dengan kencang dia menarik dengan kasar jilbab Gita hingga terlepas.
"Kain ini terlalu suci untuk kamu yang begitu kotor!"


Kutemu Cinta Dalam TaatmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang