Gita berjalan masuk ke dalam rumahnya dan dia berwajah datar juga tak memperlihatkan reaksi apa-apa. Dia berjalan dan dia baru saja menatap kepergian dari Tuan dan Tuan Muda Yavus pergi dari rumahnya.
Saat masuk dia bertemu dengan ibunya yang menyambutnya dengan tatapan dingin dan bahkan tak berbicara dengan Gita. Perempuan berusia setidaknya tiga puluh tahun ini hanya menghela nafas yang agak kesal. Walau demikian, dia tetap tidak bisa menyangkal kalau apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan.
Tak menyapa ibunya, Gita langsung mendaki tangga dan berjalan ke arah kamarnya. Dia membuka kamarnya dan betapa dia tak menyangka, adiknya, Lisa. Dia menunggu di dalam kamar sang kakak dan duduk di pinggir ranjang.
"Lisa?"
Pintu ditutupnya, dia menatap adiknya dengan tatapan yang heran dan mengernyit.
"Sampai kapan Kakak akan sendiri?" tanya Lisa tiba-tiba, dia bahkan bertanya pada kakaknya dengan tatapan yang datar dan tak menyenangkan.
"Apa maksud pertanyaan itu?" Gita menyimpan tas ranselnya di atas nakas dan bersandar di belakang pintu,, dia masih memandang cukup heran pada adiknya.
"Kakak juga seharusnya sudah menikah dan mencari pasangan hidup, jika mau, aku akan carikan," kata Lisa, gadis ini tetap saja menunjukkan ekspresi wajah yang sama, datar.
"Apa peduli kamu dengan urusan pribadiku. Aku ingin menikah atau tidak, itu pilihanku!" Gita dengan tegas.
"Hmm, seharusnya Kakak mencari pasangan lebih cepat, karena mungkin rahasia Kakak akan segera terbongkar," kata Lisa. Dia mengatakan itu sambil menarik sesuatu dari belakang dan dia sejak tadi sembunyikan. Sebuah kain, sebuah baju seksi yang ketat, tidak satu, tapi lebih dari tiga lembar baju.
Lisa mengulurkan baju-baju itu. Gita sudah menyembunyikannya di tempat yang menurutnya paling aman, namun tetap saja, dapat ditemuka. Mata Gita yang melihat itu terlihat langsung berubah bulat.
"Apa yang kau lakukan?!" Gita menghentakkan baju-baju itu dan dengan kesal dia menariknya dengan keras.
"Abi sudah nungguin Kakak untuk ditanyain kenapa Kakak ada di hotel," katanya, "oh ya, itu bukan hanya tiga baju, melainkan banyak. Kakak gagal menyembunyikannya dengan benar."
Mata Gita membelalak, dia berkata, "Apa salahku padamu?"
"Apa?"
"Lisa, apa salahku padamu, kenapa kau berubah seperti ini?"
"Menikahlah Kak, aku tahu rahasia Kakak, karena itulah aku langsung merasa panik saat kau mengirim pesan pada Beya tentang rahasia, karena aku tahu apa yang dimaksudkan," katanya.
"Memangnya rahasia apa yang kau maksud?"
Lisa berdiri dan tak menjawab. Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya dengan pelan, dan sebelum dia pergi dia berkata, "Jika ingin merenggut sesuatu dariku, jangan Beyazid."
Gita hanya diam saat adiknya mengatakan itu dan pergi. Dia menundukkam kepalanya dan memikirkan tentang apa yang dikatakan Lisa. Semuanya sudah menjadi lebih rumit. Gita merasa bahwa dia sudah membuat pernikahan adiknya berada dalam masalah, dan dia tidak tahu bagaimana dia akan meminta maaf.
Jika Gita meminta maaf, maka dia dengan sengaja mengakui kesalahannya. Dia akan diam saja dan menikmati harinya. Tak ada yang bisa dia nikmati selain menjadi seseorang yang begitu bebas dan melakukan apa yang dia lakukan. Menjadi seorang kupu-kupu malam, tidak lagi. Dia merasa bahwa dalam akhir-akhir ini, dia harus menghindari hotel untuk sesaat.
Gita menutup pintu yang terbuka, pintu yang dibuka Lisa namun sengaja tak ditutupnya. Dia merasa tidak nyaman sekarang, seolah semuanya di luar kendalinya. Dia terduduk di kursi riasnya dan bercermin, menatap dirinya yang belum sempat membuka jilbabnya. Dia menatap wajah cerah yang bersinar. Dia menatap warna cerah jilbabnya dan betapa dia sangat tertutup.
Tangannya kemudian menarik jilbab itu tanpa dia sadar bahwa jarum pentul menggores lehernya hingga sebercak darah keluar dari sana.
"Auh."
Dia kini menyadari sakitnya dan melihat sebercak darah di dalam cermin. Jarinya mengusap darah itu dan memandanginya dengan kesal. Dia menghela nafas lalu menyadari betapa kotornya dan jijiknya dia pada dirinya sendiri. Bibirnya kini bergetar dan dia merasakan air mata mengalir pada kedua kelopak matanya.
"Apa yang telah aku lakukan? Ya Allah, bahkan aku merasa malu menyebut nama-Mu." Dengan air mata yang mengalir dia terisak. Tangannya menutup wajahnya serta dia mulai deras air matanya.
Gita mengunci diri dalam kamarnya, dia berbaring di dalam kamar, menghadap samping, kiri dan kanan, tidak tenang, namun berusaha untuk menyelaraskan perasaannya. Matanya menghadap langit-langit ruangan, menatap dengan mata yang kering.
Untuk sekian kalinya dia merasakan kehampaan, karena terlalu banyak melakukan kesalahan. Apa yang terjadi padanya? Dia hanya menyukai kesenangan sesaat, dan perasaan hampa itu pantas untuknya, setiap perasaan hampa dan luka yang dia rasakan dikarenakan perbuatannya sendiri adalah sebuah dosa.
Entah apa lagi yang akan terjadi setelahnya, saat dia tak bisa menutup mata yang sudah kering itu, notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Sebuah nomor yang tak dikenalinya mengiriminya pesan.
Pesannya seperti ini; "Apa kau punya waktu malam ini? Aku tahu nomor ini dari teman, dan aku ingin kau menemaniku malam ini."
Mata yang kering yang tadinya basah, kini kembali terlihat normal. Mungkin penyakitnya kambu lagi saat dia mendapatkan pesan itu. Segera dia berdandan polos dan memperbaiki pakianmya. Dia keluar dari kamarnya, dan mengabaikan makan malam dari keluarganya. Tak ada yang peduli, maka pergilah dia.
Dia mengirimkan pesan; "kirimkan alamatnya, tidak merima bintang di bawah empat. Dan dibayar di muka."
Dia mendapatkan balasannya dan menerima alamatnya. Serta langsung dikirimkan masuk ke dalam akunnya. Dia mendapatkan sedikit rasa senang walau pada akhirnya itu hanya akan membuatnya merasa tidak nyaman. Dia mendapatkan sedikit harta dan tak perlu meminta-minta pada ayahnya untuk semua barang yang dia ingin beli dan bersenang-senang dengan itu semua.
Memang benar Lisa adalah anak yang berhasil dibesarkan oleh sosok yang paham agama, namun Gita adalah bukti nyata kegagalan dari seorang ayah yang paham agama. Malam sudah hampir larut, Gita sampai di tempat yang dia tujukan.
Memang awalnya dia tak ingin pergi ke hotel untuk sementara waktu, namun dia masih labil untuk usianya yang bisa dibilang sudah tua untuk bisa menjadi seorang ibu.
Saat sampai di hotel, dia langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian yang cukup seksi di dalam basement tempat parkir, dan bersembunyi di antara mobil-mobil.
Setelah menggantinya dan bersembunyi di antara mobil-mobil untuk menghindari mata nakal dan cctv, dia langsung beranjak dari sana ke lantai atas, dia berjalan dengan santainya dan elegannya. Kini lebih hati-hati, dia membawa sebuah topi untuk dipakainya. Sekarang memang dia pakai, sedikit menunduk dengan rambut hitam lurus yang panjang.
Dia mengetuk pintunya dan pintu itu terbuka dari dalam. Saat pintu itu terbuka, seorang pria dengan tubuh kurus dan kulit cerah, putih namun tidak putih susu, matanya agak kecil dan rambutnya agak berjambul sedikit miring. Dia tampan dengan wajah agak tirus.
Saat melihatnya, Gita mengernyit, dia membuka topinya dan menatap dengan jelas, apa dia mengenal pemuda ini?
"Apa aku mengenalmu?"
Sebelum menjawab, pemuda itu menutup pintunya.
"Aku Zigit, Zigit Erkan Yavus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutemu Cinta Dalam Taatmu
Roman d'amour"Jika dia tidak mencintaiku sekarang, atau hari ini, maka dia akan mencintaiku besok, jika dia tidak mencintaiku besok maka dia akan mencintaiku, lusa. Atau setelah lusa." Gita Arfinjaya Umar Gita Arfinjaya Umar adalah anak sulung dari seorang dekan...